Suku Lawang Taji Gugat Lahan Adat di Areal PTP VII Bunga Mayang?

Bandar Lampung (SL)-Masyarakat adat mengatas namakan Suku Lawang Taji, Kampung Kali Awi, Kecamatan Negeribesar, Way Kanan, menggugat hak atas lahan seluas 1060 hektare yang dikuasai BUMN perkebunan tebu PTP VII Bunga Mayang di Kabupaten Waykanan, Provinsi Lampung. Mereka minta pengembalian tanah nenek moyang mereka, dengan aksi unjukrasa di kawasan tersebut, Minggu 14 Juni 2020.

Sala seorang tokoh masyarakat tersebut, H Mamani, berharap pemerintah eksekutif, legislatif, dan yudikatif ikut membantu masyarakat adat untuk mengembalikan lahan adat tersebut. Warga telah berjuang sejak tahun ’80-an hingga saat ini masalah belum juga selesai. “Kami mohon kepada para wakil rakyat, Pak Bupati, Pak Gubernur dan penegak hukum membantu kami,” kata H Hamami, Senin 15 Juni 2020.

Menurut Hamami, masyarakat adat Suku Lawang Taji, Kampung Kali Awi, Kecamatan Negeribesar, Way Kanan, telah berupaya sejak puluhan tahun bahkan menempuh jalur hukum di Pengadilan Tinggi Negeri (PTN) Lampung. “Kami telah berupaya mencari keadilan lewat jalur hukum yang mana hasil putusan PTN Bandarlampung memenangkan saudara Junardi dkk atas lahan 301 ha. Namun, kata Hamami, keputusan tersebut tidak diindahkan oleh pihak PTP Bunga Mayang,” katanya.

Kepala Adat Suku Lawang Taji Syahroni Edy Setiawan, mengatakan bahwa mereka memiliki beberapa arsip yang menguatkan hal tersebut. “Namun alih-alih mengindahkan, tenda dan spanduk kami jadi sasaran pengrusakan oleh oknum oknum tak bertanggung jawab,” katanya.

Lahan di 10 Desa Sungkai Utara dan Selatan

Data lain menyebutkan, selain Suku Lawang Aji, persoalan lahan antara PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII) juga terjadi dengan warga 10 desa yang ada di Kecamatan Sungkai Selatan, Sungkai Utara dan Bunga Mayang. Total obyek gugatan tanah seluas 4.650 ha, dengan rincian 4.189 ha di Way Kanan dan 461 ha di Lampung Utara.

Sementara Tim Kuasa Hukum DR Sopian Sitepu, di Kantor PTPN 7, Bandar Lampung, pada Selasa, 11 Februari 2020, lalu menjelaskan obyek gugatan tanah seluas 4.650 ha, dengan rincian 4.189 ha di Way Kanan dan 461 ha di Lampung Utara yang merupakan lahan eks (HPH) PT BG Dasaad Joint Venture Inc merupakan lahan milik PTPN VIII yang diberikan melalui surat penugasan dari Departemen Pertanian sesuai Surat Nomor: 772/Mentan/IX/1980 tertanggal 8 September 1980 kepada Gubernur KDH Tingkat I Lampung.

“Lahan tersebut secara legal milik PTPN7. Dalam penugasan tersebut, Gubernur Gubernur KDH Tingkat I Lampung ditugaskan untuk memberikan areal seluas 21.000 ha kepada PTP XXI- XXII (Persero), sekarang PT PTPN VII,” kata Sopian Sitepu.

Menurut Sopian, untuk mencukupi lahan seluas 21.000 ha, maka Dirjen Kehutanan dengan surat Nomor: 330/DJ/I/1983 tanggal 26 Januari 1983 memberikan kepada PT PTPN 7 lahan seluas ±7.500 ha eks HPH PT BG Dasaad Joint Venture Inc. Atss lahan tersebut, PT PTPN 7 telah melakukan pengurusan perizinan dan pengukuran lahan; land clearing lahan seluas 2.450,5 ha;

“land preparation lahan seluas 2.109,5 ha; membangun rumah karyawan tipe 36 sebanyak 12 unit pada tahun 1987; membangun barak karyawan di tahun 1987; membangun sarana dan prasarana lainnya yang dimulai tahun 1981 sampai 1999; serta mengelola menjadi perkebunan tebu secara terus menerus sejak tahun 1984 sampai tahun 1999,” katanya.

Namun, lanjut Sopian Sitepu, sejak eforia reformasi, warga masyarakat melakukan okupan (menempati,Red) dan mengalihkan kepada PT Bumi Madu Mandiri dengan dibuat akta di hadapan Notaris Chairul Anom berupa Akta Perjanjian Untuk Melakukan Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor 1 tertanggal 2 Agustus 2006 dan Akta Nomor 4 tertanggal 31Juli 2006, berupa tanah Bekas Perkebunan Tebu Bungamayang dengan mengaku sebagai tanah hak ulayat Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dan Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir.

Sopian menjabarkan dalam proses persidangan PT Bumi Madu Mandiri dan Chairul Anom juga telah mengajukan beberapa bukti yang saat dikonfirmasi dengan saksi yang diajukan oleh PTPN VII, tidak pernah melakukan penandatanganan akta peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi kepada PT Bumi Madu Mandiri dihadapan Notaris Chairul Anom, yang terlampir dalam daftar akta yang dibuat oleh Chairul Anom yang diajukan dipersidangan

Dasar akta penyimpanan yang dilakukan oleh Chairul Anom sebagai pembagian tanah hak ulayat Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dan Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir saksi yang dihadirkan PTPN VII mengaku tidak pernah menandatangani lampiran akta penyimpanan dan tandatangan saksi yang dijadikan bukti oleh Chairul Anom berbeda dengan tandatangan saksi dan diduga tandatangan saksi palsu.

Selain itu, berdasarkan keterangan ahli di persidangan Prof Rehngena Purba, jika ada masyarakat mengaku klaim sebagai tanah ulayat, maka harus melakukan kajian penelitian yang melibatakn akademisi, pakar hukum adat, tokoh adat, LSM pemerintah setempat dan lain untuk membuktikan ada tidaknya hubungan antara subyek yang mengaku pemilik tanah ulayat dengan obyek tanah ulayat.

Sesuai Permenag/BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dan diperbaharui dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan tertentu.

“Apabila areal tanah sudah ada statusnya Eks Areal HPH PT BG Dasaad Joint Venture Inc, maka tidak ada lagi tanah ulayat dan menurut Ahli Mukmin Zaki perbuatan PT Bumi Madu Mandiri adalah okupan yang secara hukum tidak dilindungi,” katanya. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *