Gubernur Ku “Preman”

Mendengar kata “preman”, apa kira-ira yang terlintas dalam pikiran kita?. Kata “preman” memang hari ini memiliki konotasi negatif, yang identik dengan tindakan kriminal. Hal ini tentu saja tidak lepas dari perjalanan sejarah kata “preman” itu sendiri.

Seorang sahabat menulis, seperti umumnya sifat bahasa yang dinamis, sebuah makna kata pun juga dapat berubah seiring berjalanya waktu. Menurut dia, dalam disiplin ilmu bahasa atau linguistik fenomena perubahan makna tersebut dengan istilah peyorasi. Peyorasi dapat berarti sebuah proses pergeseran makna dari sebelumnya yang bersifat positif menjadi terdengar lebih negatif, buruk, atau rendah.

Disamping peyorasi ada juga ameliorasi, ameliorasi sendiri merupakan kebalikan dari peyorasi. Yaitu dari kata yang memiliki makna negatif berubah menjadi positif. Jika menengok sejarah kebelakang kata “preman” sendiri sudah eksis sejak zaman kolonial atau penjajahan.

Pada masa tersebut eksis orang-orang yang memiliki reputasi sebagai pembela para buruh kebun atau kuli kontrak yang berasal dari Jawa, Tionghoa, dan India. Karena para buruh tersebut mendapat siksaan dari mandor kebun atas perintah dari tuan kebun.

Para pembela buruh tersebut biasanya adalah mereka yang juga berkerja sebagi buruh tapi secara kontrak atau dibayar harian. Oleh tuan-tuan kebun dari Belanda yang menjadi penguasa tanah Deli, para pekerja kontrak tersebut disebut dengan “vrije man” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “orang bebas”.

Karena tindakan para vrije man yang membela para buruh tersebut, mereka terkadang menjadi gangguan bagi bagi pemilik kebun dalam menjalankan bisnisnya. Namun dari sudut pandang para buruh tindakan para vrije man tersebut malah sangat membantu. Oleh karenanya sebagai balas jasa para buruh tersebut memberi makanan dan minuman secara gratis.

Seiring berjalanya waktu, ada beberapa vrije man yang lebih cenderung berorientasi pada nafsu dan materi saja. Yang kemudian vrije man ini dimanfaatkan oleh para tuan tanah dijadikan tukang pukul atau centeng mereka. Dan para vrije man yang tetap membela buruh malah dicap sebagi pengganggu.

Dari konteks inilah istilah atau kata “preman” muncul, yang merupakan perubahan dari kata “vrije man” karena penyebutanya yang agak susah bagi lidah orang Melayu dan Jawa. Walaupun istilah preman hari ini memiliki konotasi negatif, namun ketika masa mempertahankan kemerdekaan para preman ini juga pernah ikut berjuang. Tepatnya pada peristiwa Jalan Bali pada Oktober 1945, ketika itu banyak preman dari Medan yang ikut berjuang melawan penjajah.

Pertanyaannya, kenapa membahas kata Preman, karena ada peristiwa yang menggelitik telinga saat rapat kordinasi persiapan Pilkada  Lampung yang pesertanya ada KPU, Bawaslu, Para pejabat termasuk Kapolda Irjen Pol Purwadi, Kabinda Lampung, Unsur Kejaksaan, TNI, Pejabat Pemprov Lampung, hingga pimpinan redaksi berbagai media cetak, online, dan TV Radio.

Seorang wartawan TV, group MNCTV Andreas mencoba mengambil gambar saat Gubernur yang sedang paparan. Sebagai wartawan TV, tentu tidak bisa hanya mengandalkan gambar wawancara tetapi butuh gambar suasana. Tiba tiba Gubernur Lampung menghardik, bahasa kampung membentak, “Hei kamu jangan dulu merekam saya ini lagi pusing, bisa enggak. Saya ini juga preman. Dahulunya mantan preman,“ ucap Gubernur dengan nada tinggi, dan sontak peserta rapat yang dihadiri terdiam, suasana hening.

Termasuk Kapolda, KPU dan Bawaslu, serta pimpinan media terdiam, pasti dengan berbagai macam yang ada dipikirannya. Sang wartawan tentu ikut kaget. Dan lalu keluar ruangan. Aksi verbal ini bukan kali pertama di lakukan Gubernur Lampung, saat dengan wartawarti RMol Lampung juga hampir sama, hingga jadi ramai.

Hingga Jumat malam, hampir di banyak group, yang isinya tokoh, pelajar, mahasiswa, hingga wartawan ramai bergunjing soal ulah mantan Sekda Lampung itu. Bahkan tokoh Lampung Alzier Dianis Thabrani ikut seloroh di group menyebut pensiunan PNS ngaku preman, ya Ngibul katanya..

Adakah yang salah dengan pengakuan seorang pejabat bahwa dirinya seorang preman? Jawabnya dengan tegas ya, kata Gunawan Parikesit, seorang wartawan senior yang kini menjadi lawyer. Alasannya, karena dalam maknanya preman (premanisme), adalah kata yang berasal dari negri “penjajah” belanda: _vrijman_ Yang memiliki makna; Bebas, Sedangkan isme: merupakan suatu penanda aliran,

Adalah sebutan pejoratif bagi yang kerap digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari Pemerasan kelompok masyarakat lain, lanjut Gunawan kembali pada pertanyaan semula, apakah ada yang salah dengan pengakuan pejabat bahwa dia seorang preman?

Maka sudah sangat jelas kalau preman itu tidak memiliki moral yang baik. Dia merupakan pelaku pemerasan. Jelas tidak patut jadi pejabat, apalagi sekelas gubernur. Mengacu pada satu kasus di Lampung, ketika ramai pemberitaan bahwa Gubernurnya, Arinal Junaidi, menghardik wartawan sambil menyatakan dirinya preman, maka sebenarnya ini tidak bisa berhenti ditataran isu saja.

Harus dibuktikan apakah benar pemberitaan itu, apakah ucapan itu mengandung ancaman (sebagai prilaku preman dalan pekerjaannya), apakah ada sesuatu lainnya? Saya tak menjawab.

Pemimpin Arogan Pertanda Tidak Kompeten dan Tidak Layak

Saya baca artikel yang tayang di Kompas.com, 12 Desember 2016, menyebutkan dari mudah marah, kasar, dan arogan dalam bersikap merupakan tanda-tanda seseorang yang tidak kompeten dalam memimpin sebuah tim kerja. Setidaknya begitulah hasil studi yang dipublikasikan oleh Washington Post berdasarkan pernyataan dari seorang psikolog bernama Ashley Merryman.

Merryman menuliskan bahwa pemimpin yang rendah hati lebih efektif dan produktif dalam bekerja. Dia menambahkan bahwa sikap arogan dan kasar tidak menjadi kriteria psikologis yang ideal untuk menjadi seorang pemimpin.

Studi yang sempat dipublikasikan oleh jurnal Personality and Individual Differences menunjukkan bahwa responden yang mengakui, tidak selalu benar dan bersedia berubah pikiran jika terbukti salah ditemukan menjalani kepemimpinan dengan bijak serta efektif.  Sebaliknya, pemimpin yang selalu merasa benar justru menunjukkan sikap negatif selama menjalani tugas menjadi ketua di sebuah tim kerja.

Studi yang melibatkan 155 partisipan ini meminta mereka untuk membaca 40 daftar pernyataan. Kemudian, partisipan diminta untuk mengidentifikasikan pernyataan tersebut yang hadir dalam 60 kalimat. Ternyata, partisipan yang rendah hati lebih cerdas dan cepat dalam menemukan 40 pernyataan dalam sejumlah kalimat.

Namun, partisipan yang arogan bersikeras bahwa hasil mereka yang salah itu adalah jawaban paling benar. Hasil studi ini pun dikuatkan oleh studi lain yang ditayangkan oleh Journal of Management yang menyatakan bahwa jumlah karyawan yang keluar masuk sangat rendah pada perusahaan yang dipimpin oleh seorang profesional yang rendah hati dan tidak sombong.

Selain itu, perusahaan dengan pemimpin yang rendah hati menghasilkan kepuasan karyawan bekerja yang tinggi, performa bisnis menguat, dan solidaritas karyawan yang tinggi.

“Pemimpin yang arogan terlalu bodoh untuk mengakui kesalahan mereka. Ini dinamakan Duning-Krueger Effect. Artinya, mereka merasa apa yang merek lakukan selalu benar. Kenyataannya, mereka tidak tahu bahwa apa yang mereka tahu itu sedikit dan tidak penting,” urai Jessia Collet, asisten profesor dari University of Notre Dame. ***  

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *