Asal Usul Usil: Cara Jitu Septi Sewot Berantas Korupsi

Oleh: Ilwadi Perkasa

 

Kesel-kesel-kesel, kok setiap peringatan Hari Anti Korupsi yang dibahas soal-soal basi yang tak pernah menjadi nyata. “Bosen,” ujar Septi Sewot sambil mengubah posisi bokongnya yang gede sedikit geser ke kanan.

“Masak orang-orang itu ngomongnya gitu-gitu terus. Yang hukuman matilah, dimiskinkanlah, apaan sih itu, basi,” ujar Septi sambil terus membaca sebuah berita dari androidnya.

Septi baru saja membaca pernyataan dari tiga tokoh perguruan tinggi yang muncul di akun facebooknya. Rupanya, inilah yang bikin Septi kesel.

Ketiga tokoh itu sepakat mengatakan pemberantasan korupsi tak bisa mengandalkan KPK semata. Semua komponen masyarakat harus memeranginya sebagai kejahatan luar biasa. Ketiganya juga sepemikiran bahwa pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan cara penanaman karakter dan sifat jujur, takut korupsi karena ada Allah SWT yang mengawasi dengan pembelajaran dan pemahaman agama sejak usia dini.

“Ha ha ha, nih orang sudah bawa-bawa Tuhan. Aneh, Tuhan itu sih sudah pasti mengawasi, enggak akan ada yang lolos dari pengawasannya. Pemahaman karakter dan jujur, huh, apa lagi ini. Enggak kongkrit” tegas Septi langsung berdiri dan berusaha meraih sapu. “Gebukin aja rame-rame pakai sapu, sampai mampus, bereskan. Gitu aja kok repot,” katanya lagi.

Aku yang tadi diam, coba menenangkannya. “Kan ini ada ngusul hukuman mati, apa itu tak bikin kamu terkesan,” kataku sambil diam-diam ikut plototin androidnya.

“Terus ini juga yang usul dimiskinkan, cocokkan,” tanyaku menenangkan.

“Cocok apaan, basi tahu. Itu yang sudah ketangkap duluan, semuanya juga ngomong gitu. Enggak ada yang dihukum mati. Mana yang sudah miskin, mana. Pada ngotak semua,” ujar Septi ketus.

“Terus, kamu mau apa. Apa kamu cara yang lebih ampuh dari pada OTT KPK,” bentak ku kesal.

Septi terdiam, tapi aku yakin sebentar lagi dia pasti ngoceh lagi. Aku tunggu beberapa menit, Septi juga belum bicara. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

Setekah lima menit pun berlalu, Septi mulai mengetuk-ngetuk kaca meja. Aku mulai menebak-nebak, selepas ini dia pasti akan mengunyah kuaci yang terserak di meja. Benar saja, clup….dua biji kuaci dikunyahnya, berikut kulit-kulitnya. Setelah itu dia tampak tenang, sepertinya dia sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku.

“Gini lho Pak wartawan. Septi punya ide nih, gimana kalau sudut pandangnya kita ubah,” ujarnya serius.

“Maksud lo,” tanyaku penasaran.

“Setop tangkap koruptor. Tangkap saja anak, istri/suami dan kedua orangtuanya. Suruh Si Tikus kasih makan semua orang yang dicintainya, dipenjara. Terserah Si Tikus mau beliin apa. Suka-suka dia. Mantapkan,” ujar Septi meyakinkan.

Seketika aku terkesima. “Kamu gila ya,” kataku sambil mengusap bulu kuduk yang mendadak berdiri. Diam-diam aku memuji pemikirannya. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *