KPPU Akan Panggil Dugaan Perusahaan Fiktif Bansos Kesra Lampung

Bandar Lampung (SL)-Kasus dugaan mark up bantuan sosial (Bansos) Covid-19 di Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemprov Lampung, yang disinyalir melibatkan perusahaan fiktif. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Perwakilan Lampung segera memanggil perusahaan yang diduga fiktif dalam penyaluran bansos tersebut.

“Nanti kami kroscek lagi laporan terkait dugaan perusahaan fiktif yang ditunjuk Biro Kesra Lampung. Apabila diperlukan, kami akan memanggil pihak Biro Kesra Lampung,” kata Kepala Kantor Wilayah II KPPU Lampung, Wahyu Bekti Anggoro, dilangsir Headlinelampung, Rabu 17 Juni 2020.

Menurut Wahyu permasalahan penyaluran bansos Covid-19 ini sedang menjadi isu, yang harus diawasi pihaknya. Terutama soal hambatan penyaluran-penyaluran komoditi untuk bansos kepada masyarakat yang terdampak pamdemi Corona dan ditetapkan menjadi bencana nasional. “KPPU mengawasi dari sisi dugaan kartel atau perilaku anti persaingan pelaku usaha, yang mengakibatkan terhambatnya penyaluran komoditi komoditi tersebut,” jelas Wahyu.

Terkait permasalahan ini, pihaknya dari kanwil-kanwil berencana mengundang dinas terkait, selaku pihak yang melakukan penunjukan pelaku usaha yang diberi mandat untuk menyalurkan bansos di Provinsi Lampung. “Melalui pedoman pasal 22 tentang larangan persekongkolan dalam tender, salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat adalah persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999,” terang Wahyu.

Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalan transparansi, penghargaan atas uang, kompetisi yang efektif dan terbuka, negosiasi yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, dan non-diskriminatif. “Sejalan dengan hal tersebut, UU No. 5/1999 juga mengatur tentang larangan persekongkolan dalam tender sebagaimana digariskan pada Pasal 22. Persekongkolan dalam tender tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan- kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis,” ungkap Wahyu.

Wahyu menjelaskan persekongkolan ini mencakup jangkauan perilaku yang luas, antara lain usaha produksi dan atau distribusi, kegiatan asosiasi perdagangan, penetapan harga, dan manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (collusive tender) yang dapat terjadi melalui kesepakatan antar pelaku usaha, antar pemilik pekerjaan maupun antar kedua pihak tersebut.

“Kolusi atau persekongkolan dalam tender ini bertujuan untuk membatasi pesaing lain yang potensial untuk berusaha dalam pasar bersangkutan dengan cara menentukan pemenang tender. Persekongkolan tersebut dapat terjadi di setiap tahapan proses tender, mulai dari perencanaan,” ujar Wahyu.

Sesuai Pasal 47 UU No. 5/1999, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan pasal 22, berupa pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat (pasal 47 ayat (2) butir c); dan/atau 1.

Dan penetapan pembayaran ganti rugi ( pasal 47 ayat (2) butir f); dan/ atau pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) (pasal 47 ayat (2) butir g).

“Terhadap pelanggaran pasal 22 juga dapat dikenakan hukuman pidana pokok sebagaimana diatur dalam pasal 48 UU No. 5/1999 berupa pidana denda serendah-rendahnya Rp 5 miliar dan setinggi-tingginya Rp 25 miliar, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya lima bulan, pasal 48 ayat 2,” urai Wahyu.

Lalu, pidana denda serendah-rendahnya Rp 1 miliar dan setinggi-tingginya Rp. 5 miliar atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya tiga bulan (pasal 48 ayat (3)), dalam hal pelaku usaha dan/atau menolak menyerahkan alat bukti yang diperlukan.

Selanjutnya, dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan atau menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dan (2).

Terhadap pidana pokok tersebut, kata Wahyu. juga dapat dijatuhkan pidana tambahan terhadap pelanggaran pasal 22 sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 5/1999 berupa pencabutan izin usaha, atau larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, atau 2. 3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *