Bandar Lampung (SL)-Rasa takut dan khawatir menyelimuti keseharian para tenaga medis. Sementara mereka harus bertanggung jawab untuk melayani para pasien dan menenangkan mereka yang tekonfirmasi covid-19. Ironisnya, hanya di Lampung para petugas medis yang kurang mendapat semangat dari pimpinan daerahnya.
“Kami cuma lihat di tv bang, kalo di Jakarta Gubernurnya terlihat begiti memotivasi, sering mengunjungi petugas medis, memberi semangat, termasuk bantuan. Tapi kita di Lampung, kaya bapak kita kurang respek dengan petugas medis yang berjuang merawat pasien covid,” ujar salah seorang dokter di RSUD Abdoel Moeloek, kepada sinarlampung.co, Sabtu 17 Juli 2021.
Menurutnya, sudah banyak temen-temen perawat tumbang. “Kita ini audah krisis tenaga medis. Apalagi sejarang sudah nambah 10 ruang isolasi. Kita harus memastikan pasien mendapatkan pelayanan. Tapi dengan kondisi ini kita suliy memberika pelayanan seperti layak biasanya,” katanya.
Apalagi saat ini perawatan pasien covid-19 tidak hanya asli dari Provinsi Lampung. Kita juga merawat pasien hasil swab yang positif ada dengan alamat luar Provinsi Lampung. “Seperti Dr jihan, beliau itu adek bu Nunik wagub kita, itu impor dari Jakarta dirawat di RSAM. Nah, bapak kita (Gubernur,red) sepertinya kurang care ya sama tenaga kesehatan. Beda sama bapaknya DKI. Care banget sama tenaga kesehatan. Ya gak cerita apa’apa si bang, cuma lihat di tv. Yang di Jakarta itu rajin dikunjungin, di kasih suport dll,” katanya diamini petugas lainnya.
Dibalik semangat yang mereka tunjukkan, ternyata para tenaga kesehatan itu juga menyimpan kekhawatiran besar karena rentan tertular. Kesedihan juga dirasakan para pahlawan medis karena harus membatasi diri untuk bertemu keluarga. “Kalo mau jujur, kita juga takut bang. Tapi ini sudah resiko kami dalam menjalankan tugas. Meski banyak temen temen yang justru ikut stres. Apalagi banyak kabar perawat hingva dokter yang meninggal karena covid,” ujarnya.
Apalagi saat ini dengan pemberlakuan PPKM darurat, semua RS Rujukan Covid bahkan ada yang memasang pengumuman tidak lagi melayani pasien cpvid=19, karena ruang penuh, obat hingga oksigen yang terbatas.
Perjuangan para tenaga medis dalam melawan Covid-19 belum berakhir. Mereka berada di garda terdepan rela mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, dan nyawa demi menyelamatkan ratusan bahkan ribuan pasien baik dengam status Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), hingga positif Covid-19. Banyak dari mereka yang sulit pulang ke rumah untuk bertemu keluarga demi mencegah penularan.
Belum lagi alat Pelindung Diri (APD) dibutuhkan oleh para pekerja medis untuk menjaga keamanan dan keselamatan di lingkungan yang penuh resiko penularan. “Ya kalo mau jujur sampai saat ini juga ketersediaan APD masih terbatas. Bahkan, masih banyak rumah sakit yang tidak memiliki stok sama sekali. Sementara kita harus efisiensi dalam penggunaan APD. Kami sangat menjaga agar defisiensi stok tidak terjadi,” ucapnya.
Hal yang sama juga diakui petugas medis yang ada di puskesmas. Berbagai cara dilakukan untuk mengakali keterbatasan stok ini. Masker N-95 disimpan dalam tempat yang bersih agar dapat dipakai ulang hingga 5x.
Face Shield dimodifikasi dengan menggunakan plastik mika bening. Selain itu, penggunaan baju Coverall untuk prosedur dengan potensi penularan yang lebih tinggi, dibatasi menjadi 1 baju dalam satu kali shift dinas.
“Padahal prosedurnya tidak begitu. Kita petugas kadang hanya menggunakan jas atau kimono kain. Baju Coverall baru akan dilepas, jika semua prosedur perawatan sudah selesai dilakukan dan kebutuhan pasien sudah terpenuhi,” kata petugas medis lainnya, yang piket do RSUD Abdoel Moeleok.
“Kami berupaya saling membantu satu sama lain, bila satu rekan kami sudah melepas baju Coverallnya dan ternyata ada pasien yang membutuhkan bantuan tiba-tiba, rekan kami yang lain yang belum melepas baju Coverallnya akan membantu. Hal ini bertujuan untuk menghemat penggunaan APD,” katanya.
Keterbatasan APD juga menyebabkan para petugas untuk menahan rasa haus, lapar, hingga keinginan untuk buang air. Sebab, APD bersifat sekali pakai sehingga jika dilepas, APD harus langsung disisihkan dan disterilkan.
Namun ada juga hal yang paling disyukuri bagi mereka adalah kesempatan untuk dapat menolong orang lain dan memberikan pelayanan sesuai sumpah profesi. Rasa kompak dan saling membantu menjadi keharuan tersendiri di tengah kecemasan dan ketidakpastian itu.
“Hal positif yang saya rasakan selama menghadapi pandemi Covid-19 ini adalah kesempatan untuk belajar ilmu baru. Mengingat Covid-19 ini adalah jenis virus baru, banyak hal baru yang saya pelajari tentang bagaimana merawat pasien dengan infeksi virus ini. Mulai dari cara melakukan screening awal, mengenali tanda dan gejalanya, cara penularannya, dan proses merawat pasien. Saya menjadi belajar mengenal APD yang biasanya saya belum pernah pakai seperti baju Coverall dan Face Shield. Saya juga mendapat ilmu baru dari beberapa webinar yang saya ikuti. Saya juga merasa senang karena banyak orang menjadi lebih rajin mencuci tangan, artinya prinsip hidup bersih dan sehat semakin banyak diterapkan,” ujarnya.
Pengalaman pertama bekerja di tengah pandemi Covid-19 juga menjadi “rewarding experience” yang tak terlupakan bagi seorang perawat. Di antara petugas kesehatan lainnya, perawat menghabiskan waktu paling lama berinteraksi dengan pasien sehingga, menjadikannya sosok paling rentan terhadap virus ini.
Tentu keterbatasan waktu untuk berkumpul bersama keluarga menjadi duka yang dirasakan oleh para petugas. Belum lagi, masih banyak pasien yang tidak jujur dan kooperatif saat berobat, seolah tidak peduli dengan risiko yang bisa saja terjadi.
Beberapa dokter dan perawat menjadi positif Covid-19 akibat menangani pasien yang menyembunyikan riwayat kontak atau perjalanannya. Jerih payah tim medis yang berjuang sekuat tenaga seakan tidak dihargainya.
Kini para tenaga medis juga menjadi lebih waspada terhadap kebersihan diri. Selain rutin mencuci tangan, petugas akan mandi di rumah sakit saat dinasnya berakhir dan mandi kembali saat sampai di rumah.
Sejak kebijakan PSBB dan kini PPKM diterapkan, pertugas yang biasa menggunakan transportasi online harus mencari alternatif lain agar bisa sampai di tempat kerja. “Semua proses adaptasi yang saya dan rekan saya sesama perawat lakukan membuat kami melihat pandemi ini sebagai proses belajar menjadi versi yang lebih baik”, katanya. (Juniardi).
Tinggalkan Balasan