Jakarta (SL)-Diam diam dan banyak tidak tahu, Pemerintah dan DPR sepakat untuk menunda pengesahan Revisi KUHP dan tiga RUU lainnya. Yakni, RUU Lembaga Permasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan. Namun, masih ada satu lagi RUU yang dinilai sama bermasalahnya, yakni RUU KKS (Ketahanan dan Keamanan Siber).
RUU KKS atau yang biasa disebut RUU Siber itu memang belum banyak dibicarakan media. RUU itu juga tak menjadi sorotan mahasiswa dalam aksi demonstrasi kemarin. Berdasarkan draf yang diperoleh wartawan, RUU Siber memiliki 77 pasal di dalamnya. Terdiri dari 13 bab dan tebalnya mencapai 33 halaman.
Salah satu hal yang cukup kontroversial ada pada pasal 14f. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa negara bisa memutus akses internet secara sepihak bila ada potensi ancaman siber. Persoalannya, definisi ancaman siber itu tidak benar-benar clear. Tak terlepas kemungkinan bahwa pasal tersebut dapat disalahgunakan untuk membungkam kritik.
Di Mesir pada 2011 lalu misalnya, Presiden Hosni Mubarak mengeluarkan kebijakan untuk mematikan seluruh akses internet masyarakat. Hosni berdalih, hal itu dilakukan untuk menciptakan stabilitas nasional. Pada saat itu rakyat Mesir memang tengah meminta Hosni turun. Itu karena, Hosni sudah memerintah secara diktator selama 30 tahun.
Kekhawatiran terhadap RUU Siber itu pun ini diamini oleh Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFENet). Apalagi, RUU itu terkesan dirampungkan secara buru-buru.
Melalui akun Twitter pribadinya, Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, memberikan pandangannya tentang kejanggalan RUU yang akan mengatur Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan lalu lintas internet. “Jika RUU KKS disahkan hari Senin 30 September 2019 akan pecahkan rekor pembuatan UU tercepat di Indonesia. Lebih cepat dari UU KPK. Dibuat hanya dalam 5 hari!” tulis Damar seperti dikutip kumparan, Kamis (26/9).
BSSN sendiri merupakan sebuah badan yang dibentuk melalui Perpres No. 53 Tahun 2017. Badan tersebut didirikan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Mei 2017. Badan ini merupakan transformasi dari Lembaga Sandi Negara, Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Rencananya, BSSN akan berada secara langsung di bawah kendali presiden melalui RUU Siber. Dengan cara tersebut, sejumlah kementerian dan lembaga negara lainnya akan menjadi subordinat dari BSSN. Khususnya dalam isu yang terkait dengan persoalan keamanan di dunia maya.
Apa sih RUU KKS? Alias Kamtansiber alias Kamsiber alias Siber. Suer, ini undang-undang yg banyak banget singkatannya dalam sejarah pengaturan internet di Indonesia. Sebelum ada RUU KKS, internet di Indonesia diatur pakai UU yg paling kontroversial, UU ITE.
RUU KKS ini mengatur tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Ini badan baru, transformasi Lemsaneg dan Ditjen Keamanan Informasi @kemkominfo yg dibentuk lewat Perpres No. 53 Tahun 2017. Baru jalan setahun lebih.
Nah, RUU KKS ini niatnya mau menggantikan Perpres.
Damar menilai, RUU yang diusulkan oleh Baleg (Badan Legislatif) DPR itu diajukan secara diam-diam. Menurutnya, Pansus DPR untuk RUU Siber itu baru dibentuk belum lama ini. Tepatnya pada 16 September lalu, dan hingga kini belum ada Rapat Umum Dengar Pendapat (RUDP). “Belum sidang sama sekali sampai kemarin gara-gara demo. Apakah ini akan jadi dalam 5 hari?” tanyanya.
Pratama menambahkan, keberadaan RUU itu akan membuat fungsi lembaga negara lainnya menjadi terganggu. Dalam pasal 14, kata dia, Badan Intelijen Negara (BIN) harus melapor pantauan siber kepada BSSN. Padahal, menurutnya, BIN hanya boleh melapor kepada presiden sesuai UU No 17 tentang Intelijen Negara.
Yang lebih berbahaya, lanjutnya, RUU Siber berpotensi mengganggu kebebasan akademik. “Kalau kita belajar hacking walaupun untuk tujuan pendidikan bisa kena pidana kalau tidak lapor, ini kan membatasi ilmu pengetahuan,” tambahnya.
Hal berbeda disampaikan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII). Ketua Umum FTII Andi Budimansyah menyebut organisasinya mendukung DPR untuk segera memproses RUU Siber. Itu karena, kata dia, regulasi yang mengatur keamanan siber sudah mendesak. “Kami memberikan apresiasi kepada DPR RI yang mengusulkan adanya regulasi mengenai keamanan dan ketahanan siber di Indonesia. Ini menunjukkan kepedulian DPR RI terhadap lembaga-lembaga yang terkait dengan siber,” kata Andi.
Menurut Andi, FTII adalah federasi organisasi Indonesia yang dibentuk oleh masyarakat teknologi yang beranggotakan asosiasi yang berhubungan dengan teknologi informasi. Sejumlah asosiasi yang menjadi anggota FTII, kata dia, sangat membutuhkan regulasi yang mengatur soal keamanan dan ketahanan siber. “Saat ini, Indonesia baru memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tapi belum ada yang lebih mengatur keamanan dan ketahanan siber,” katanya.
Sementara itu, Anggota Panitia Khusus RUU Siber, Bobby Adhityo Rizaldi, tak menampik bahwa proses pembahasan RUU ini terbilang singkat. Hal itu lantaran kesibukan anggota DPR yang berasal dari partai-partai politik dalam menghadapi Pemilu 2019.
“Baleg DPR RI kemudian membawanya ke rapat paripurna dan membentuk Pansus RUU KKS. Namun, waktu kerja yang dimiliki Pansus hanya tinggal sepekan,” kata Bobby di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9).
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, RUU Siber masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada 2018. Pihaknya pun kini tinggal menunggu pemerintah untuk segera menyerahkan Daftar Isian Masalah (DIM). “Kami harapkan pada saat rapat dengan pemerintah, sekaligus DIM diserahkan kepada DPR RI sehingga RUU KKS dapat dilanjutkan untuk dibahas dengan DPR RI 2019-2024,” katanya. (kmpr/red)
Tinggalkan Balasan