Bandar Lampung (SL)-Mantan Direktut WALHI Lampung Mukri Friatna. mengatakan peristiwa longsor dan ambruknya tiga rumah di Perumahan Citra Land di Jalan Raden Imba Kusuma, Sumur Putri, Tanjungkarang Barat, Selasa-Rabu 26-27 Januari 2021 menjadi tanggung jawab pengembang, termasuk pemberi izin dan bisa tersangsi pidana, jika terjadi pelanggaran Tata Ruang (TR) dan terbukti mengokupasi atau menggunakan zona hijau.
Baca: Rumah Mewah Komplek Citra Land Roboh Terseret Longsor Komisi III Minta Stop Pembangunan dan Tinjau
Menurut Mukri, dalam pembangunan sekurangnya ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan yaitu UU Tata Ruang (RDTL Kota Bandarlampung) RTRW mengatur tentang struktur ruang dan pola ruang. Jika dalam TR disebut bukan suatu areal bukan diperuntukan bagi pemukiman namun tetap dibangun maka pelaku usaha termasuk pemberi izin bisa dipidana.
Kemudian dalam UUPPLH pembangunan harus mengacu pada kajian lingkungan hidup strategis, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jika wilayah tersebut zona hijau atau zana lindung maka tidak bisa diubah fungsinya. “Dan dalam UU penanggulangan bencana, pembangunan beresiko tidak boleh dilakukan pada wilayah rawan bencana. Jika dipaksakan maka kontruksi harus adaptif jenis bencana yang ada di wilayah tersebut,” kata Mukri.
Menurut Mukri, wilayah Telukbetung, Tanjungkarang Barat sebagian berada pada sesar gempa suam. Dan dalam UU PPLH disebutkan, pengembang perumahan dapat dikenakan sanksi pidana dalam UU PPLH, yaitu pada saat pengembang perumahan tersebut melakukan pelanggaran yang berakibat rusak atau terganggunganya lingkungan hidup. “Jadi, dalam pengembangan perumahan atau pembangunan harus memperhatikan tiga aspek tersebut,” ujar Mukri.
Mukri menjelaskan salah satu yang sering terjadi yaitu pada saat proses pematangan lahan perumahan secara teknis di sebutkan bahwa, Pematangan lahan untuk pengembangan perumahan dengan melakukan cut and fill (pemangkasan dan pengisian) dapat membahayakan kondisi lingkungan.
“Cara yang sudah lazim dilakukan pengembang sebelum membangun perumahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan area datar sehingga pembangunannya lebih mudah dan rumah yang dihasilkan lebih banyak. Proses cut and fill itu kerap kali merusak lahan yang imbasnya bukan hanya pada lokasi proyek bersangkutan melainkan bisa berkembang hingga ke lokasi di sekitarnya,” urainya.
Dampaknya, lanjut Mukri, bisa menyebabkan banjir, longsor, dan tanah amblas. Selain pelangaran seperti diatas, masih banyak lagi kegiatan-kegiatan pengembang perumahan yang bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran pidana dalam UU PPLH.
Kemudian pertanggugngjawaban pengembang perumahan dalam UU PPLH yang merupakan suatu korporasi atau badan usaha yaitu dalam pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 disebutkan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.
“Tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut,” katanya
Mukri menyebutkan dalam Pasal 140, Setiap orang dilarang membangun, perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pasal 141, Setiap pejabat dilarang mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang.
Lalu, Pasal 156, Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Kemudian Pasal 157, Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
“dan Pasal 158, Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),” katanya. (Red)
Tinggalkan Balasan