sinarlampung.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang tidak pernah lepas dari perhatian media massa. Tidak hanya media massa nasional, media massa asing juga menaruh perhatian terhadap Jokowi.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menjadi perhatian karena masuk di koran ternama Jepang The Nikkei sebanyak dua halaman penuh. Media massa Nikkei mengangkat profil Jokowi yang memulai karier sebagai pengusaha meubel hingga akhirnya menjadi orang nomor 1 di Indonesia.
Nah kali ini Jokowi kembali menjadi topik pembicaraan. Media massa internasional Asia Times memberitakan tentang pemerintahan Jokowi. ATimes atau Asia Times adalah sebuah media online berbahasa Inggris yang berbasis di Hongkong, rilis pertama kali tahun 1999 dan merupakan turunan dari media cetak yang diciptakan di Thailand tahun 1995 namun akhirnya tutup di pertengahan 1997.
ATimes diciptakan oleh pemilik bisnis media raksasa asal Thailand, Sondhi Limthongkul, yang sekaligus merupakan pimpinan dari partai demokrasi setempat (People’s Alliance for Democracy) dan mengkover masalah sosial politik di Asia. Melalui tulisan jurnalisnya John McBeth, Asia Times (ATimes) mengkritik keras pemerintahan Jokowi yang dinilai hanya pencitraan.
Bahkan judul yang diambil dalam tulisan ini sangat keras. Dimana Jokowi disebut sebagai orang yang menipu dengan menggunakan istilah Smoke and Mirror. Tulisan itu berjudul “Widodo’s Smoke and Mirrors Hide Hard Truths”. John McBeth mengawali tulisannya diawali dengan kilas balik ke tahun 2011, bahwa peristiwa serupa (pembiasan fakta) terjadi juga tahun 2011 ketika Presiden SBY berurusan dengan perkara impor daging sapi dari Australia.
ATimes menyorot pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan Joko Widodo yang dipamerkan di berbagai media. Tetapi pada kenyataannya proyek-proyek tersebut berjalan tidak lancar. Sorotan pertama adalah proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang dibackup dana dari Cina senilai 5,8 miliar USD yang terhambat karena masalah pembebasan lahan dan akhirnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada waktu itu malah terkena reshuffle (berganti jabatan ke bidang lain)
UPDATE
Bagaimana fakta sebenarnya dari berbagai kritik yang ditulis oleh media asing tersebut?
Informasi yang diperoleh Tribun terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, proyek ini ditargetkan akan mulai beroperasi pada tahun 2021 mendatang.
Direktur PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Dwi Windarto, sebagaiman dilansir berbagai media beberapa waktu lalu mengungkapkan, Kereta cepat Jakarta-Bandung memiliki panjang jalur 142,3 km.
Dengan kecepatan 350 km/jam, jarak Jakarta-Bandung bisa ditempuh dalam waktu 36-44 menit. Kereta akan berhenti di stasiun setiap 20 menit sekali.
Tak hanya proyek kereta api cepat yang terus berjalan, proyek infrastruktur lainnya juga telah terbangun dan difungsikan. Contohnya, jalan tol yang menyambungkan Jakarta hingga Surabaya.
Presiden Joko Widodo menjajal langsung ruas tol Trans Jawa itu pada Kamis, 20 Desember 2018, sekaligus meresmikan empat ruas tol Trans Jawa di Jawa Timur.
Sebanyak empat ruas tol yang diresmikan yakni Wilangan-Kertosono, Bandar-Kertosono, relokasi Porong-Gempol, dan ruas Pasuruan-Grati.
Jokowi berharap jalan tol yang diresmikan ini bisa memudahkan masyarakat. Dia juga mengatakan dampak pembangunan tol ini juga pada arus barang dan jasa yang lebih mudah dan murah. Selain itu, masyarakat memiliki alternatif pilihan rute.
Jokowi juga berharap ruas tol tersebut bisa terintegrasi dengan dengan wilayah pariwisata dan industri, serta kawasan ekonomi khusus (KEK). Jokowi mencontohkan Kabupaten Ngawi yang sudah banyak dilirik investor karena harga tanah dan biaya tenaga kerja lebih kompetitif.
Sorotan kedua adalah proyek pembangunan pembangkit listrik di Batang yang dibackup oleh investasi dari Jepang senilai 4 milyar USD yang juga terkendala masalah pembebasan lahan.
Bagaimana dengan proyek pembangunan pembangkit listrik di Batang yang menurut koran tersebut eksekusinya belum bisa mengalami progres signifikan pasca ground-breaking dilakukan?
Fakta yang diperoleh Tribun, Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU Batang berkapasitas 2×1.000 megawatt yang digarap PT Bhimasena Power Indonesia tersebut telah mencapai 57,2% pada awal November 2018.
PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) optimistis proyek yang nilai investasinya mencapai 4,2 miliar dolar AS tersebut akan selesai tepat waktu.
“Progres pembangunan PLTU Jawa Tengah ini terus meningkat dan kini sudah mencapai 57,2 persen. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan yang siginifikan terhadap perkembangan proyek,” kata Takashi Irie, Presiden Direktur Bhimasena Power Indonesia, Rabu (31/10/2018).
Wasistho Adjinugroho, Direktur External Relations Bhimasena Power Indonesia menambahkan, PLTU Batang merupakan ikon pertama proyek kerja sama pemerintah dan swasta pada sektor penyediaan listrik di Indonesia.
“PLTU Batang ini merupakan PLTU di Indonesia yang menggunakan teknologi tinggi dan ramah lingkungan, yakni Ultra Supercritical,” jelas Wasistho dan menambahkan, PLTU tersebut ditargetkan mulai beroperasi pada 2022.
Poin berikutnya yang menjadi kritikan ATimes adalah masalah Freeport.
ATimes mengakui bahwa langkah yang berhasil dicapai pemerintah Indonesia mengenai divestasi saham Freeport sebesar 51% adalah sebuah pertunjukan yang sangat baik di mata publik.
Tetapi ATimes juga menyorot kegagalan media lokal mempertanyakan nilai dari divestasi tersebut dan bagaimana struktur manajemen yang baru akan diberlakukan.
Periode terdekat deadline tersebut adalah Juni 2018. Jika pemerintah memutuskan untuk menghentikan ijin ekspor ini, hal tersebut akan berdampak buruk bagi pemasukan perusahaan, juga pemasukan devisa & pajak terhadap pemerintah, dan lebih buruknya, bisa berakibat PHK dalam jumlah besar yang efeknya kurang baik secara sosial maupun politik.

Terlebih, beberapa waktu lalu Pemerintah Pusat juga membuat pengumuman bahwa 10% saham Freeport akhirnya akan diserahkan kepada pemerintah lokal di Papua.
Ini adalah masalah pelik mengingat Papua juga merupakan wilayah yang kerap dikaitkan dengan isu pemisahan diri.
UPDATE:
Informasi terbaru, PT Inalum (Persero) resmi membeli sebagian saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dengan begitu, kepemilikan saham Indonesia atas PTFI meningkat dari 9 persen menjadi 51 persen.
“Pada hari ini, telah kita selesaikan proses panjang perubahan KK Freeport jadi IUPK. Hari ini telah selesai ditandatangani oleh Menteri ESDM, dan semuanya sudah diselesaikan,” ujar Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono di Jakarta, Jumat (21/12/2018).
Dengan terbitnya IUPK ini, PTFI akan mendapatkan kepastian hukum dan kepastian berusaha dengan mengantongi perpanjangan masa operasi 2 x 10 tahun hingga 2041, serta mendapatkan jaminan fiskal dan regulasi. PTFI juga akan membangun pabrik peleburan (smelter) dalam jangka waktu lima tahun.
Terkait dengan pengalihan saham, INALUM telah membayar 3.85 miliar dolar AS kepada Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto, untuk membeli sebagian saham FCX dan hak partisipasi Rio Tinto di PTFI sehingga kepemilikan INALUM meningkat dari 9.36 persen menjadi 51.23 persen.
Kepemilikan 51.23 persen tersebut nantinya akan terdiri dari 41.23 persen untuk INALUM dan 10 persen untuk Pemerintah Daerah Papua. Saham Pemerintah Daerah Papua akan dikelola oleh perusahaan khusus PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPPM) yang 60 persen sahamnya akan dimiliki oleh INALUM dan 40 persen oleh BUMD Papua.
INALUM akan memberikan pinjaman kepada BUMD sebesar 819 juta dollar AS yang dijaminkan dengan saham 40 persen di IPPM. Cicilan pinjaman akan dibayarkan dengan dividen PTFI yang akan didapatkan oleh BUMD tersebut. Namun dividen tersebut tidak akan digunakan sepenuhnya untuk membayar cicilan. Akan ada pembayaran tunai yang diterima oleh Pemerintah Daerah.
Struktur kepemilikan Pemerintah Daerah Papua tersebut adalah struktur yang lazim dan sudah mempertimbangkan semua aspek, termasuk aspek perpajakan yang lebih efisien bagi semua pemegang saham serta aspek perlindungan dari masuknya penyertaan swasta didalam kepemilikan.
“Bukan sekadar naik 51 persen, yang terjadi disini bukti ke dunia bahwa Indonesia membuka diri pengelolaan SDA nya tetap mengikuti prinsip konstitusi kita, tapi kita melakukannya dengan friendly, profesional, dan partnership yang saling menguntungkan,” kata Ditektur Utama PT INALUM Budi Gunadi Sadikin.
Masalah berikutnya adalah blok gas alam di Marsela.
ATimes menulis ini sebagai salah satu “spin machine” pemerintah, di mana bahkan untuk alasan yang politisi senior pun tidak dapat mencernanya, Joko Widodo menginginkan dibangunnya fasilitas pengolahan onshore di area terpencil tersebut.
Sementara Shell dan Inpex sebagai investor utama memandang skeptis permintaan tersebut dengan argumen bahwa hanya fasilitas offshore sajalah yang secara hitungan matematis logis untuk dibangun di sana, terlebih mempertimbangkan juga kondisi daratan bawah laut dan ketiadaan infrastruktur penunjang di sana.
Meski statusnya masih abu-abu, pemerintah malah lebih dulu mengumumkan bahwa proyek pembangunan itu akan berjalan dan investor tengah mengerjakan rencana detil untuk pengerjaan fasilitas onshore tersebut.
UPDATE:
Presiden Joko Widodo memiliki alasan khusus mengapa pembangunan kilang pengolahan gas Blok Masela diputuskan untuk dibangun di darat (onshore).
“Fokus Presiden terkait Blok Masela, tidak hanya sekedar keuntungan yang dikejar. Tapi berkaitan dengan pengembangan wilayah Indonesia timur,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi di Istana, Rabu (23/3/2016), sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Jokowi ingin pembangunan kilang pengolahan gas Blok Masela di darat itu turut merangsang perkembangan infrastruktur di sekitarnya sehingga berimbas positif bagi ekonomi masyarakat di daerah tersebut.
“Apalagi ini adalah proyek yang tidak berjalan setahun dua tahun. Tapi juga bisa puluhan tahun dan kapital yang diproyekkan ini kan ratusan triliun,” lanjut Johan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kala itu masih dijabat Arcandra Tahar menyatakan akan mengikuti keputusan Presiden RI Joko Widodo terkait pengembangan lapangan gas abadi Masela, Laut Arafura, Maluku, yakni pengembangan darat (onshore).
Arcandra memastikan tidak memiliki niat untuk melakukan kajian ulang terhadap pengembangan Blok Masela, meski memiliki kompetensi di bidang perencanaan anjungan minyak dan gas bumi (migas) lepas pantai (offshore).
“Masela sudah diputuskan oleh Pak Presiden untuk menggunakan opsionshore. Saya sebagai pembantu presiden, akan menjalankan amanat ini agar Masela dikembangkan dengan pilihan LNG plant-nya ada di onshore. Itu jawabannya,” kata Arcandra saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Sorotan ATimes berikutnya adalah masalah swasembada pangan. Tahun 2015, pemerintah mengumumkan turunnya impor daging sapi dari 31% ke 24%, tanpa ada yang mengemukakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia adalah sangat rendah di wilayah Asia Tenggara (hanya 2,7kr per kapita per tahun).
Angka impor ini naik lagi ke 32% dan tahun lalu (2017) proporsi impor daging sapi mencapai 41% dengan harga daging 10 USD per kilogram.
ATimes menganggap sangat aneh jika pemerintah mengklaim ini sebagai bukti keberhasilan program swasembada pangan.
ATimes melanjutkan, bebas dari impor beras selalu menjadi “mimpi” bagi orde pemerintahan Indonesia, dan sejauh ini yang berhasil baru perencanaan jangka panjang dan hati-hati yang diterapkan di era Soeharto.
UPDATE:
Mengenai swasembada pangan, khususnya daging sapi, yang disoroti media asing tersebut, pada Agustus 2018 lalu Kementerian Pertanian berhasil merilis data menekan angka impor daging.
Hal tersebut terlihat dari data tren penurunan angka impor daging sapinasional, setidaknya sejak 2016. Data tersebut sekaligus membantah isu yang dihembuskan beberapa pihak yang menyatakan impor daging sapi meningkat.
Data yang dirangkum oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian menunjukkan realisasi Impor daging pada tahun 2016 sebanyak 147.851 ton, sementara pada tahun 2017 turun menjadi sebanyak 120.789 ton.
Sedangkan impor daging untuk tahun ini 2018 sampai dengan 30 Juni realisasi baru mencapai 69.168 ton atau baru mencapai 61% dari prognosa impor daging tahun 2018 sebesar 113.510 ton.
“Artinya, dari data tersebut, apabila impor daging tahun 2018 tidak melebihi prognosa, maka impor daging mengalami trend penurunan dari tahun 2016-2018,” jelas Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita saat diwawancarai pada Sabtu (18/8/2018).
Tinggalkan Balasan