Jakarta (SL)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai catatan terkait kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Termasuk untuk di wilayah Provinsi Lampung. Sejak Pilkada langsung tahun 2005, KPK menangkap 124 dari 300 kepada daerah yang ditangkap. Dan tahun 2016-2019 ada lima kepala daerah di Lmapung yang di Tangkap KPK
“Dalam catatan KPK sejak Pilkada Langsung diterapkan pada 2005, sudah 300 kepala daerah di Indonesia yang menjadi tersangka kasus korupsi. 124 di antaranya ditangani KPK. Sementara itu, untuk Lampung, antara tahun 2016 sampai 2019, telah 5 (lima) kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK,” kata Komjend Pol Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Masih dalam catatan KPK, selama kurun 2018 hingga pertengahan 2020, KPK telah menerima 385 pengaduan masyarakat mengenai dugaan tindak pidana korupsi yang berasal dari wilayah Lampung. Hal itu membuat Lampung merupakan provinsi teratas ketiga di Wilayah Sumatera dengan pengaduan masyarakat terbanyak.
Berikut Kepala Daerah di Lampung yang tersandung Korupsi
Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan
Pada 21 Oktober 2016, Bambang Kurniawan yang saat itu menjadi Bupati Tanggamus ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Ia diduga menyuap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Tanggamus, terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2016. Bambang menyuap sejumlah anggota DPRD dengan nilai yang bervariasi.
Atas perbuatannya, Bambang dihukum 2 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjungkarang, Senin (22/5/2017). Ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 250 juta subsider 2 bulan kurungan. Majelis hakim saat itu memandang Bambang terbukti memberikan uang Rp 943 juta ke sejumlah anggota DPRD Tanggamus saat itu. Setelah menjalani vonis dua tahun penjara, Bambang Kurniawan bebas pada sekitar Desember 2018.
Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara
Dalam proyek Dinas Perdagangan, Hendra diduga menyerahkan uang Rp 300 juta ke Wan Hendri. Selanjutnya, Wan Hendri menitipkan uang sebesar Rp 240 juta ke Raden selaku orang kepercayaan Agung. Sisanya dipegang oleh Wan Hendri.
“Dalam OTT ini, KPK menemukan barang bukti Rp 200 juta sudah diserahkan ke AIM (Agung) dan kemudian diamankan dari kamar bupati,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers, beberapa tahun silam.
Diduga uang ini terkait urusan proyek pembangunan pasar tradisional di Desa Sinar Jaya, Kecamatan Muara Sungkai senilai Rp 1,073 miliar; pembangunan pasar tradisional di Desa Karangsari, Kecamatan Muara Sungkai senilai Rp 1,3 miliar; dan konstruksi pembangunan pasar rakyat tata karya senilai Rp 3,6 miliar.
Dalam proyek Dinas PUPR, sejak tahun 2014, sebelum Syahbuddin menjadi Kepala Dinas PUPR, ia mendapat pesan dari Agung bahwa jika ingin menjadi Kepala Dinas PUPR, harus menyiapkan setoran fee sebesar 20-25% dari proyek yang dikerjakan.
“Sedangkan pihak rekanan dalam perkara ini, yaitu CHS (Chandra) sejak tahun 2017 sampai dengan 2019, telah mengerjakan setidaknya 10 proyek di Kabupaten Lampung Utara. Sebagai imbalan atau fee, CHS diwajibkan menyetor uang pada AIM, melalui SYH (Syahbuddin) dan RSY (Raden),” kata Basaria.
Menurut Basaria, terkait proyek di Dinas PUPR, Agung diduga telah menerima uang sebesar Rp 600 juta pada Juli 2019; uang Rp 50 juta pada akhir September 2019 dan Rp 350 juta pada 6 Oktober 2019. “Diduga uang yang diterima pada September dan Oktober 2019 itu lah yang ditemukan di rumah RSY, orang kepercayaan Bupati. Uang tersebut direncanakan digunakan sewaktu-waktu untuk kepentingan AIM,” kata Basaria.
Sebelumnya, Agung bersama 6 orang lainnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung pada Minggu (6/10) dan Senin (7/10).
Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan
Zainudin selaku Bupati Lampung Selatan saat itu ditangkap KPK pada Jumat (27/7/2018). Selain itu, ada tujuh orang lainnya yang juga diamankan petugas KPK. Tujuh orang lainnya yang ikut ditangkap berasal dari unsur anggota DPRD, pihak swasta, dan beberapa orang lainnya.
Adik dari mantan Ketua MPR Zulkifli Hasan ini menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan Tahun Anggaran 2018.Pada (19/10/2018) Zainuddin kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang.
Pada saat pengembangan kasus, KPK menemukan dugaan penerimaan dana melalui tersangka lainnya, anggota DPRD Provinsi Lampung, Agus Bhakti Nugroho. Dugaan penerimaan dana itu bersumber dari proyek-proyek Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan senilai Rp 57 miliar.
Diduga persentase fee proyek sekitar 15 sampai 17% dari nilai proyek. Zainuddin melalui Agus diduga membelanjakan penerimaan dana-dana tersebut.Zainudin diduga menggunakan penerimaan dana tersebut untuk membayar aset-aset berupa tanah, bangunan hingga kendaraan dengan mengatasnamakan pihak keluarga atau pihak lainnya.
Atas perbuatannya, Zainudin Hasan divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan. Zainudin dianggap terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang. Zainudin juga dihukum membayar uang pengganti Rp 66,7 miliar yang harus dibayarkan dalam jangka waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Hak politik Zainudin juga dicabut selama tiga tahun seusai yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana pokoknya. Zainudin sempat mengajukan banding, namun ditolak oleh Pengadilan Tinggi Lampung. Majelis hakim tinggi memperkuat putusan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tanjungkarang secara keseluruhan.
Bupati Mesuji Khamami
Khamami yang saat itu menjadi Bupati Mesuji beserta delapan orang lainnya ditangkap KPK pada 23 Januari 2019. Ia menjadi tersangka dalam kasus pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Kabupaten Mesuji tahun anggaran 2018. Khamami kala itu diduga menerima uang sebesar Rp 1,28 miliar dari pemilik PT Jasa Promix Nusantara (PT JPN) dan PT Secilia Putri, Sibron Azis melalui beberapa perantara.
Uang tersebut dalam bentuk pecahan Rp 100.000 yang terikat dan disimpan di dalam kardus. Uang tersebut merupakan fee untuk Khamami dari empat proyek di wilayah Kabupaten Mesuji.Keempat proyek tersebut terdiri dari dua proyek yang dikerjakan PT JPN dengan nilai total Rp 12,95 miliar dan dua proyek yang dikerjakan PT SP senilai Rp 2,71 miliar.
Atas perbuatannya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Lampung pun menjatuhkan vonis kepada Khamami dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 5 bulan kurungan. Hak politik Khamami juga dicabut selama 4 tahun sejak ia selesai menjalani masa pidana pokoknya.
Bupati Lampung Tengah Mustafa
Mustafa yang saat itu masih menjadi Bupati Lampung Tengah ditangkap KPK. KPK mengamankan 19 orang dalam penindakan yang dilakukan di Lampung Tengah dan Jakarta. Mereka terdiri dari anggota DPRD Lampung Tengah, pihak Pemkab Lampung Tengah dan pihak swasta. Mustafa pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap ke DPRD Lampung Tengah.
Dalam perkara ini, Mustafa divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Mustafa juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Mustafa juga dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama 2 tahun setelah selesai menjalani masa pidana pokok.
Mustafa terbukti menyuap beberapa anggota DPRD Lampung Tengah sejumlah Rp 9,6 miliar.Penyuapan itu dilakuan bersama-sama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman. Sejumlah anggota DPRD Lampung Tengah periode 2014-2019 yang disebut menerima suap yakni, Natalis Sinaga, Rusliyanto, Achmad Junaidi Sunardi, Raden Zugiri. Kemudian, Bunyana dan Zainuddin.
Pemberian uang tersebut bertujuan agar anggota DPRD tersebut memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Muti Infrastruktur (Persero) sebesar Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2018.Kemudian, agar anggota DPRD menandatangani surat pernyataan kesediaan Pimpinan DPRD untuk dilakukan pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil Lampung Tengah dalam hal terjadi gagal bayar.
Pada 30 Januari 2019, Mustafa kembali ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara penerimaan fee dari ijon proyek-proyek di lingkungan Dinas Bina Marga dengan kisaran fee sebesar 10% hingga 20% dari nilai proyek. Nilainya diduga sekitar Rp 95 miliar.
Mantan Bupati Lampung Selatan Wendi Welfa
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandar Lampung menghukum bekas Bupati Lampung Selatan, Wendy Melfa, empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta, Senin, 11 Febuari 2013. Terdakwa dinyatakan terbukti melakukan korupsi dan merugikan negara hingga Rp 14,6 miliar.
“Terdakwa terbukti terlibat aktif menentukan harga yang tidak sesuai dengan harga semestinya sebagai ketua panitia pengadaan tanah dan orang lain atau koorporasi, dalam hal ini CV Naga Intan,” ujar Ketua Hakim Binsar Siregar, 11 Febuari 2013.
Wendy yang sebagai Bupati Lampung Selatan sejak 2008 hingga 2010 dinilai telah melanggar 2 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, junto Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Put Majelis hakim yang terdiri atas Binsar Siregar, Sri Suharini, dan Surisno itu jauh lebih rendah dari penuntutan selama 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Meski divonis lebih ringan, Wendy tidak puas dan menyatakan banding. “Saya menyatakan banding yang mulia majelis hakim,” kata Wendy.
Mantan aktivis Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung itu menganggap putusan majelis hakim tidak adil. Menurut dia, banyak sekali fakta dan bukti di persidangan dalam pengambilan keputusan. “Saya tidak pernah ikut dalam rapat penetapan harga, apalagi tanda tangan dalam rapat,” ujarnya, usai menjalani sidang sambil berlalu ke mobil melewati rintangan yang hendak membawanya ke Rumah Tahanan Way Hui Bandar Lampung.
Sementara itu, jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir atas majelis hakim itu. “Kami konsultasikan dulu karena tidak sesuai dengan yang kami harapkan,” kata Anto D Holyman, salah seorang jaksa penuntut umum.
Selain Wendy Melfa, kasus tersebut juga merupakan Direktur Utama CV Naga Intan, Hendry Angga Kusuma, yang sebelumnya gambar 11 tahun. Hendry yang sama-sama turut berpartisipasi dalam penghargaan majelis hakim dari bangku pengunjung. Dia membaur bersama kerabat dan pendukung Wendy Melfa.
Mantan Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa ditahan penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung terkait kasus dugaan penggelembungan atau mark up pengadaan tanah PLTU Sebalang. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Lampung M Serry S, Kamis 10 Mei 2012, membenarkan soal penahanan Wendy.
Wendy ditahan pada Rabu 9 Mei 2012 di Rutan Way Hui, Lampung Selatan (Lamsel). Wendy ditahan bersama Angga Kesuma, Direktur PT Niaga Intan, penjual lahan yang kini dijadikan lokasi PLTU Sebalang. Nilai proyek pengadaan tanah ini mencapai Rp 26 miliar pada 2008. Wendy juga sempat diperiksa dua kali oleh penyidik di Kejati Lampung. Saat proyek berlangsung, Wendy menjabat sebagai Wakil Bupati Lamsel dan panitia pengadaan tanah proyek tersebut. (red)
Tinggalkan Balasan