(Apresiasi buku kumpulan puisi Perawi Rempah karya Ahmad Yulden Erwin)
Oleh : Ardiansyah
Sebelum mulai membaca buku kumpulan puisi karya sastrawan Ahmad Yulden Erwin, yang diberi judul Perawi Rempah, saya memulainya dengan mempersiapkan secangkir kopi panas, (bahkan ekstra panas) dengan dua bungkus rokok di atas meja. Malam, saat suasana begitu hening dan nyaman.
Jujur, saya benar-benar merasakan hasrat yang begitu hebat. Entah dikarenakan ekspektasi besar terhadap sastrawannya atau disebabkan kerinduan saya terhadap karya sastra terhapus seketika saat menerima kiriman tiga buku kumpulan puisi ini di Rabu sore, (16/1/2019), selepas pulang dari rutinitas di hari itu. Tiga buku kumpulan puisi yang saya terima, masing-masing berjudul Perawi Rempah, Perawi Tanpa Rumah, dan Hara Semua Kata.
Saya pun memulai dengan membaca satu buku bertajuk Perawi Rempah dan merupakan judul salah satu dari 42 puisi yang terdapat dalam buku tersebut. Rasa penasaran saya terhadap buku ini begitu hebat. Bisa jadi, salah satu alasannya karena puisi Perawi Rempah menjadi nominasi dari perhelatan The 18’th Kusala Sastra Khatulistiwa 2017-2018. Dalam ajang penghargaan bagi para penyair mutakhir abad ini, dua sastrawan Lampung tercatat sebagai nominatornya, yakni Ahmad Yulden Erwin dan Ari Pahala Hutabarat.
Membaca sekumpulan puisi pilihan yang ada di buku Perawi Rempah, saya dihadapkan dengan sejarah politik di negeri ini yang sungguh memilukan — jika tak berani saya sampaikan dengan kalimat : sejarah politik yang menakutkan !
Kekayaan rempah-rempah yang tumbuh subur di negeri berjuluk tanah surga ini, berikut runtutan kekayaan alamnya, dan juga kehalusan kebudayaan dari keberagaman masyarakatnya, dirampas. Oleh siapa ? Oleh sejarah politik di negeri ini.
Kengerian sejarah itu tergambar begitu kuat dalam puisi berjudul Kandang Pieterszoon. (Berikut kutipannya, dengan mengesampingkan tipografi aslinya yang menurut saya sangat eye catching).
“Sapi hijau, sapi merah, sapi kuning. Langit adalah kandang para sapi, tempat mereka berpinak dan mati. Ada banyak pilihan menjadi sapi : sapi angin, sapi api, sapi besi, sapi tanah–semua adalah daging, makanan mewah harimau hutan plus para tiran. Sapi biru! Biru mestilah warna suci mata para dewa, … dan seterusnya”.
Dalam puisi ini, saya seakan melihat sejarah kelam perpolitikan di Indonesia : bagaimana penindasan dari sebuah tirani dan penjajahan. Bagaimana penderitaan tanpa perlawanan.
Melalui puisi Kandang Pieterszoon, Ahmad Yulden Erwin menarasikannya kepada saya sebagai letupan pembebasan. Irama yang meledak dalam semangat dan keberanian untuk bangkit, terus berdiri, serta keinginan agar tetap melawan.
Melawan apa?
Melawan hak kemanusiaan yang dirampas dan sejarah politik yang menakutkan.
Tanpa terasa, kopi di gelas kedua tinggal setengah. Rokok di bungkus yang juga kedua, tercabik cukainya.
Dalam puisi yang lain dari buku kumpulan puisi Perawi Rempah, kembali saya merasakan satu kepedihan yang dilahirkan dari adanya agresi militer penjajahan. Puisi itu berjudul Gramofon Hindia, 2012. (Berikut kutipannya yang begitu terasa menyayat hati saya).
“Cornelis de Houtman, kau hampir tiba di akhir perjalananmu. Seperti lolong anjing mengendus jejak malam, memanjang dan menyusut perlahan, dikejar jilatan cahaya lenyap di bukit batu. Suara-suara gaduh di telinga : gerutu, isak, ampuni bapak saya… dan seterusnya”.
Secara psikologis, saya sangat terpengaruh dan terbawa dalam satu ikatan emosi kepedihan. Membayangkan kejadian itupun, sungguh, saya tak sanggup.
Puisi sastrawan Ahmad Yulden Erwin dalam bukunya yang satu ini patut saya rekomendasikan untuk jadi bahan pembelajaran. Sangat luar biasa dari segi teknik penulisan puisi naratifnya. Jejak sejarah politik yang muram serta tidak diketahui banyak orang, dihadirkan begitu gamblang, logis, serta realistis. Ironis sekaligus edukatif.
Sekumpulan puisi Ahmad Yulden Erwin di buku ini, saya yakin mampu membakar semangat nasionalisme dan membangkitkan jiwa patriotisme kaum millenial yang terkubur.
Sebagai penutup, saya tuliskan apresiasi ini, semata-mata sebagai seorang penikmat karya sastra. Saya ibaratkan diri saya sebagai seorang Gembala yang Lupa Arah Pulang.
*penulis adalah wartawan media siber sinarlampung.com
Tinggalkan Balasan