Yusril Kritik Keras Kebijakan PSBB Jokowi

Jakarta (SL)-Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengkritik kebijakan Presiden Jokowi menetapkan status darurat kesehatan masyarakat dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menanggulangi wabah virus corona (Covid-19). Jokowi juga disarankan menyiapkan rencana cadangan menghadapi risiko terburuk wabah virus corona.

Status darurat kesehatan masyarakat dan PSBB ditetapkan Jokowi kemarin. Pemerintah hari ini merilis Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai dasar hukum pelaksanaan PSBB (PP PSBB).

Menurut Yusril, PP PSBB tersebut tak mengatur rinci soal mekanisme dan kewenangan pemerintah daerah dalam menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Yusril mencontohkan dalam PP PSBB, daerah berwenang melakukan pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu. Namun pelaksanaannya bisa terkendala karena berpotensi melanggar yurisdiksi atau ketentuan daerah lain.

“Daerah-daerah mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya,” ujar Yusril dalam keterangan resmi dilansir CNNIndonesia.com, Rabu 1 April 2020.

Kritik lain dari Yusril terkait pelibatan aparat dalam mendukung kebijakan pembatasan mobilitas orang dan barang. Pemda, kata Yusril, tak mendapat panduan untuk melibatkan polisi maupun militer dalam mendukung PSBB. “Apakah untuk efektifitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu Pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI, misalnya, hal itu tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 ini,” kata Yusril.

“UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuk orang di daerah yang memberlakukan PSBB. Pemda paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah Pemda,” imbuhnya.

Yusril berkata merujuk Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018, polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika pemerintah pusat memutuskan untuk melaksanakan Karantina Wilayah.

Dia menuturkan Karantina Wilayah hampir sama dengan lockdown yang diterapkan sejumlah negara seperti Malaysia dan Filipina. Suatu daerah atau suatu kota dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu.

Pemerintah, Yusril menduga, tidak memilih Karantina Wilayah karena khawatir masalah ekonomi. “Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah,” tuturnya.

Dia mengandaikan kasus Jakarta. Seandainya ibu kota dikenakan Karantina Wilayah, Yusril berkata pemerintah Pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 14 juta orang. “Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang-kabut dan akhirnya kelaparan,” kata Yusril.

Tanpa Karantina Wilayah pemerintah praktis hanya mengandalkan PSBB. Namun PP 21 Tahun 2020 tentang PSBB hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2020, yakni soal peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Menurut Yusril tiga hal tersebut sudah dilaksanakan oleh daerah, namun tidak mampu membatasi penyebaran virus Corona. “Menjelang akhir Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif Corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas,” ujar Yusril. (CNN/red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *