Bandar Lampung (SL)-Masih dalam ingatan betapa memilukan kejadian seorang anak berinisial KPW (23) yang tega menebas leher Ayah Kandungnya sendiri hingga membuat tewas tanpa kepala. Peristiwa itu terjadi dikampung Sendang Rejo, Kecamatan Sendang Agung, Kabupaten Lampung Tengah, pada 22 Maret 2021 lalu.
Pelaku yang diketahui termasuk dalam Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), rupanya tak membuat penegak hukum untuk mengambil langkah tepat dan berhati-hati dalam penangan proses hukum ODGJ. Seharusnya pihak penegak hukum yang telah mengetahui hasil medis si pelaku tidak mengambil langkah ingin mengembalikan pelaku kepada keluarganya.
Seperti yang dikutip dari media Tribunnews.Lampung, “Tapi warga di sana tidak mau yang bersangkutan (KPW) dibawa pulang kembali ke keluarganya, alasannya keamanan warga,” jelas Kapolsek Kalirejo Iptu Edi Suhendra dalam berita yang terbit pada 13 April 2021.
Karena penolakan dari warga Kampung Sendang Rejo itulah, pihak Polsek Kalirejo akhirnya menempatkan KPW di sel khusus untuk dilakukan pengamanan demi keselamatan. Namun nahas langkah yang dinilai baik membawa petaka, publik pun dibuat kaget dengan informasi ditemukannya KPW tewas gantung diri dengan pakainnya sendiri diruang sel khusus pada 12 April 2021.
Hal itu lah yang mengundang saya untuk berasumsi dan memberikan sikap yang sangat disayangkan dari langkah penegak hukum dan kurang rasa empati pemerintah daerah atas tragedi. Seharusnya, pihak penegak hukum tidak menempatkan si pelaku dalam sel khusus akibat dari penolakan warga. Melainkan berkoordinasi dengan pihak instansi terkait (Pemerintah) guna mendapati pengobatan mental seperti dengan cara menitipkannya di Rumah Sakit Jiwa.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 149 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang berbunyi: “Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan”.
Dan atas tindakan kriminal pelaku ODGJ semesti tidak ditempatkan disel khusus hal itu didasari pada Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”
Meski Pasal 44 ayat (2) KUHP menyatakan, Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
Sehingga dalam penjelasan Pasal 44 ayat (2) KUHP dimaksudkan terhadap orang dengan gangguan jiwa tetap dapat di proses hukum, namun hal itu jika melihat kondisi dan relevansi yang terjadi di kabupaten lampung tengah pasal 44 ayat (2) tidak memungkinkan pelaku dapat menjalani persidangan dikarenakan sipelaku tidak akan mungkin melakukan tidakan sekeji itu, jika keadaan mentalnya pelaku sedang dalam masa yang sangat kritis sehingga dibutuhkan penanganan medis.
Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur, pelaku dan korban kini telah bersemayam bersama tenang di alam kubur. Semoga keduanya dapat ditempatkan disisi yang baik disisi Allah Swt.
Akan tetapi jika saya mengajak menelisik lebih jauh bagaimana penangan proses hukum ODGJ dan dimana peran pemerintah daerah. Tentu terbesit pikiran siapakah yang bertanggungjawab terhadap tewasnya ODGJ di sel khusus dengan cara gantung diri? Tentu semua pihak akan terdiam membisu.
Dimanakah peran kita sebagai tetangga jika ada dilingkungan kita seseorang yang mengindap gangguan jiwa dan bisa saja sewaktu-waktu membahayakan keluarganya bahkan diri kita sendiri?
Apakah cukup menolak saat sudah ada kejadian? Dimana peran pamong dan aparatur desa? Dimana peran bhabin katibmas dan pemerintah daerah?
Jawaban nya ada pada kita. Saya berharap tragedi tersebut dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. Sehingga tidak ada lagi tragedi yang sama terjadi.
Tinggalkan Balasan