Bandarlampung (SL)-Lagi-lagi kader PDIP kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Kali ini giliran Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra yang diduga terlibat praktik jual beli jabatan. Jika terus begini, bisa-bisa OTT identik dengan PDIP.
Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira menyayangkan ada kembali kader PDIP tersangkut kasus hukum di KPK, apalagi terjadi menjelang Pemilu 2019. Padahal, partainya selalu mengingatkan kadernya untuk menjauhi hal hal tersebut.
“Akan tetapi itu tanggung jawab masing-masing. Partai tak pernah menginstruksikan orang melakukan korupsi sehingga ketika terjadi peristiwa itu tanggung jawab masing masing dan risiko pejabat publik,” kata anggota Komisi I DPR tersebut di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/10).
Bupati Cirebon yang juga kader PDIP, Sunjaya Purwadisastra langsung diberhentikan partai setelah terjaring operasi tangkap, Rabu (24/10) kemarin. Menurutnya, kader adalah wajah partai di publik. Karena itu, jika partai terganggu dan rusak karena kadernya maka kader tersebut harus dicopot.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa kejadian seperti ini terus berulang?
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencoba menjawabnya dengan sindiran. PSI menyebut parpol lama tak berkomitmen mengusung kader bersih. “Parpol bahkan belum berkomitmen menghadirkan politisi yang bersih, baik untuk legislatif maupun eksekutif,” kata Ketua DPP PSI Tsamara Amany dalam keterangan tertulis, Kamis (25/10/2018).
Tsamara menyebut OTT KPK terhadap Sunjaya semakin memperlihatkan parpol yang gagal membentengi kader dari tindak pidana korupsi.
PSI menyinggung persoalan di internal parpol lama dalam rekrutmen kader yang menjadi kepala daerah. “Kita tidak tahu apa yang terjadi dan dibicarakan. Tapi kabar yang santer beredar selalu melibatkan sejumlah uang sebagai mahar. Tak ada uang, tak ada pencalonan. Partai harus berani membuka sistem rekrutmen caleg secara transparan untuk menghindari kecurigaan,” kata Tsamara.
Karena itu, ditegaskan Tsamara, PSI sejak awal mendukung Peraturan KPU yang melarang mantan napi korupsi menjadi anggota legislatif. “Ketika partai-partai politik lama gagal karena terbenam dalam tradisi usang dan berbahaya, kehadiran sebuah partai baru yang menawarkan antitesis menjadi sangat relevan,” imbuh Tsamara.
Sementara Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menilai mahalnya ongkos politik dari pemilihan langsung menjadi akar masalah para kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi. “Nah dari kacamata saya pribadi dan kajian kami di DPR, kesimpulannya, akar persoalannya ada di pemilihan langsung mengeluarkan biaya yang tinggi,” ujar pria yang akrab disapa Bamsoet tersebut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/10).
Politikus Golkar ini menuturkan perlu adanya evaluasi sistem demokrasi pemilihan langsung kepala daerah. Ia mengaku lebih sepakat jika kepala daerah dipilih dengan sistem pemilihan tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). “Skalanya mungkin lebih kecil,” kata dia.
Bamsoet mengatakan berdasarkan diskusi DPR dengan berbagai pihak, termasuk penegak hukum, pengawasan terhadap 50 sampai 60 orang DPRD yang memilih kepala daerah jauh lebih mudah. “Tidak memerlukan money politic yang begitu tinggi dan rentan dan potensi benturan di akar rumput itu jauh lebih ringan,” katanya. (dbs/iwa)
Tinggalkan Balasan