Pesawaran (SL)-Reklamasi bertujuan menjadikan kawasan berair yang belum termanfaatkan menjadi suatu kawasan darat yang lebih bermanfaat. Namun, bagaimana jika reklamasi yang dilakukan itu bermasalah. Inilah yang terjadi di pantai Desa Sidodadi, Kecamatan Telukpandan, Pesawaran. Sempat terhenti sekitar delapan bulan, pengerukan bukit dan reklamasi di pantai itu kembali berlanjut.
Berdasar pada pengamatan Lampung Post pada akhir pekan lalu, di lokasi terlihat tiga unit alat berat digunakan untuk mengeruk dan menimbun pantai. Pengerukan dengan alat berat di lokasi bukit tidak jauh dari pantai. Material dari penggerusan bukit kemudian diangkut truk ke lahan reklamasi.
Pengelola lokasi sendiri berdalih yang dilakukan itu untuk kepentingan pariwisata di Lampung. Aktivitas penimbunan pantai itu membuat para nelayan pemilik karamba jaring apung (KJA) harus kehilangan sebagian mata pencariannya. Air menjadi keruh dan ikan-ikan mati. Pengelola wisata akan memindahkan nelayan ke lokasi lain dan pemilik KJA akan diberi ganti rugi.
Reklamasi di Sidodadi bukan isu baru. Pasalnya, Bupati Pesawaran telah memerintahkan menutup sementara aktivitas reklamasi di pantai itu termasuk di Pulau Tegal, Desa Gebang, Telukpandan pada Februari lalu.
Dinas Lingkungan hidup Lampung mengungkapkan reklamasi di kedua daerah tersebut tidak memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Penimbunan laut ini tidak memiliki dua perizinan, yaitu amdal dan izin reklamasi.
Reklamasi ilegal juga dikuatkan hasil investigasi Walhi Lampung di dua lokasi pantai tersebut. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sejatinya bisa dipakai untuk menjerat para pelaku reklamasi tanpa izin. Dalam Pasal 73 UU 27/2007, pelaku reklamasi ilegal bisa disanksi pidana paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Penegak hukum juga bisa memakai UU No 32/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aktivis lingkungan dan dinas terkait telah menyimpulkan ada pelanggaran yang terang benderang terjadi di depan mata. Ada fakta perusakan lingkungan pesisir akibat reklamasi ilegal. Namun, kita seperti dibuat tidak berdaya menghadapi pengusaha yang hendak membangun destinasi wisata di lokasi tersebut. Aturannya sudah ada. Tinggal melaksanakan penerapannya di lapangan.
Polda Lampung dan Polres Pesawaran juga telah melakukan penyelidikan. Sayangnya, hingga kini belum diketahui seperti apa hasil penyelidikan kepolisian. Sejauh mana langkah-langkah yang dilakukan Polda Lampung untuk menuntaskan kasus ini juga belum terlihat. Polda sepertinya enggan menangani perkara reklamasi yang melibatkan kepentingan pengusaha pariwisata. Pengusutan reklamasi dilakukan saat Polda Lampung masih dipimpin Irjen Suntana dan Kapolres Lampung Selatan AKBP Syaiful Wahyudi.
Kini dua petinggi di institusi penegakan hukum tersebut sudah berganti. Publik mengingatkan kepada kapolda dan kapolres yang menjabat sekarang bahwa masih ada pekerjaan rumah untuk mengusut kasus kejahatan lingkungan yang belum selesai. Aparat penegak hukum harus memberikan contoh yang baik dalam penegakan hukum. Jangan sampai masyarakat menilai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Polda harus terbuka memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. Publik berhak mengetahui apa yang telah dilakukan Polda Lampung dalam menuntaskan kasus ini. Nyali aparat polisi dan pemda dipertanyakan untuk menuntaskan kasus ini. Jangan sampai hukum kita diinjak-injak atas nama kepentingan bisnis wisata. (lampost)
Tinggalkan Balasan