Bandar Lampung (SL)-Buruh perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Makanan dan Minuman menggelar pelatihan dan diskusi umum secara tatap muka dan virtual dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women Day’s) yang jatuh pada tanggal 8 Maret.
Kegiatan tersebut diikuti oleh beberapa serikat buruh, mereka diantaranya:
1. Serikat Buruh Mandiri Umas Jaya Agrotama (SBMUJA);
2. Serikat Pekerja Karya Mandiri Fermentech Indonesia (SPKMF);
3. Serikat Pekerja Mandiri Sugar Labinta (SPMSL);
4. Serikat Pekerja Bumi Menara Internusa (SPBMI);
5. Serikat Buruh Phillips Seafoods Indonesia (SBPSI);
6. Serikat Buruh Nestle Indonesia Panjang (SBNIP);
7. Serikat Buruh Coca Cola Distribusi (SBCCD);
8. Serikat Pekerja Nutricia Indonesia (SPNI);
9. Serikat Buruh Savoria Cikupa (SBSC);
10. Serikat Buruh Coca Cola Bottling (SBCCB);
11. Serikat Buruh Nestle Indonesia Karawang (SBNI Karawang);
12. Serikat Buruh Kalbe Morinaga Indonesia (SBKMI);
13. Serikat Buruh Mandiri Danone Aqua Indonesia Cibinong (SBMDAIC);
14. Serikat Buruh Mandiri Danone Indonesia Aqua Subang (SBMDIAS);
15. Serikat Pekerja Mandiri Kecap Bango (SPMKB);
16. Serikat Pekerja Mandiri Coca Cola (SPMCC);
17. Serikat Buruh Mandiri Coca Cola (SBMCC);
18. Serikat Pekerja PT Indolakto Pandaan (SPPTTIL);
19. Serikat Buruh Nestle Indonesia Gempol (SBNIG);
20. Serikat Buruh Nestle Indonesia Kejayan (SBNIK).
Aisyah, Ketua Komite Perempuan Federasi Serikat Buruh Makanan dan Minuman mengatakan, dewasa ini situasi semakin membuat peradaban teknologi kian canggih. Namun juga membuat kehidupan generasi semakin menjerit dan merintih akibat ketidak jelasan pekerjaan untuk menghidupi diri.
“Sejumlah pekerjaan dari berbagai sektoral, mulai dari industrial, komersial, bahkan hiburan juga semakin tidak ada kejelasan terhadap para tenaga kerja yang mengabdi untuk mencari pundi-pundi materi,” kata Aisyah dalam pesan tertulisnya yang diterima redaksi sinarlampung.co, Kamis 11 Maret 2021.
Menurutnya, gejolak dunia perekonomian dengan berbagai sudut pandang serta himpitan tuntutan kehidupan membuat para tenaga kerja harus memutar otak berkali lipat demi mendapatkan materi di tengah krisis yang terjadi. Pencarian materi bukan hanya bersubjek laki-laki.
“Perempuan dengan segala peranan memegang tanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan materi. Tak hanya di bidang rumah tangga, begitu banyak perempuan yang bekerja membagi waktunya bahkan separuh hidupnya demi suatu pencapaian yang harus diemban,” tegasnya.
Lanjutnya, negara yang makmur dengan hasil bumi melimpah, yang kita tinggali, kaki kita berpijak pada bumi yang memberikan hidup, bernama Indonesia, pada hari ini juga telah memberikan warna berbeda pada rakyatnya. Rakyat yang merupakan nyawa berharga suatu negara, kini telah kesusahan untuk mencari pekerjaan. Anak bangsa yang cemerlang kini dirundung malang di tengah kebijakan pemerintahan yang menyengsarakan.
“Pandemi lagi-lagi dikambinghitamkan atas ketidakjelasan pemerintah memberikan ruang pekerjaan terhadap rakyatnya. Pemutusan hubungan kerja bertubi-tubi yang mengorbankan para tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Para perempuan yang menjadi tulang punggung keluarganya,” ujar Aisyah tegas.
Perempuan lanjutnya, yang harus menghidupi kebutuhan hidup layak namun pemerintah, investor, serta pengusaha memperlakukannya secara tidak layak dengan merenggut hak-hak perempuan. Perempuan yang rentan pelabelan negatif.
“Perempuan yang selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif. Perempuan yang ruang geraknya dibatasi. Perempuan yang menjadi objek pelecehan dan kekerasan. Perempuan yang sudah saatnya bangkit dari masa penindasan,” katanya.
Lebih lanjut Aisyah menerangkan, polemik di negeri sendiri memaksa perempuan untuk bangkit demi tegaknya keadilan di tengah juang pertahanan kehidupan. Para perempuan di seluruh sektoral berjuang dengan pendidikan, bertarung melawan waktu, dan bernegosiasi dengan emosinya sendiri demi pergerakan, pertahanan, serta perubahan dunia agar menjadi lebih baik. “Tak segan perempuan pun bertaruh nyawa dan masa depan,” pungkasnya.
Kriminalisasi dijadikan kebiasaan untuk membungkam gerak perempuan yang berani menyuarakan keadilan. Pelecehan dan kekerasan dijadikan tradisi untuk membuat depresi hingga bunuh diri. Tak terhitung berapa banyak para perempuan yang menjadi korban berpangkat pahlawan demi tegaknya keadilan. Para perempuan dituntut untuk bisa menghadapi seluruh keadaan dengan seluruh kondisi fisik dan psikologi yang tidak memungkinkan.
Tinggalkan Balasan