Bandar Lampung (SL)-Pertamina Wilayah Provinsi Lampung menyalurkan 2500 kilo liter (KL) Solar Subsidi kepada 196 SPBU se Provinsi Lampung, termasuk 4 diantaranya SPBU Nelayan. Namun ironisnya, masyarakat kerap kesulitan mendapatkan solar di SPBU. Selain akibat ulah sekelompok oknum pemain cor solar, kelangkaan dipicu armada industri milik perusahaan-perusahaan besar kini ikut ngantri solar di SPBU-SPBU.
“Kita distribusikan 2300 sampai 2500 Kilo Liter BBM jenis Solar subsidi untuk wilayah Lampung. Pada bulan Januari-Maret tahun 2022 sebanyak 1800 – 1900 KL perhari. Ini disalurkan dari lntegreted Terminal di Panjang,” kata Sales Area Manager Ritel Lampung Bengkulu PT. Pertamina Patra Niaga, Bagus Handoko kepada sinarlampung.co di kantor PT. Pertamina Patra Niaga Jalan K.H. Ahmad Dahlan Pahoman Bandar Lampung, Rabu, 14 Desember 2022.
Terkait kuota BBM, menurut Bagus itu ditetapkan oleh BPH Migas per SPBU berdasarkan SK Triwulan lV juga mekanisme pemakaian pasar. Acuan mengenai boleh atau tidak truk-truk industri mengisi solar di SPBU. “Acuan kita sekarang Perpres Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang konsumen berhak dan tidak berhak memperoleh BBM bersubsidi,” katanya.
Terkait truk industri yang mengisi di SPBU, Bagus menyebutkan hal itu tergantung industrinya. Saat ini yang dilarang adalah truk perkebunan sekala besar dan pertambangan juga sekala besar. “Untuk truk industri manufaktur, angkatan expedisi dan logistic boleh”, katanya.
Bagus merinci tentang pengawasan truk-truk industri mengisi solar di SPBU. Pengawasan yang dilakukan diantaranya dengan digitalisasi untuk memonitor transaksi di SPBU serta mewajibkan SPBU untuk pompa solar ada cctvnya. “Jika ada masalah, kita putar ulang cctvnya. Yang paling pas pengawasannya Program Subsidi Tepat karena konsumenya harus terdaftar,” katanya.
Menurut Bagus beberapa penyebab mengenai kelangkaan solar bersubsidi adalah karena adanya oknum serta kondisi Lampung dilalui jalur lintas. “Saat ini harga batubara sedang naik, pertambangan batubara aktifitasnya naik drastis. Tak hanya itu, solar bersubsidi langka karena musuh kita semakin banyak terutama oknum pertambangan skala besar dengan perbedaan harga yang cukup besar Rp. 6ribu perliter merupakan peluang besar bagi oknum,” katanya.
Berdasarkan analisa Pertamina, kata Bagus, adanya peningkatan penyaluran solar bersubsidi ternyata antrian hanya berkurang sedikit. “Ini disebabkan beberapa faktor diantaranya oknum serta psikologi driver terutama dijalur lintas yang mengisi solar bersubsidi. Contohnya, driver yang biasa mengisi solar bersubsidi bukan di daerah Lampung dengan antrian 10,” katanya.
“Sedangkan d jalur lintas antrian lebih longgar hanya antrian 6 setelah ada penambahan, maka driver tersebut memilih mengisi solar bersubsidi di daerah Lampung.”Jadi, mau kita tambah sebanyak apapun juga karena jalur lintas dengan konsekwensi tetap ada antrian,” tambahnya.
Bagus menjelaskna Pertamina sa’at ini mendapatkan tugas sebagai penyalur solar bersubsidi. Dalam solar subsidi ini ada kandungam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). “Kami melakukan banyak upaya. Upanya yang kami lakukan yaitu pertama menyalurkan solar bersubsidi sesuai kuota. Bila tidak sesuai dengan kuota, misalnya over dari kuota maka pihak BPH Migas atau Pemerintah tidak akan mengganti selisih tersebut,” katanya.
Contohnya, 100 disalurkan ke Lampung jika penyaluran lebih dari 100, katakanlah 150 maka selisih 50 nilai bersubsidi tidak akan diganti oleh pemerintah. “Kuota dari pemerintah pusat itu di plot perprovinsi. Plot perprovinsi ini posisinya ditetapkan oleh BPH Migas,” jelasnya.
Dia melanjutkan, Provinsi Lampung merupakan provinsi transit atau jalur lintas. Ada empat jalur lintas meliputi Jalur Lintas Timur, Jalur LintasTengah, Jalur Lintas Barat, dan Jalur Lintas Tol. Pertamina tidak bisa memastikan bahwa volume kuota solar bersubsidi yang diberikan kepada masyarakat Lampung bakal diterima 100 persen.
“Tak hanya itu, kenyataan situasi geografis Lampung dan kita tidak bisa menyalahkan situasi geografis karena kita juga mengambil keuntungan dengan situasi ini. Kita dapat keuntungan ekonomi. Karena jalur lintas maka konsekwensinya BBM yang dipakai rata-rata kendaran lintas bukan untuk masyarakat Lampung padahal di plot kuota sekian KL buat provinsi Lampung,” katanya.
Tapi kenyataannya karena jalur lintas maka yang menikmati masyarakat Lampung hanya sekian persen. “Kita tidak bisa memastikan berapa persen yang dibutuhkan masyarakat Lampung dan berapa persen yang dipakai masyarakat non Lampung,” paparnya.
Belum Semua SPBU Terintegrasi Pertamina
Dalam upaya mengamankan penyaluran solar bersubsidi, maka Pertamina melakukan beberapa langkah diantaranya, Pertamina gencar menyelesaikan wajib integrasi seluruh SPBU yang menyalurkan solar dan pertalite. “Kita ada perangkat digital kerjasama dengan Telkom yang di set di SPBU. Jadi kita bisa memonitor kalau 100 persen sudah terintegrasi SPBU menyalurkan perhari berapa KL bila lebih dari 200 liter maka ada notifikasi ke kita untuk melakukan upnya antisipasi dalam bentuk investigasi lebih lanjut,” jelasnya.
Namun, proses integrasi tersebut masih belum 100 persen karena ada beberapa SPBU rata-rata sudah investasi 10 – 15 tahun yang lalu. “Dan perangkatnya yang ingin kita integrasikan tidak bisa langsung bisa terkoneksi, ini butuh proses sehingga kami sedang berusaha untuk mengoprasikan perangkat tersebut,” katanya.
Artinya, lanjut Bagus, bila sudah 100 persen terintegrasi maka potensi penyelewengan bisa di minimalisir. Bahkan kita bisa memonitor jika sudah full connected penyaluran bisa dideteksi ada aktifitas yang tidak matching antara stok di tangki dengan BBM yang keluar dari nozel, arahnya Nanti kesana, kata dia.
Saat ini, pertamina sedang melakukan uji coba program Subsidi Tepat Pertamian. “Kita juga lagi on going atau uji coba Program Subsidi Tepat Pertamina. Jumlah SPBU se-provinsi Lampung ada 196 termasuk 4 SPBUN (Nelayan). SPBUN memang dikhususkan untuk nelayan dan satu SPBUN ada Bandar Lampung,” kata Bagus tanpa merinci tiga SPBUN lainnya. (Heny/Red)
Tinggalkan Balasan