Jalan Tol Trans Sumatera: Nikmat Kali Jalannya Lae…

Dua gelas kopi dihadapan Maryono (48) dan  Tarmuji (46) itu sudah hampir habis. Dua sopir truk muatan buah itu baru bisa bertemu kembali di rest area KM 87, setelah terpaut jarak yang cukup jauh, sejak masuk dari pintu tol Bakauheni.

Kedua sopir truk muatan buah tujuan Palembang itu ketika ditemui Sinarlampung.co, Minggu 6 Maret 2022 sore, terlihat tengah bersantai di rest area. “Sejak ada jalan tol Lampung ini, saya selalu ditinggalin dia (Maryono), mentang-mentang bawa truk bagus, jalanan enak, nggak mau konvoi lagi. Langsung lupa sama temennya sendiri,” sindir Tarmuji kepada rekan satu ekspedisinya tu.

Padahal dulu, lanjut Tarmuji, jauh sebelum jalan tol ada, ia dan rekannya itu tak pernah terpisah dalam jarak yang cukup jauh, selain untuk mengantisipasi kemungkinan kerusakan kendaraan akibat kondisi jalan yang rusak, mereka juga khawatir dengan maraknya aksi kriminal di Jalan Lintas Sumatera.

“Kalau disuruh ngebandingin dulu sama sekarang, jelas jauh lah. Sekarang, jalan jam berapa juga nggak pernah was-was lagi. Asal nggak ngantuk, gas aja. Nggak khawatir dicegat ditengah jalan sama preman kampung yang minta jatah preman apalagi takut patah as gara-gara jalan rusak,” kenang Tarmuji.

Kedua sopir ini merasakan benar manfaat Jalan Tol Trans Sumatera khususnya ruas Bakauheni – Pematangpanggang. Tarmuji bahkan membandingkan, biaya yang dikeluarkan dengan tidak melalui jalan tol bahkan jauh lebih besar dibanding melalui jalan tol.

“Musuhnya sopir muatan itu cuma tiga; pungli, jalan rusak sama bajing loncat. Kalau sudah kena tiga masalah itu, uang jalan sebanyak apa juga tetap habis,” jelasnya.

Pungli dan Bajing Loncat

Jauh sebelum jalan tol ada, Maryono bahkan pernah punya pengalaman pahit saat melintas malam hari di Jalan Lintas Sumatera menuju ke Sumatera Selatan yang kerap disebut sopir muatan sebagai ‘hutan rimba’, pungutan liar menghias di tiap ruas jalan.

“Belum ada sekilo jalan, sudah dihadang lagi, lima ribu lagi, begitu terus. Kalau tidak diberi, pintu digedor-gedor atau dilempari, siapa yang betah kalau seperti itu. Kita bilang ke bos soal kendala-kendala di jalan, uang jalan juga tetap segitu-segitu juga, nggak ditambah,” keluhnya.

Dengan mata kepalanya sendiri, Maryono bahkan pernah melihat dua kawanan bajing loncat dengan tenangnya memanjat truk yang ada tepat di depan kendaraannya yang tengah berjalan,”saya lihat sendiri di depan saya, terpal disayat dengan pisau, satu orang naik ngunjalin karung, yang satu lagi sambil bawa motor nempel di belakang bak truk. Sopirnya sebenarnya tahu ada bajing loncat tapi takut”.

Sekarang, sejak jalan tol hadir membelah Pulau Sumatera, dan efektif memangkas waktu perjalanan, banyak sopir yang memilih jalan tol sebagai pilihan utama mobilitas mereka.

“Biaya perjalanan jauh lebih murah lewat jalan tol dibanding jalan lintas. Waktu perjalanan juga bisa lebih cepat sampai. Selain itu, yang utama buat kami, keamanan selama diperjalanan. Kepastian itu yang kami butuhkan. Apalagi, kami dalam seminggu paling sedikit dua kali pasti menggunakan jalan tol ini. Soal biaya tol, sekarang kan sudah serba elektronik, tinggal tempel langsung jalan lagi, ringkes lah, kalau dihitung-hitung, malah mahalan ongkos pungli daripada ongkos tol”.

Biaya Nomor Dua, Jalan Mulus yang Utama

Sanjaya sopir bus Antar Lintas Sumatera (ALS) yang punya pengalaman lebih dari satu dekade membelah jalanan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera melalui rute Yogyakarta – Medan, sudah bisa lebih tenang, sejak Jalan Tol Trans Sumatera ada. Jalan tol ini juga lebih bisa memberi jaminan kepastian waktu sampai dengan dukungan jalan yang mulus.

Dulu, sebelum jalan tol ada, semua armada bus ALS kerap diidentikkan dengan raja jalanan karena terlihat seperti berkendara ugal-ugalan.

“Bukan ugal-ugalan sebenarnya, kita itu menghindari jalan yang berlubang. Saya rasa, semua sopir juga begitu. Jalanan rusak itu sebenarnya yang paling kita hindari, ini bukan perkara resiko dijalanan,” tuturnya berapologi.

Ia menyebut dibandingkan jalanan di Pulau Jawa, ruas Jalan Lintas Sumatra membutuhkan konsentrasi tinggi saat dilintasi karena jalan berlubang hampir merata di sepanjang jalan,”saya pernah waktu lewat di jalinsum di daerah Lampung Tengah malam hari, lagi lumayan ngebut, tiba-tiba di depan ada lubang dalamnya hampir setengah meter, bikin nggak nyaman kalau sudah seperti itu, apalagi kalau bus sudah rusak ditengah jalan”.

Sanjaya bukan hendak membandingkan kualitas jalan lintas yang disebutnya ala kadarnya dengan ruas Jalan Tol Trans Sumatera, namun ia merasakan betul perbedaannya.”Sopir bus itu, bukan cuma nyawa dia sendiri yang ditanggung, tapi juga keselamatan penumpang yang ada di dalam bus juga jadi tanggung jawab untuk diantarkan sampai tujuan dengan selamat. Jadi, soal biaya itu nomor dua lah, jalanan mulus itu yang kita cari, Lae,” jelas Sanjaya.

Sekarang, saat jalan tol ada, ia bahkan memilih beristirahat sejak berangkat dari Terminal Giwangan, Yogyakarta,”lepas dari Pelabuhan Bakauheni sampai Medan, awak inilah yang pegang setir. Nikmat kali jalannya, Lae” ujarnya.

Jadi Akses Paling Cepat

Bagi Indriani, mahasiswi salah satu jurusan di Institut Teknologi Sumatra (Itera), Jalan Tol Trans Sumatera adalah jawaban kebutuhan mobilitasnya untuk pulang kampung. Pintu tol Kotabaru yang berada satu jalur dengan kampusnya membuat ia bisa kapan saja pulang ke Bekasi, tanpa harus repot menuju ke Terminal Rajabasa terlebih dahulu.

“Sekarang, pulang kuliah, kalau mau pulang kampung, tinggal nyeberang jalan aja, busnya lewat persis di depan kampus,” ujarnya santai.

Pintu Tol Kotabaru yang menjadi akses utama mobilitas bus antar kota antar provinsi (AKAP) baik dari Pulau Jawa maupun sebaliknya memberi kemudahan buat mahasiswi seperti Indriani yang tak mau repot, apalagi ia yang masih terbilang awam dengan wilayah Lampung yang terlanjur terstigma dengan kesan buruk terlebih tentang citra Terminal Rajabasa yang sempat menjadi momok bagi siapapun.

Dulu, tiap kali libur kuliah, ia selalu didera rasa ketakutan ketika berada di Terminal Rajabasa,”pernah sekali mau pulang, nunggu di Terminal Rajabasa, karena celingak celinguk, calo langsung pada nyamperin, sampe nangis dibuatnya, untung langsung lari ke pos polisi. Dari situ kapok. Mending nunggu dijemput kakak daripada harus ke terminal atau malah nggak pulang sekalian,” akunya.

Sejak JTTS dioperasikan, Indri sempat mencari informasi kemungkinan bus umum memanfaatkan jalan tol ini sebagai jalur utamanya,”eh ternyata beneran, pintu tolnya dekat banget  dari kampus lagi. Berasa pengin pulang ke Bekasi tiap minggu kalau begini. Seperti bis kampus aja, berangkat dan pulang dari Bekasi darii halte kampus, Bestie banget deh”.

Jarak tempuhnya juga relatif cepat, jarak dari Pintu Tol Kotabaru menuju Pelabuhan Bakauheni hanya butuh waktu kurang dari 90 menit,”enaknya lewat jalan tol itu, bus nggak bakalan ngetem apalagi nurunin penumpang ditengah jalan tol, tau-tau sampe di (Pelabuhan) Bakauheni,” tuturnya.

Sekali waktu, saat JTTS masih uji coba gratis, orang tuanya pernah punya pengalaman lucu,”ayah sama ibu niatnya cuma mau pesta di Tangerang aja, eh..tau-tau sudah nongol di depan pintu kamar kost, epic gak sih,” kenangnya.

Manfaat JTTS

Dikutip dari antaranews.com, pakar transportasi publik, Universitas Andalas Padang, Yossyafara, menilai dampak pembangunan jalan tol trans Sumatera memiliki nilai strategis untuk berbagai jenis pergerakan barang dan penumpang jika dibandingkan dengan jalan nasional maupun provinsi.

Ia melihat faktor benefit sekaligus efisiensi dari kehadiran JTTS secara keseluruhan apalagi jika dilihat dari sisi kebutuhan suplai logistik antar daerah yang membutuhkan akses jalan dan waktu yang cepat, tak hanya antar daerah tapi juga untuk daerah yang ada di Pulau Sumatera maupun untuk Pulau Jawa secara keseluruhan.

JTTS dan Pembangunan Ekonomi Lokal

Dibangunnya JTTS memang mampu menggerakkan perekonomian di tingkat lokal, akses transportasi yang kian mudah, memicu perkembangan ekonomi yang cukup signifikan bahkan hingga ke wilayah perdesaan karena secara otomatis pembangunan terjadi merata bahkan hingga di daerah terpencil sekalipun.

Diakui memang, pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra sangat efektif untuk membuka konektifitas wilayah termasuk di Lampung yang selama ini dikenal dengan beragam pariwisatanya yang indah telah membuka mata banyak wisatawan untuk datang berkunjung ke Lampung dengan semakin mudah dan cepatnya akses menuju Lampung dari berbagai wilayah melalui jalan tol termasuk dari ibukota Jakarta.

Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi meyakini Jalan Tol Trans Sumatera akan menjadi kekuatan ekonomi baru bagi masyarakat Lampung. Daya dukung jalan tol ini sangat efektif untuk membuka banyak peluang diberbagai sektor perekonomian termasuk lapangan kerja.

Karenanya, ritme pembangunan di Provinsi Lampung akan diselaraskan seiring dengan mulai beroperasinya Jalan Tol Trans Sumatra, dengan mengedepankan potensi yang ada di Provinsi Lampung, mulai dari sektor pariwisata, perkebunan hingga pertanian.

Dalam peresmian Jalan Tol Trans Sumatra Paket I: Bakauheni – Sidomulyo pada tanggal 21 Januari 2018 lalu, lewat JTTS ini, Presiden Joko Widodo ingin memastikan pemerataan pembangunan sekaligus pengembangan kawasan baru berbasis hilirisasi komoditas sektor pertanian yang menjadi salah satu sektor unggulan di Provinsi Lampung.

Selain itu, Presiden Jokowi juga menyebut JTTS menjadi tulang punggung ekonomi baru bagi Lampung, selain sebagai pusat distribusi sistem logistik nasional.

JTTS yang juga terkoneksi secara langsung dengan Pelabuhan Bakauheni maupun Bandara Raden Inten II ini sangat efektif untuk kemajuan pariwisata daerah.

Seperti diketahui, konektifitas antar wilayah sangat terkait erat dengan pembangunan infrastruktur dalam hal ini jalan tol. Karena, kecenderungan perekonomian yang berciri transaksi jual beli membutuhkan kemudahan konektifitas agar mobilitas transaksi berlangsung secara dinamis.

Foto: Rest Area 215 Jalan Tol Trans Sumatera yang didalamnya terdapat sentra oleh-oleh khas Lampung. Foto: Hutama Karya

JTTS Buka Akses Pengembangan UMKM

Selain membuka konektifitas antarwilayah, Jalan Tol Trans Sumatra ternyata cukup efektif membuka peluang bagi usaha mikro, kecil dan menengah, melalui upaya khusus dari PT. Hutama Karya selaku pengelola JTTS yang melibatkan partisipasi pelaku UMKM dalam pengelolaan rest area yang ada di ruas tol Terbanggi Besar – Pematangpanggang.

Melalui kolaborasi bersama dengan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Lampung, Hutama Karya menjadikan rest area yang ada di KM 215 sebagai sentra oleh-oleh khas Lampung yang menjual berbagai souvenir maupun penganan khas Lampung.

Di rest area ini, pengguna jalan tol tak hanya bisa menikmati khasnya seruit Lampung yang pedas dan menggugah selera hingga berbagai kerajinan khas yang terbuat dari anyaman bambu. Ini menjadi upaya kontribusi PT. Hutama Karya dalam memajukan sekaligus mempromosikan UMKM di tingkat lokal kepada pengguna jalan tol.

Seperti yang disampaikan oleh Direktur Operasi III PT. Hutama Karya, Koentjoro yang menyebut keberadaan sentra oleh-oleh khas Lampung ini sebagai upaya keberpihakan PT. Hutama Karya dalam pengembangan UMKM sekaligus mengenalkan dan melestarikan kebudayaan asli masyarakat Lampung melalui penganan maupun kerajinannya.

Sejauh ini, dari total 21 rest area yang dikelola PT. Hutama Karya, 30 persen lahan rest area disediakan khusus untuk membantu UMKM lokal dengan menerapkan sistem sewa yang lebih murah untuk membantu peningkatan perekonomian masyarakat sekitar.

Pada rest area KM 215 misalnya, sebanyak 58 UMKM lokal antusias mengisi lokasi rest area sebagai cara paling efektif mengenalkan produk sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka melalui terobosan yang dilakukan oleh PT. Hutama Karya ini.

Pada gilirannya, jalan tol trans Sumatra yang menjadi tol terpanjang di Indonesia ini akan selalu menjadi pengiring kemajuan masyarakat Lampung melalui berbagai pembangunan maupun inovasi yang terus dilakukan PT. Hutama Karya dalam mengelola Jalan Tol Trans Sumatera. (Meza Swastika)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *