Propam Polri dan Tim KPK Tangkap Penyidik KPK Yang Peras Bupati Tanjung Balai

Jakarta (SL)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Tim Divisi Profesi dan Pengamanan Polri menangkap penyidik Polri pada penugasan KPK berinisial AKP SR, yang diduga minta uang hampir Rp1,5 miliar kepada Wali Kota Tanjungbalai HM Syahrial dengan iming-iming akan menghentikan kasusnya.

“Propam Polri bersama KPK mengamankan penyidik KPK, AKP SR, pada 20 April 2021 dan telah diamankan di Div Propam Polri,” ujar Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo melalui pesan teks pada Rabu, 21 April 2021.

Ferdy mengatakan, penyidikan atas dugaan pemerasan itu bakal dilakukan oleh KPK. Namun, Polri akan tetap berkoordinasi mengawal penyidikan. “Masih akan diproses pidananya di KPK terkait kasus suap dan masalah etik nanti kami koordinasi dengan KPK,” kata Sambo.

KPK juga menggeledah rumah di Jalan Sriwijaya, Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang diduga milik Wali Kota Tanjungbalai H.M Syahrial, Selasa kemarin. Sumber wartawan di Kota Tanjung Balai, yang menolak identitasnya ditulis, menyebut, rumah yang digeledah KPK diketahui milik keluarga H.M Syahrial. “Dari dalam rumah penyidik KPK menyita dokumen proyek Dinas Perumahan Rakyat Dan Kawasan Permukiman atau Perkim.” katanya.

ICW : Hukum Seumur Hidup

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam siaran pers yang diterima wartawan, Rabu 21 April 2021 mengatakan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) asal Polri, AKP SR, dapat dijerat dengan dua Pasal yang ada dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman maksimal seumur hidup. Hal itu diungkapkan

AKP SR merupakan penyidik yang menangani kasus dugaan suap terkait lelang atau mutasi jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara Tahun 2019. Ia diduga meminta uang sebesar Rp 1,5 miliar kepada Wali Kota Tanjungbalai H M Syahrial dengan janji akan menghentikan kasusnya.

Kurnia mengatakan jika dugaan pemerasan itu benar, maka AKP SR mesti dijerat dengan dua Pasal dalam UU Tipikor, yakni kombinasi Pasal 12 huruf e tentang tindak pidana pemerasan dan Pasal 21 terkait menghalang-halangi proses hukum. “Tentu ketika dua kombinasi pasal itu disematkan kepada pelaku, ICW berharap Penyidik asal Polri yang melakukan kejahatan itu dihukum maksimal seumur hidup,” kata Kurnia,

Kurnia menilai, adanya peristiwa pemerasan itu menjadikan KPK kini berada di ambang batas kepercayaan publik. Sebab, menurut dia, setiap ada pemberitaan terkait lembaga anti rasuah itu selalu saja diwarnai dengan problematika di internalnya sendiri.

“Mulai dari perampokan barang bukti, gagal menggeledah, enggan meringkus buronan Harun Masiku, sumpah nama politisi dalam surat dakwaan sampai terakhir adanya dugaan pemerasan kepada kepala daerah,” ucap Kurnia.

ICW menilai pengelolaan internal KPK sudah melanggar peraturan internal dan pengelolaan internal kelembagaan itu oleh para komisioner KPK. Menurut ICW, sejak Firli Bahuri dilantik sebagai Ketua KPK, anggapan publik atas kinerja KPK selalu bernada negatif.

Kurnia menyebut, dalam catatan ICW sepanjang tahun 2020, setidaknya ada enam lembaga survei yang mengkonfirmasi hal tersebut. “Tentu ini menjadi hal baru, sebab, sebelumnya KPK selalu mendapatkan kepercayaan publik yang relatif tinggi, “kata Kurnia.

“Lagi-lagi, kekeliruan dalam kepemimpinan KPK ini akibat buah atas kekeliruan Presiden kala menyeleksi komisioner pada tahun 2019 lalu,” ucap dia.

Atas kejadian ini, ICW meminta Kedeputian Penindakan KPK dan Dewan Pengawas segera menindaklanjuti dugaan pemerasan dengan melakukan klarifikasi dan penyelidikan lebih lanjut atas tindakan penyidik ​​asal Polri itu. “Jika kemudian tindakan pemerasan itu terbukti, maka KPK harus memproses hukum penyidik ​​itu serta Polri juga pertimbangan yang berhubungan dengan anggota Korps Bhayangkara,” tutur Kurnia. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *