Oleh : Imam Untung Selamat (Jiun)
TIDAK mudah menguraikan makna kata ‘legowo’. Legowo kira-kira berarti sikap bisa menerima keputusan, tidak dendam, tidak suudzon, dan tidak curiga. Legowo adalah menerima kondisi yang terjadi sebagai ketetapan Tuhan. Dibutuhkan penjelasan panjang untuk menjabarkan satu kata saja. Tulis Rektor UGM, medio Pilpres 2014 Lalu. Tentu pelaksanaan legowo lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Tapi kalau bisa, maka segala perkara dan kejadian akan dianggap sebagai nikmat dan bukan kesusahan. Pandangan tersebut sangat berguna pada waktu-waktu seperti saat ini, di mana situasi politik Provinsi Lampung sedikit memanas imbas dari runcingnya rivalitas pada kontes Pilkada 2018, dalam Pilgub Lampung.
Perlu dipahami bersama bahwa dalam demokrasi, kalah menang adalah hal yang biasa. Pihak yang menang tidak perlu terlalu membanggakan diri, sementara mereka yang kalah tidak harus kecewa secara berlebihan. Tugas memimpin bukanlah perkara ringan, apalagi memimpin daerah sebesar Provinsi Lampung. Ada tuntutan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Lampung yang jumlahnya banyak. Luas wilayah Lampung ini juga luar biasa. Dari Lampung Barat Hingga Lampung Timur, Dari Selatan Hingga Utara, terdapat perbedaan waktu sampai tiga jam, dengan khas gerbang Sumatera. Jika gambaran tersebut bisa ditangkap secara baik, niscaya tokoh-tokoh itu akan paham bahwa tujuan yang sebenarnya bukan untuk berkuasa, melainkan harus bisa menyejahterakan orang banyak.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung mengumumkan hasil penghitungan Pilgub Lampung 2018 media Minggu (8/7/2018). Hasilnya, pasangan nomor urut 3 Arinal Djunaidi-Chusnunia (Arinal-Nunik) meraih suara terbanyak.
Data Rekapitulasi Perolehan Kabupaten-Kota Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2018 menyebut Arinal-Nunik meraih 1.548.506 atau 37,78% dari 4.179.405 surat suara. Pasangan nomor 1, Ridho-Bachtiar memperoleh 1.043.666 suara atau 25,46%. Sementara pasangan nomor 2, Herman HN-Sutono memperoleh 1.054.646 suara atau 25,73%, dan pasangan nomor 4, Mustafa-Jajuli memperoleh 454.452 suara atau 11,04%. Sebaran suara di 15 kabupaten dan kota di seluruh Provinsi Lampung menunjukkan pasangan Arinal-Nunik unggul di tujuh dari 15 kabupaten dan kota.
Rinciannya:
1. Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 185.590 suara atau 38,32%
2. Kabupaten Pringsewu sebanyak 91.716 suara atau 43,82%
3. Kabupaten Lampung Timur sebanyak 304.931 suara atau 58,95%
4. Kota Metro sebanyak 28.620 suara atau 38,30%
5. Kabupaten Lampung Tengah sebanyak 305,980 suara atau 46,68%
6. Kabupaten Tulang Bawang sebanyak 79,916 suara atau 47,87%
7. Kabupaten Mesuji sebanyak 41.187 suara atau 41,49%.
Jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 5.768.061. Jumlah surat suara yang masuk sebanyak 4.179.405 atau 72,46%. Jumlah suara sah sebanyak 4.099.272. Jumlah suara tidak sah 80.133.
Jadi, sebenarnya pihak yang kalah dalam Pilgub 2018, siapapun keputusan KPU Lampung, bisa mensyukuri hasil tersebut. Mereka tidak perlu memikul tanggung jawab yang begitu berat. Tapi tampaknya di Provinsi Lampung, orang yang kalah cenderung sulit menerima kenyataan tersebut.
Saya kira, akan sangat baik bila tokoh-tokoh berpengaruh, baik Cagub sendiri maupun tim suksesnya, bisa menciptakan suasana harmonis dan kondusif bagi para pendukung. Tiupkanlah hawa sejuk, sampaikan kepada para pendukung agar mempercayakan proses di jalur hukum lewat mekanisme pengadilan. Tidak perlu pengerahan massa apalagi sampai berakhir pada peristiwa kerusuhan.
Pemungutan suara dan pengumuman hasil Pilgub 2018 terjadi setelah bulan Ramadan. Ramadan artinya membakar, membakar semua dosa dan kesalahan manusia. Setelah Ramadan, jatuh bulan Syawal. Syawal berarti meningkatkan. Ibadah serta segala ketaqwaan yang dibentuk selama Ramadan hendaknya terus ditingkatkan pada bulan-bulan setelahnya, dimulai dari Syawal. Jangan malah karena sudah tidak puasa, malah nafsu dipuaskan secara jor-joran.
Rasulullah Muhammad sendiri pernah bersabda, bahwa Perang Badar hanyalah perang yang kecil maknanya dibanding perang yang selanjutnya harus dihadapi manusia. Perang besar itu adalah perang menghadapi hawa nafsu. Manusia berhadapan dengan perang tersebut setiap hari. Jika bisa dimenangkan, Insyaallah bisa terhindarkan dari kerusuhan atau tindak destruktif lainnya.
Apapun hasil yang keluar dari KPU yang merupakan hasil final. Kita berharap semua pihak bisa menerimanya. Sebagai Daerahwan, kepentingan Daerah harus lebih diutamakan, bukan lagi kepentingan pribadi, partai, atau kelompoknya belaka. Perlu dipahami bahwa langkah yang diambil harus mengutamakan kepentingan rakyat, termasuk bagaimana menjauhkan masyarakat dari segala bentuk intimidasi.
Padahal jika direnungkan, bagi pihak yang kalah, masih ada kesempatan pada lima tahun lagi. Masih ada rentang waktu yang cukup untuk mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk bisa sejahterakan masyarakat. Jika rakyat kecil sudah sejahtera, niscaya pengusaha juga akan ikut menjadi lebih makmur. Hal itu terkait daya beli yang meningkat. Di sisi lain, menyejahterakan kalangan pengusaha saja tidak bisa menjamin kesejahteraan masyarakat kecil.
Contoh sederhana, bagaimana pengusaha gorengan bisa meraup keuntungan lebih besar saat Ramadan. Tiap sore omset mereka meningkat. Harus dipikirkan cara agar hasil tersebut bisa dikembangkan di luar bulan Ramadan. Inilah yang menjadi harapa bersama semua orang.
Pada zaman kekhalifahan dulu, di masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, masyarakat hidup begitu berkecukupan. Masa kepemimpinan beliau tidak lama, hanya sekitar 2,5 sampai tiga tahun. Tapi pada masa itu, untuk membayar zakat pun sulit. Tidak ada orang yang kekurangan materi, hingga uang zakat pun masuk kepada pemerintah yang pada gilirannya akan digunakan untuk kemakmuran bersama juga.Pada situasi tersebut, terlihat bagaimana Daerah dalam kondisi aman dan tenteram.
Orang ingin mencuri dan merampok karena ingin harta. Kalau semua orang sudah makmur, maka tidak ada alasan untuk melakukannya. Secara umum, jika kesejahteraan terpenuhi, maka situasi yagn tidak kondusif seperti kerusuhan bisa dihindari. Semua jadi baik jika kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesejahteraan batin terpenuhi. Selama beberapa waktu belakangan, bangsa dan Daerah kita dibuat jenuh oleh black campaign dan cara-cara curan gdemi menjegal lawan politik. Saya memandang langkah tersebut tidak sesuai dengan budaya kita sebagai bangsa Provinsi Lampung maupun sebagai umat Islam.
Perhatikan Pancasila. Sila pertama dikatakan jelas bagaimana rakyat Provinsi Lampung harus ber-Tuhan. Apapun agamanya, tidak ada yang mengajak bermusuhan dengan manusia lain. Kemudian mengutamakan hak-hak kemanusiaan. Ketiga, mengenai persatuan, yang bertolakbelakang dengan perceraian dan permusuhan.
Untuk menghadapi perbedaan pendapat, ada sila keempat yang menyebut mengenai permusyawaratan. Sayang, saat ini banyak masalah diselesaikan secara voting tanpa melalui proses musyawarah yang matang. Akibatnya, sering kita lihat adanya walk out di parlemen. Langkah itu berarti mengutamakan kepentingan sendiri. Terakhir, bagaimana keadilan sosial harus diperjuangkan bersama. Pemimpin harus memikirkan kesejahteraan bersama, bukan hanya keluarga dan golongannya saja.
Kembali ke Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, ia tengah mengerjakan tugas di bawah lentera yang redup. Ia sengaja tidak menggunakan terlalu terang, karena lentera itu adalah milik Daerah. Umar bin Abdul Aziz tidak ingin terlalu banyak memboroskan kekayaan Daerah itu.
Kala itu, ada kerabat yang datang. Umar pun bertanya apakah kedatangan yang bersangkutan adalah untuk kepentingan pribadi atau Daerah. Tamu itu menjawab, untuk berbicara kepentingan pribadi. Seketika itu, Umar bin Abdul Aziz pun mematikan lentera di ruangan itu. “Bukankah engkau kemari untuk urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan Daerah? Lentera beserta cahayanya ini dibayar oleh Daerah karena itulah aku matikan agar tidak terjadi penyelewengan penggunaan harta Negara,”, .
(Tulisan ini disadur dari tulisan akademisi saat Pilpres 2014)
Tinggalkan Balasan