Djoko Tjandra Buron 11 Tahun Tiga Jenderal Polisi, Jaksa Hingga Pengacara Terlibas

Jakarta (SL)-Djoko Tjandra akhirnya ditangkap setelah 11 tahun buron dari Kejaksaan Agung. Dia kabur ke luar negeri menghindari hukuman 2 tahun penjara terkait kasus hak tagih Bank Bali. Kendati demikian, ternyata ada banyak pihak yang membantu pelariannya selama ini. Orang-orang tersebut mulai dari lurah, oknum polisi hingga jaksa.

Setidak enam orang “pembantu” pelarian Djoko Tjandra yang sudah di ungkap ke Publik, pertama Lurah Grogol Selatan, Jakarta, Asep Subahan. Lurah Grogol Selatan, Jakarta, Asep Subahan dilengserkan dari jabatannya oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, karena dinilai telah menyalahgunakan kewenangannya dalam pemberian pelayanan penerbitan e-KTP seorang buronan.

Kedua Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo, mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo menerbitkan surat jalan Djoko Tjandra dari Jakarta ke Pontianak pada 18 Juni 2020, dan kembali ke Jakarta pada 22 Juni 2020. Belakangan, Prasetijo Utomo juga ketahuan memfasilitasi penerbitan surat bebas Covid-19 atas nama Djoko Tjandra.

Ketiga Brigadir Jenderal Polisi Nugroho Wibowo. Mantan Sekretaris NCB Interpol Indonesia diduga menghapus red notice atas nama Djoko Tjandra pada basis data Interpol sejak 2014. Melalui surat No: B/186/V/2020/NCB.Div.HI tertanggal 5 Mei 2020, Nugroho Wibowo mengirim surat penghapusan Interpol Red Notice Djoko Tjandra kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.

Keempat Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte ikut dimutasi. Dia dianggap lalai mengawasi anak buahnya, yakni Nugroho Wibowo

Kelima pengacara Anita Kolopaking. Senasib dengan kliennya, pengacara Anita Kolopaking telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Anita Kolopaking diduga membuat surat jalan palsu Korps Bhayangkara.

Keenam, Jaksa Pinaki Sirna Malasari. Jaksa Pinaki Sirna Malasari menjabat sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan di Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dia juga telah dicopot dari jabatannya.

Pencopotan itu tertuang dalam Surat Keputusan Nomor : KEP-IV-041/B/WJA/07/2020 tanggal 29 Juli 2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin (PHD) Tingkat Berat berupa Pembebasan dari Jabatan Struktural. Pencopotan itu diteken langsung oleh Wakil Jaksa Agung RI, Setia Untung Arimuladi.

Uniknya lagi, yang disampaikan pengamat Kejaksaan, Yanuar Wijanarko yang mendesak Propram Polri periksa Kombes Napitupulu Yogi Yusuf, seorang perwira polisi yang merupakan suami Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Nama Jaksa Pinangki Sirna Malasari jadi perbincangan masyarakat setelah fotonya bersama Djoko Tjandra beredar di media sosial (medsos).

Beredarnya foto Pinangki bareng Djoko Tjandra tersebut, Yanuar minta Propam Polri harus memeriksa suami Pinangki, polisi lulusan Akpol 1997 tersebut. Artinya Pinangki juga Ibu Bhayangkari, yang seharusnya ikut menjaga nama baik sang suami yang kini bertugas di Kasubbagopsnal Dittipideksus Bareskrim Polri.

Sebelumnya Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akhirnya menangkap Djoko Tjandra yang sudah buron selama 11 tahun. Ia ditangkap di Malaysia pada Kamis siang, 30 Juli 2020 dan dibawa ke Indonesia pada malam harinya. “Ini juga untuk menjawab keraguan publik selama ini, apakah Polri bisa menangkap yang bersangkutan,” kata Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Tempo.co menyebutkan Sigit langsung menjemput Djoko di Malaysia yang sudah ditangkap atas bantuan Kepolisian Kerajaan Malaysia. Setibanya di bandara, Djoko langsung dibawa ke Kantor Bareskrim, Jakarta Selatan. Djoko menjadi terpidana dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar.

Kasus ini bermula pada tahun 1998 di tengah hiruk pikuk reformasi. Kala itu, Bank Bali tak dapat menagih piutang ke Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim dan Bank Umum Nasional milik Bob Hasan masing-masing Rp 508 miliar dan Rp 200 miliar.

Kedua bank tersebut menjadi “pasien” Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tapi lembaga ini tak pernah menghiraukan tagihan. Sebab, merujuk pada Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah, Bank Bali telat mendaftarkan piutang tersebut.

Setelah 76 kali menagih tanpa hasil sepanjang Februari hingga Desember 1998, Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli menguasakan tagihan kepada PT Era Giat Prima, dengan komisi separuh nilai tagihan. Djoko tak lain adalah direktur perusahaan ini. Direktur Utamanya adalah Setya Novanto, terpidana kasus korupsi e-KTP.

Pencairan piutang ternyata melibatkan sejumlah pejabat. Pada 11 Februari 1999, Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri BUMN Tanri Abeng, Gubernur BI Syahril Sabirin, dan pimpinan Bank Bali bertemu di Hotel Mulia Jakarta. Sebagian besar membantah adanya pertemuan ini.

Akan tetapi, hasil pertemuan inilah yang diduga berbuntut pada perubahan petunjuk dari Menteri Keuangan. Sehingga uang Rp 904 miliar mengalir dari Bank Indonesia ke rekening Bank Bali sebesar Rp 358 miliar dan Era Giat, Rp 546 miliar. Belakangan juga terkuak pengalihan tagihan itu hanya akal-akalan untuk mengail komisi.

Singkat cerita, Djoko pun ikut jadi tersangka dan terdakwa. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko. Namun hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.

Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Djoko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekalnya yang sudah berstatus terpidana.

Djoko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Djoko sebagai buronan. Belakangan, ia diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Rabu kemarin, 29 Juli 2020, permohonan PK dari Djoko tidak diterima oleh PN Jakarta Selatan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, permohonan PK tidak diterima karena berkas administrasi tidak lengkap, bukan berarti ditolak.

Sehingga, kata Mahfud Md, bisa saja Djoko mengajukan PK kembali. Namun jika sampai diajukan PK lagi maka Joko sudah menjadi urusan lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, tugas pemerintah hanya sampai menghadirkan Djoko Tjandra dan akan terpenuhi dengan tertangkapnya buronan ini di Malaysia. (red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *