Polri dan KPK Tunda Proses Hukum Bakal Calon Yang Terlibat Pilkada Serentak 2020

Jakarta (SL)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan penundaan proses penegakan hukum pasangan calon (paslon) kepala daerah yang maju di Pilkada Serentak 2020. Dengan demikian posisi beberapa pasangan calon yang diduga terlibat perkara korupsi di daerahnya masing-masing sementara “aman”.  Termasuk calon kepala daerah pertahana Bupati Lampung Selatan Nanang Ermanto.

Bahkan Kapolri Jenderal Idham Azis juga sudah memerintahkan jajarannya menunda proses penegakan hukum paslon kepala daerah yang akan maju di Pilkada 2020. Perintah tertuang dalam Surat telegram bernomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 per tanggal 31 Agustus 2020.

“Kami memahami pertimbangan penundaan proses hukum bagi peserta pilkada agar proses hukum tak disalahgunakan kepentingan politis. KPK masih mempertimbangkan kebijakan itu apakah diperlukan atau tidak,” kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron kepada wartawan, Sabtu 5 September 2020.

Menurut Nurul Ghudron setiap kasus yang tengah ditangani KPK telah mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP). “Tidak mungkin ditersangkakan, ditahan dan seterusnya kecuali memenuhi syarat dan prosedur yang sangat ketat,” jelasnya.

Ghufron menjelaskaan pihaknya meyakini proses hukum sesuai peraturan. Sebaliknya, tak akan ada intervensi proses hukum yang dijalani. “Tidak akan terintervensi tekanan, desakan kemauan politik dalam masa pilkada ini, malah sebaliknya jangan sampai proses politik yang biaya dan keterlibatan masyarakatnya tinggi namun tak mengungkapkan semua sisi dari para calon kepala daerah agar pilkada 2020 ini mampu menemukan pemimpin daerah berintegritas,” ujarnya.

Seperti diketahui KPK beberapa waktu lalu menggeledah Kantor Bupati dan Dinas PUPR Lamsel. KPK membenarkan telah menetapkan Asisten II bidang Ekonomi dan Pembangunan (Ekobang) Setdakab Lamsel, Hermansyah Hamidi sebagai tersangka hasil pengembangan kasus suap fee proyek infrastruktur terpidana mantan Bupati Lamsel, Zainudin Hasan dan beberapa terpidana lain.

Penetapan tersangka, berdasarkan SPDP Nomor B/176/DIK00/230/07/2020 yang diterbitkan KPK tanggal 30 Juni 2020 dengan menetapkan Hermansyah Hamidi sebagai tersangka. Dalam SPDP yang ditandatangani penyidik KPK Brigjen Seto Budiyanto tanggal 1 Juli 2020, Hermansyah Hamidi disangka Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi karena telah menerima fee pengerjaan proyek infrastruktur Pemkab Lamsel.

“Benar, itu surat SPDP yang dikeluarkan KPK dan ditujukan ke pihak yang tertera namanya disana (SPDP). Namun, kami belum bisa memberikan informasi spesifik karena masih melakukan serangkaian kegiatan penyidikan, Untuk pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, belum bisa kami sampaikan saat ini. Nanti, tentu akan kami informasikan lebih lanjut hasil perkembangannya,” kata Plt Juru bicara KPK, Ali Fikri waktu itu

Dalam Kasus Korupsi di Lampung Selatan, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi Bupati nonaktif Lamsel Zainudin Hasan. Itu membuat mantan Ketua DPD PAN Lampung yang juga adik kandung mantan Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan tetap dihukum 12 tahun penjara. Kini KPK telah mengeksekusi terpidana Zainudin Hasan guna menjalani masa hukuman penjara. Selain itu, Zainudin dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp66 miliar.

Zainudin dinyatakan terbukti korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Aset senilai Rp40 miliar yang telah disita akan dirampas. Sisanya, Rp66 miliar, wajib dikembalikan Zainudin Hasan. Bila tak membayar, hartanya disita jaksa untuk dilelang dan disetor ke negara. Bila masih kurang, hukuman Zainudin ditambah 18 bulan penjara.

Atas vonis ini, Wiliyus Prayietno, S.H., M.H., advokat yang juga Ketua Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI) sebelumnya minta KPK mengusut pihak lain yang juga terlibat kasus ini. Mereka Sahroni sebagai pejabat di Dinas PUPR Pemkab Lamsel. Lalu, Ahmad Bastian SY, anggota DPD RI dan Nanang Ermanto, Wakil Bupati Lamsel yang kini telah naik sebagai Bupati Lamsel. Terakhir Bobby Zulhaidir, wiraswasta dan orang kepercayaan Zainudin.

KPKAD Lampung juga pernah mendesak jaksa KPK dan Pengadilan Tipikor bisa menindaklanjuti fakta di sidang perkara korupsi dugaan fee setoran proyek pada dinas PUPR Lamsel. Mereka meminta jaksa KPK dan hakim mengambil langkah hukum, khususnya nama yang muncul yang diduga ikut menerima aliran dana fee proyek dari dinas PU PR Lamsel.

Menurut KPKAD, atas fakta ini penegak hukum dipandang perlu meningkatkan status Nanang Ermanto. Yakni menjeratnya Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 12 dan 15 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Sehingga, penegakan hukum bisa sesuai adagium dan asas hukumnya yakni equality before the law dan tanpa pandang bulu.

Di sejumlah persidangan nama Nanang disebut menerima uang Rp480 juta dalam kurun 2017-2019. Uang itu ia terima dari empat orang. Dua di antaranya adalah terdakwa anggota DPRD Lampung Agus Bhakti Nugroho dan mantan Kadis PUPR Lamsel Anjar Asmara. Selain dari Agus dan Anjar, Nanang mengaku terima uang dari Kepala Bidang Pengairan Sahroni dan mantan Kadis PUPR Lamsel Hermansyah Hamidi.

Sebelum menerima uang, Nanang mengaku terlebih dulu memberi tahu Zainudin. “Saya mintanya selalu dengan bupati. Tapi ngasihnya lewat Syahroni, ABN (Agus BN), Hermansyah, dan Anjar,” kata Nanang saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus fee proyek Dinas PUPR Lamsel dengan terdakwa Agus BN dan Anjar Asmara, di PN Tipikor Tanjungkarang.

Nanang mengakui telah mengembalikan uang Rp480 juta itu melalui KPK. Pengakuan Nanang ternyata tidak sesuai hasil berita acara pemeriksaan, pasalnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Subari Kurniawan mengaku Nanang menerima total Rp960 juta selama 2017-2018. Rinciannya, Rp510 juta dari Sahroni, Agus BN, dan Hermansyah pada 2017. Kemudian, Rp450 juta dari Agus BN dan Anjar pada 2018.

Tak hanya KPKAD yang mendesak KPK. Hal sama ditegaskan tokoh masyarakat Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie. Ini menyikapi soal pengakuan Nanang Ermanto yang mengaku telah menerima uang ratusan juta rupiah dari pihak yang terlibat kasus fee proyek ini. Bahkan karena perbuatannya, Nanang Ermanto mengaku telah mengembalikan uang yang diterimanya ke KPK senilai Rp480 juta.

“Pertanyaannya darimana saksi Nanang Ermanto bisa dapat uang sebegitu besar di waktu singkat. Kalau gaji sebagai Plt Bupati, jelas tak mungkin. Untuk itu KPK harus jeli mengusut asal muasal uang pengembalian Rp480juta,” terang Alzier beberapa waktu lalu. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *