Dini Pepilina : Saatnya Perempuan Dipilih

Pringsewu (SL) – Salah satu Calon Anggota Legislatif dari PDI Perjuangan Dapil 3 Kecamatan Gadingrejo menepis pendapat banyak orang bahwa keberadaan caleg perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap saja, Rabu (26/9/2018).

“Sudah saatnya perempuan harus berdaya, sekarang jamannya emansipasi wanita, dimana perempuan juga diberikan hak yang sama dengan laki laki, saatnya perempuan pilih perempuan”, ucap Dini.

Menggugat kuota, karena itu tidak ada salahnya bila semua pihak yang terkait diminta mengkaji ulang soal efektivitas pemenuhan kuota 30 persen perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia. Banyak isu yang perlu dijadikan pertimbangan berkenaan dengan aturan tersebut. Pertama, dengan penetapan kuota 30 persen itu, demokrasi Indonesia menjadi lebih liberal dibandingkan dengan di negara-negara tempat kelahiran demokrasi.

Liberalisasi di sini dimaknai sebagai proses ‘pemaksaan’ partisipasi perempuan dalam politik. Sementara, aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia berbeda. Tidak semua perempuan tertarik dengan dunia politik. Banyak yang lebih tertarik mengurusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya.

Anehnya, di negara-negara maju pengaturan kuota perempuan tidak diterapkan secara ketat. Dalam praktiknya, selama ini semua orang di Indonesia memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam penyaluran aspirasi politik, tanpa memandang jenis kelaminnya. Beda halnya jika ada aturan yang membatasi partisipasi perempuan.

Kedua, kewajiban parpol untuk memenuhi kuota 30 persen itu tidak sejalan dengan dengan kuota 30 persen untuk penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan lain-lain. Padahal, para penyelenggara ini juga merupakan elemen penting dalam proses demokrasi. Pertanyaannya, kalau perempuan bisa diberi kuota 30 persen dalam proses pencalegan, lalu mengapa tidak diberikan kuota 30 persen juga untuk para penyelenggaranya?

Ketiga, tidak ada jaminan bahwa dengan menetapkan kuota 30 persen, maka hasil dari pemilu akan menghasilkan 30 persen anggota legislatif perempuan. Faktanya, hanya perempuan-perempuan yang memiliki jiwa dan naluri politik kuat yang bisa lolos.

Tidak salah bila banyak orang mengatakan bahwa kuota perempuan itu sifatnya formalitas, bukan substansial. Dengan aturan itu, banyak parpol yang hanya sekedar merekrut caleg perempuan. Yang penting parpolnya lolos secara administratif. Persoalan perempuan yang direkrut itu serius atau tidak, kelihatannya tidak menjadi perhatian utama.

Keempat, aturan kuota 30 persen itu kemudian bisa juga dinilai malah melanggar hak-hak politik orang lain. Jika ternyata di dalam satu dapil ada yang tidak cukup kuota perempuannya, maka seluruh caleg di dapil itu digugurkan. Aturan ini secara faktual telah mengebiri hak-hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih dalam proses demokrasi yang ada.

Hanya karena kuota perempuan, muncul ketidakadilan pada yang lain. Padahal, substansi demokrasi itu bukanlah jenis kelamin, tetapi lebih pada bagaimana membumikan nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat. Kalau prosesnya saja dinilai sudah tidak adil, lalu apalagi yang diharapkan dari hasilnya?

Kelima, kalau memakai pengertian yang cukup mendalam, pemberian kuota 30 persen itu seakan menimbulkan kesan kalau perempuan tidak berdaya secara politik. Karena tidak berdaya, harus diberi kuota. Padahal, dalam sejarah politik nasional dan internasional, banyak tokoh politisi perempuan yang cukup tangguh yang tampil menjadi pemimpin. Tanpa ada kuota, mereka bisa survive dan jadi tokoh di negaranya. (Wagiman)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *