Oleh : Risma Meilina
(Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah)
Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia bisa dikatakan Indonesia seperti mempunyai rutinitas untuk membawa kabut asap tiap tahun. Kebakaran hutan bukan hal baru, di Kalimantan kebakaran hutan sudah terjadi sejak abad 17.
Namun baru pada tahun 1980 terjadi peningkatan luas dan intensitas terjadinya kebakaran hutan, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam rentang waktu antara bulan Juli sampai Oktober 2015 telah mengakibatkan 38 orang meninggal dunia, sebanyak 556.972 anggota masyarakat menderita penyakit ISPA, dan sebanyak 45 juta orang terkena pencemaran kabut asap dan pada tahun 2017 tercatat sebanyak 20 hektare lahan gambut di Kabupaten Rokan Hilir telah terbakar, dan menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau sepanjang tahun 2018 sejak bulan Januari hingga Juli terdapat 1.962 hektar luas lahan yang terbakar di 10 Kabupaten dan Kota di Riau.
Sejak tahun 2006 masalah kebakaran hutan mulai diperbincangkan lagi saat terjadi kebakaran hebat pada bulan Juli-November 2006 di kawasan Sumatera dan Kalimantan yang menimbulkan trans boundary haze pollution. Dampak akibat kebakaran hutan tidak hanya terasa di Indonesia, namun ke negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia yang membuat negara-negara tetangga muncul kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat seperti pnyakit ISPA.
Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006 Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat, perekonomian serta pariwisata mereka, bahkan Malaysia mengecam Indonesia karena tidak mampu mengatasi masalah asap dan Indonesia harus membayar kompensasi akibat asap.
Secara umum, faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut adalah penyiapan lahan yang tidak terkendali dengan cara membakar, kesalahan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola hutan, lemahnya regulasi kebijakan dan peraturan, termasuk juga karena kebiasaan masyarakat dalam membuka lahan sembarangan tidak memperhatikan unsur-unsur yang seharusnya.
Meskipun beberapa faktor tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran, tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah karena tindakan manusia (Penjelasan atas PP No. 4 tahun 2001).
Dampak yang diakibatkan dari kebakaran adalah timbulnya penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), menurunkan kualitas udara dan jarak pandang di region di Sumatera dan Kalimantan, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand, dan terganggunya jalur transportasi udara, darat, dan laut yang diakibatkan tebalnya kabut asap tersebut.
Dampak dan kerugian tidak lagi menjadi milik negara yang menyebabkan kebakaran tersebut tetapi sudah menyebar ke negara tetangga, maka ASEAN mengambil langkah untuk mengatasi hal tersebut dengan meningkatkan kerjasama ditingkat regional, sub regional serta nasional secara terkoordinir dalam upaya pengambilan kebijakan terhadap permasalahan pencemaran asap yang telah melintas batas dengan menyusun ASEAN Cooperation Plan On Transboundary Pollution (ACPTP) atau Rencana Kerja Sama ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas pada tahun 1995.
Lalu pada tahun 2002 seluruh anggota ASEAN menandatangani perjianjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) namun pemerintah Indonesia baru menandatangani perjanjian tersebut pada tahun 2014.
Sebenarnya, Pemerintah Indonesia sudah mempunyai peraturan dalam penanggulangan masalah kebakaran hutan terjadi, seperti dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan, dan masih banyak lagi penguatan hukum tentang hutan.
Namun, masih saja terjadi kebakaran hutan tiap tahunnya. Ini berarti, peraturan yang dikeluarkan Pemerintah tidaklah efektif apabila tidak adanya kesadaran dari tiap pihak. Pengendalian dan perlindungan hutan bukan hanya tugas Pemerintah saja melainkan tugas masyarakat bersama. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan dalam penanganan kebakaran hutan di Indonesia perlu diutamakan dan dijadikan perhatian khusus agar dampak buruk dari kebakaran hutan dapat diminimalisir.
Saran untuk strategi yang dapat dilakukan pemerintah yaitu pemerintah dapat memfokuskan memberi pembekalan pelatihan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perhutanan agar dapat membantu dan menanggulangi jika terjadi kebakaran, sehingga kebakaran tidak menyebar luas.
Lalu, pemerintah dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait masalah tersebut. Menurut Menhut Zulkifli Hasan, pembangunan kehutanan yang berkelanjutan sangat membutuhkan SDM Penyuluh Kehutanan sebagai agen pembahuruan yang kompeten dan professional, karena dengan adanya penyuluhan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan serta sadar akan pentingnya sumberdaya hutan bagi kehidupan manusia.
Selanjutnya, Pemerintah dapat menggencarkan promosi tentang Green Economy khususnya di bidang Kehutanan, karena Indonesia sendiri sudah mulai memakai Green Economy namun belum sepenuhnya berhasil. Keterkaitan Green Economy dalam bidang Kehutanan itu sendiri adalah karena Hutan sebagai penjaga sumberdaya air dan juga fungsi konservasi dan jasa lingkungan lainnya menjadi faktor yang sangat penting untuk menentukan terbentuknya ekonomi hijau.
Termasuk pembentukan komoditas karbon untuk “ditransaksikan” di kemudian hari. Dengan demikian, penggunaan lahan hutan untuk kegiatan pertanian, pertambangan, dan pemanfaatan kegiatan lainnya perlu dijaga melalui tata ruang yang ketat dan konsisten.
Potensi hutan selama ini hanya memfokuskan pada hasil produk kayu dan belum memperhatikan akan manfaat nilai jasa lingkungan dan nilai biodiversitas yang ada.
Padahal, jasa lingkungan dan nilai biodiversitas dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan baik negara, daerah maupun masyarakat yang sangat strategis dan bahkan dapat dikembangkan sejalan dengan pembentukan ekonomi hijau (Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional, 2012) pemerintah Indonesia pun bisa menjadikan negara negara maju yang sudah memakain strategi Green economy itu sebagai contoh, agar strategi tersebut berjalan lancar di Indonesia. ***
Tinggalkan Balasan