Investasi dan Konflik Agraria di Lampung Masih Mengangga

Oleh: Ilwadi Perkasa

ADA yang menarik yang seharusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintahan Jokowi bilamana ingin membuka keran investasi seluas-luasnya. Bahwa kebijakan membuka keran investasi berpotensi memicu konflik agraria antara masyarakat dengan investor.

Pernyataan bernama ancaman bagi siapa pun yang dianggap menghambat investasi dapat menimbulkan kesalahpahaman yang secara tidak langsung sudah distempelkan kepada masyarakat sekitar lahan investasi serta aktivis lingkungan hidup yang kerap dicap sebagai pihak yang menghambat.

Mengacu pengalaman di masa lalu, investasi selalu menimbulkan potensi konflik lahan yang sulit diselesaikan. Bahkan, tidak sedikit akhirnya menimbulkan kerusuhan massa. Investasi berpotensi menggerus lahan-lahan masyarakat dan mengurangi luasan lahan konservasi. Padahal saat ini, sudah hampir 62 persen luas daratan Indonesia dikuasai investor. Terutama perusahaan di bidang tambang, kehutanan, kelapa sawit, dan migas.

Penguasan lahan oleh investor yang sudah menguasai 62 persen tersebut masih menyisakan berbagai konflik agraria di hampir semua daerah. Di Lampung, misalnya, menurut data LBH Bandarlampung 2018 lalu, masih diwarnai konflik agraria yang tak sulit dituntaskan.

Berdasar data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, konflik pertanahan terjadi di beberapa kabupaten/kota. Data LBH 2018 menyebutkan, daerah konflik agraria terjadi di Kabupaten Tulangbawang (25%), Kabupaten Pesawaran (6%), Kota Bandarlampung (44%), dan Kabupaten Lampung Selatan sekitar 12%.

Perkara konflik agraria di Lampung masih menumpuk, terutama di Mesuji yang memiliki banyak perkara pelik konflik agraria. Perkara-perkara itu nyaris tidak ada yang terselesaikan dengan baik hingga saat ini. LBH Bandarlampung menyimpulkan menumpuknya perkara agraria di Lampung terjadi akibat ketidakseriusan dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikannya.

Bahkan, saat Joko Umar Said menjabat Wakil Gubernur Lampung mengakui pemerintahannya kewalahan untuk mengatasi maraknya konflik agraria. Setiap tahun muncul 10 kasus besar baru. Hampir 60 persen dari sekitar 350.000 hektar luas wilayah hutan register di Lampung kini ditinggali perambah. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *