Dari berbagai pengertian populer tentang demokrasi dan politik yang dikenal publik, saya lebih memilih pengertian demokrasi sebagai “government of the reason for government by the people”, pemerintahan akal sehat melalui pemerintahan oleh rakyat dan politik sebagaimana asal-usulnya, saya fahami sebagai aktivitas intelektual untuk menjaga pemerintahan oleh rakyat itu dijalankan dengan akal sehat.
Dengan pengertian demokrasi dan politik seperti itu maka menjadi seorang politisi itu syarat utamanya adalah kecukupan nalar dan pengetahuan, tentu dilengkapi dengan keterampilan berbahasa. Untuk menjadi seseorang yang menjalankan politik sebagai aktivitas intelektual, kecukupan nalar dan pengetahuan jauh lebih penting daripada kecukupan suara dan modal.
Istilah dungu yang dipopulerkan oleh RG belakangan ini bagi saya sebenarnya adalah resultan dari penjumlahan “defisit pengetahuan + impotensi penalaran”, setiap kita yang kurang belajar dan malas berfikir akan sangat mudah mengalaminya karena seringkali menarik kesimpulan dari premis-premis yang tidak memiliki koherensi.
Dalam dialektika argumentasi, impotensi penalaran itulah yang sering menyebabkan orang mengalami “logical fallacy”, tersesat dalam metode berfikir. Ketika kemudian orang itu juga menderita defisit pengetahuan maka dalam perdebatan biasanya akan meradang melakukan “argumentum ad hominem”, menyerang sisi personal sebagai cara untuk mengabaikan atau mendiskreditkan argumennya (Edward T. Damer: Attacking Faulty Reasoning, p199). Tidak membedah argumennya melalui argumen bantahan tetapi justru menyerang personal orangnya.
Jika penyakit logical fallacy dan argumentum ad hominem itu diderita oleh seorang masyarakat awam, dampaknya paling jauh hanya terjadi debat kusir di warung kopi. Tetapi jika logical fallacy dan argumentum ad hominem itu menjangkiti penyelenggara negara atau daerah maka dampaknya akan membuat penyelenggaraan pemerintahan negara atau daerah itu tidak lagi dijalankan dengan akal sehat.
Saya sebenarnya tidak tertarik menanggapi balik tanggapan yg telah dijangkiti dua jenis penyakit fikiran seperti itu, tetapi sesekali bolehlah sekalian berlatih nalar bersama pembaca.
Pertama tentang kategorisasi politisi, saya tidak tahu di mana Ketua Partai Golkar Bandar Lampung menemukannya dalam komentar saya sebelumnya. Dapat dibaca kembali dengan cermat, saya tidak melakukan kategorisasi politisi karena kita semua mafhum dosen dan komisioner Bawaslu bukanlah politisi.
Saya berkomentar bahwa perbedaan pendapat yang terjadi lebih karena perbedaan perspektif berfikir, di satu sisi menggunakan perspektif etika hukum sementara di sisi lain memakai perspektif hukum formal secara tekstual. Walaupun belakangan ternyata Bawaslu mengirimkan surat teguran resmi juga menggunakan pendekatan hukum formal.
Dalam khasanah literatur politik populer, perspektif etika lazim disematkan dengan atribusi “high politics”, sementara perspektif zonder etika disematkan atribusi “low politics”. Kendati tidak relevan, pertanyaan personal bersifat argumentum ad hominem yang ditujukan kepada saya itu sebenarnya sudah dapat terjawab.
saya berada pada posisi politisi yang memaknai politik lebih sebagai aktivitas intelektual etis sementara ia dengan terang memaknai politik sebagai aktivitas kekuasaan formal an sich, menjadi pejabat eksekutif atau legislator.
Saya mengalami kesulitan mengikuti penalaran dalam kalimat : “Beliau adalah simbol partai yang harus kita jaga kewibawaannya baik sebagai gubernur maupun sebagai simbol partai dari rongrongan orang yang akan menurunkan elektabilitas Partai Golkar, terlebih dalam menghadapi Pilkada.
Yang mana harus dijaga? Simbol partai sebagai Gubernur atau Gubernur sebagai simbol partai? Siapa yang dirongrong kewibawaannya? Gubernurnya atau simbol partainya? Apa gerangan hubungan antara kewibawaan Gubernur dengan elektabilitas Partai Golkar?
Saya coba simulasikan rangkaian peristiwa dan susunan kalimatnya dalam bentuk penalaran yang paling sederhana untuk mengetahui siapa yg dianggap telah merongrong kewibawaan Gubernur dan menurunkan elektabilitas Partai Golkar:
Premis 1 : Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinas
Premis 2 : Seorang akademisi dan seorang komisioner Bawaslu mengkritik tindakan Gubernur itu
Premis 3 : Bawaslu menegur tindakan Gubernur itu melalui surat resmi
Premis 4 : Kewibawaan Gubernur telah dirongrong
Premis 5 : Elektabilitas Partai Golkar akan menurun
Penalaran koherensi dari kelima premis itu melalui hubungan kausalitas (sebab-akibat):
Premis 1 dengan premis 2:
Karena Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinas maka seorang akademisi dan seorang komisioner Bawaslu mengkritiknya
Premis 1 dengan premis 3:
Karena Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinas maka Bawaslu menegurnya melalui surat resmi. Jelas bahwa adanya premis 1 menjadi penyebab adanya premis 2 dan 3
Premis 2 dan 3 dengan premis 4:
Karena dikritik oleh seorang akademisi dan ditegur Bawaslu melalui surat resmi maka wibawa Gubernur telah dirongrong. Jelas bahwa premis 2 dan 3 diduga menyebabkan lahirnya premis 4
Premis 4 dan 5:
Karena wibawa Gubernur telah dirongrong maka elektabilitas Partai Golkar akan menurun. Jelas juga bahwa premis 4 menjadi penyebab premis 5.
Menjadi sangat jelas bahwa adanya premis 1 menjadi sebab adanya premis 2 dan 3 kemudian kedua premis itu menyebabkan adanya premis 4 dan akhirnya premis 4 menyebabkan adanya premis 5.
Dari model penalaran sederhana ini dapat dimengerti bahwa sejatinya bukan kritikan seorang akademisi dan teguran resmi Bawaslu lah yg telah merongrong wibawa Gubernur dan akan menurunkan elektabilitas Partai Golkar, tetapi tindakan Gubernur memimpin acara Partai Golkar dengan memakai atribut dan kendaraan dinasnya lah yg telah merongrong wibawa Gubernur dan akan menurunkan elektabilitas Partai Golkar.
Sebelum saya akhiri tulisan ini, saya perlu menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang bersangkutan atas nasehatnya untuk “tafaqquh fiddin”, saran yang sangat baik kepada sesama muslim. Semoga kita semua senantiasa dapat menjaga kesehatan jasmani dan melatih nalar kita agar tetap hidup bahagia terhindar dari pandemi Corona dan kekacauan logika. ***
Tinggalkan Balasan