Pendapat Hukum Tentang Permenriset, Teknologi, dan Dikti RI No 12 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan

Oleh: Dr. Ridwan, SH., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta)

Permasalahan Hukum

Bahwa Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan (selanjutnya ditulis Permen Ristek Dikti), menentukan bahwa “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membentuk Panitia Uji Kompetensi Nasional.” dan “Panitia Uji Kompetensi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur: a. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; b. Kementerian Kesehatan; c. Perguruan Tinggi; dan d. Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi.”

Bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Pasal 16 UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan menentukan secara tegas bahwa; “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.”

Pertanyaan Hukum

Apakah Permen Ristek Dikti tersebut dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan yang sah (rechtmatig)?
Apa konsekuensi yuridis ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti tersebut terhadap lembaga pendidikan bidang Kesehatan dan Keperawatan?

Analisis Hukum

Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
Bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Bahwa secara umum dapat dikatakan, suatu peraturan perundang-undangan dianggap sah jika dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta dibuat sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bahwa di dalam Pasal 21 ayat (7) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Pasal 16 ayat (7) UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan telah disebutkan; “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.”

Bahwa Permen Ristek Dikti tersebut tergolong sebagai peraturan perundang-undangan (regeling) yaitu instrumen hukum yang dibentuk atas dasar kewenangan membentuk peraturan (bevoegdheid tot wetgeving), bukan sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan kebijakan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung.

Artinya peraturan kebijakan tidak didasarkan pada kewenangan pembuatan undang-undang – oleh karena itu tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum – tetapi dilekatkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi negara dan terkait dengan pelaksanaan kewenangannya.

Bahwa berbeda dengan peraturan kebijakan yang tidak terikat pada sistem hirarki, Permen Ristek Dikti ini sebagai peraturan perundang-undangan materi muatannya (het eigenaardig onderwerp) harus sesuai atau tidak boleh menyimpangi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang-undangan itu antara lain harus ada kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan.

Bahwa meskipun Permen Ristek Dikti tersebut dibentuk atas dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan telah dibentuk oleh “kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 huruf b UU No. 12 Tahun 2011, sehingga dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan, namun di dalamnya ada isi atau materi muatan yang tidak benar ditinjau dari norma keilmuan hukum atau tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011. Dengan kata lain, Permen Ristek Dikti tersebut mengandung cacat hukum (rechtsgebreken), yaitu pada Pasal 5 khususnya ayat (2) dan ayat (3).

Bahwa Permen Ristek Dikti tersebut dikualifikasi cacat hukum (rechtsgebreken) dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Bertentangan dengan undang-undang;

Pasal 21 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan secara tegas bahwa; “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.” Redaksi yang sama tentang uji kompetensi ini ditemukan juga dalam Pasal 16 UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan;

“Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi Perawat, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.” Menurut Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa; “Sertifikat kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan keahlian dalam cabang ilmunya. Sertifikat kompetensi diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi.”

Berdasarkan ketentuan undang-undang ini telah jelas bahwa Uji Kompetensi ini dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi, dan Lembaga Pelatihan atau Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi, sementara Permen Ristek Dikti menentukan bahwa Uji Kompetensi ini dilaksanakan oleh Kementerian Ristek Dikti, Kementerian Kesehatan, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Profesi/Lembaga Pelatihan/Lembaga Sertifikasi. Dalam hal ini, Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 membentuk norma baru yang tidak ada perintahnya dalam undang-undang, yaitu menunjuk dan menetapkan keterlibatan Kementerian Ristek Dikti dan Kementerian Kesehatan dalam Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.

Sehubungan dengan keterlibatan Kementerian Ristek Dikti dan Kementerian Kesehatan itu menyimpangi ketentuan undang-undang, sehingga keterlibatannya harus dianggap “tanpa hak” dalam kaitannya dengan pemberian Sertifikat Kompetensi. Di dalam Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan;

“Perseorangan, Organisasi, atau Penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan Sertifikat Kompetensi.” Pelanggaran terhadap ketentuan pasal ini diancam dengan sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 93 Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi; “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dengan demikian, Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 ini bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Melanggar Asas Preferensi; “lex superior derogat legi inferiori”

Telah disebutkan bahwa Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 ini merupakan peraturan perundang-undangan (regeling). Sebagai peraturan perundang-undangan, Permen Ristek Dikti terikat pada sistem hirarki yang susunannya ditentukan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berkenaan dengan sistem hirarki ini berlaku asas lex superior derogat legi inferiori, artinya peraturan lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Dalam pengertian lain, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan atau menyimpangi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Konsekuensi yuridis asas preferensi ini adalah bahwa dalam hal peraturan yang lebih rendah itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan yang lebih rendah itu dianggap batal atau tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (materiale rechtskracht).

Bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan doktrin Hukum Administrasi;

Telah dikemukakan bahwa Kementerian Ristek Dikti memperoleh kewenangan atas dasar Pasal 21 ayat (7) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Pasal 16 ayat (7) UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan untuk membuat peraturan perundang-undangan tentang tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi, artinya Kementerian Ristek Dikti memperoleh kewenangan atribusi.
Ketika Kementerian Ristek Dikti menerbitkan Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016, yang di dalamnya memberikan kewenangan kepada Kementerian Kesehatan untuk terlibat dalam pelaksanaan Uji Kompetensi, hal ini menunjukan adanya pendelesaian kewenangan.

Berdasarkan Pasal 12 ayat (3) disebutkan bahwa, “Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.” Undang-undang yang terkait dengan kesehatan dan keperawatan tdak ada satu pasal pun yang mengatur tentang pemberian delegasi dalam pelaksanaan Uji Kompetensi.

Sebagaimana halnya UU No. 30 Tahun 2014, yang mensyaratkan pemberian delegasi itu atas dasar peraturan perundang-undangan, dalam doktrin Hukum Administrasi Negara juga dipersyaratkan seperti itu; pemberian delegasi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan “delegatiegrondslag in een wettelijk voorschrift.”

Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa dalam struktur ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia, kedudukan hukum (rechtspositie) kementerian itu berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. dengan struktur seperti itu, kewenangan kementerian itu berasal dari undang-undang dan Presiden seperti melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Kedudukan menteri-menteri dalam struktur pemerintahan di Indonesia bersifat sederajat.

Di dalam Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 tersebut tampak bahwa Menteri Ristek Dikti memberikan wewenang kepada Menteri Kesehatan untuk terlibat dalam pelaksanaan Uji Kompetensi. Pemberian wewenang dari organ pemerintahan yang kedudukan hukumnya sederajat ini menyalahi doktrin Hukum Administrasi tentang tata cara pemberian wewenang (bevoegdheid overdracht).

Ada Pertentangan Norma antar Ayat

Di dalam Pasal 5 ayat (1) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 disebutkan; “Uji Kompetensi diselenggarakan oleh perguruan tinggi
bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi,” sedangkan pada Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) ditentukan; “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membentuk Panitia Uji Kompetensi Nasional.” Dan “Panitia Uji Kompetensi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur: a. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; b. Kementerian Kesehatan; c. Perguruan Tinggi; dan d. Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi.”

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 berisi norma hukum yang sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sedangkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tidak sesuai dengan tiga undang-undang tersebut.

Bahwa dengan demikian, Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan yang sah (rechtmatig), kecuali ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3). Oleh karena itu, norma Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) harus dianggap tidak memiliki kekuatan hukum baik materil maupun formil (formeel-en materiel rechtskracht).

Konsekuensi Hukum

Bahwa berdasarkan Pasal 62 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 12 Tahun 2012 ditentukan sebagai berikut; “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma,”, “Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi,” dan “Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh Perguruan Tinggi.”

Berdasarkan Pasal 22 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi ditentukan; “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.” Selanjutnya menurut Pasal 22 ayat (3) disebutkan; “Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas; a. otonomi di bidang akademik, yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: 1. pendidikan; 2. penelitian; dan 3. pengabdian kepada masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. otonomi di bidang nonakademik yang meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: 1. organisasi; 2. keuangan; 3. kemahasiswaan; 4. ketenagaan; dan 5. sarana prasarana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahwa otonomi itu mengandung arti kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengelola (vrijheid en zelfstandigheid tot regelen en besturen) suatu urusan tanpa keterlibatan pihak lain.

Bahwa setiap perumusan dan penentuan norma hukum itu diarahkan pada tujuan tertentu ketika diberlakukan atau diterapkan. Sasaran yang dituju melalui pemberlakuan norma hukum itu secara umum disebut akibat atau konsekuensi hukum (rechtsgevolgen) yang dapat berupa timbul atau hilangnya hak-hak dan kewajiban, penciptaan hubungan hukum baru, perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada, pembentukan atau pembubaran institusi, dan sebagainya.

Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 memuat norma hukum yang berupa pembentukan kepanitiaan Uji Kompetensi Nasional yang unsurnya adalah a. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; b. Kementerian Kesehatan; c. Perguruan Tinggi; dan d. Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi.

Bahwa pemberlakuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016, yang melibatkan Kementerian Ristek Dikti dan Kementerian Kesehatan yang merupakan unsur pemerintah tersebut, telah terjadi intervensi sehingga menimbulkan akibat hukum yang berupa hilangnya Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan proses pendidikan secara otonom.

Bahwa dengan demikian, konsekuensi yuridis ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti tersebut adalah hilangnya otonomi bagi Perguruan Tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan bidang Kesehatan dan Keperawatan.

Bahwa sehubungan dengan eksistensi Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan proses pendidikan itu dijamin oleh undang-undang dan peraturan pemerintah, maka peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya tidak dapat menganulir ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permen Ristek Dikti No. 12 Tahun 2016 harus dianggap batal atau tidak sah (onrechtmatig) dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Yogyakarta, 29 Januari 2019.

Dr. Ridwan, SH., M.Hum.

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *