Mantan Legistalor DPRD Kota Metro Diamankan Soal Penggelapan Pajak, Ini Kewenangan DJP

Metro (SL)-Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Metro Alizar Zinggo dikabarkan diamankan Tim Dirjen Pajak dan diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Kota Metro, Rabu 10 Januari 2023.

Mantan Anggota Komisi II DPRD Kota Metro periode 2014-2019 itu kini menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri, Kota Metro terkait dugaan penggelapan pajak perusahaan material,

Pria kader Partai Nasdem yang akrab disapa Zinggo itu diserahkan Tim Dirjen Pajak dengan dikawal ketat kepolisian, dan langsug menjalani pemeriksaan diruang penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Metro sekitar pukul 11.00 WIB.

Zinggo datang menggunakan baju kemeja kotak-kotak warna merah dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan Direktorat Pajak.

Mengenal Penyidikan Tindak Pidana Bidang Perpajakan

Bagi Wajib Pajak yang tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku badan yang memiliki kewenangan dibidang perpajakan secara konsisten akan melakukan tindakan penyidikan di bidang perpajakan kepada Wajib Pajak.

Penyidikan Pajak

Secara sederhana, penyidikan merupakan suatu proses keberlanjutan dari proses pemeriksaan yang mengindikasi adanya bukti permulaan. Bukti permulaan itu sendiri merupakan suatu keadaan, benda, ataupun bukti yang dapat memberikan petunjuk atas adanya suatu tindak pidana perpajakan.

Dengan adanya pengumpulan dari bukti dan petunjuk-petunjuk lainnya dapat membuat suatu tindak pidana di bidang perpajakan menjadi lebih jelas atau ditemukan titik terangnya sehingga dapat membantu petugas yang berwenang dalam penyidikan untuk menemukan tersangka dari kasus tindak pidana perpajakan.

Apabila bercermin pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), khususnya pada Pasal 1 angka 31 menjelaskan bahwa penyidikan pajak atau lebih tepatnya disebut dengan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan merupakan suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh penyidik untuk dapat mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang kuat.

Kegiatan penyidikan atas tindak pidana dibidang perpajakan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang (UU) Hukum Acara Pidana.

Tujuan dari Penyidikan Pajak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan penegakan hukum dibidang perpajakan dengan menjadikan proses penegakan hukum ini sebagai upaya terakhir.

Hal ini disebabkan karena Undang-Undang pada dasarnya memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak yang melakukan kesalahan dibidang perpajakan, baik sengaja maupun tidak sengaja untuk dapat memperbaiki, membetulkan, dan mengungkapkan ketidakbenarannya tersebut terkait pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT).

Maka, apabila Wajib Pajak tidak menggunakan kesempatannya dalam melakukan perbaikan SPT ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan proses penegakan hukum, berupa pemeriksaan atau penyidikan.

Penegakan hukum dibidang perpajakan ini harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan tujuan agar aktivitas penerimaan pajak dapat berjalan dengan baik dan lancar, dan memulihkan kerugian atas pendapatan negara.

Kemudian memberikan efek jera kepada pelaku penyelewengan pajak dan efek gentar kepada calon pelaku penyelewenang pajak, dan ikut emberikan keadilan dan kepastian hukum dengan menjunjung tinggi nilai integritas.

Kewenangan Proses Penyidikan Pajak

Dengan mengacu pada Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang KUP, terdapat 11 wewenang penyidik dalam menjalankan tugasnya:

  1. Berwenang dalam mencari, menerima, mengumpulkan, serta meneliti hal-hal yang berkaitan dengan keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
  2. Penyidik berwenang dalam melakukan penelitian, pencarian, dan pengumpulan keterangan terkait orang pribadi atau badan yang mendukung kebenaran dalam perbuatan yang dilakukannya terkait tindak pidana perpajakan.
  3. Melakukan permintaan yang berkaitan dengan keterangan dan bahan bukti yang berasal dari orang pribadi atau badan terkait dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
  4. Berwenang untuk melakukan pemeriksaan terkait buku, catatan, serta dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
  5. Berwenang dalam kegiatan penggeledahan dalam tujuan untuk mendapatkan bahan bukti pencatatan, pembukuan, serta dokumen lainnya, dan berwenang melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
  6. Berwenang untuk melakukan koordinasi atau meminta bantuan kepada tenaga ahli dalam melaksanakan tugas penyidikan.
  7. Berwenang meminta seseorang untuk berhenti atau meninggalkan ruangan atau tempat yang bersangkutan saat berlangsungnya proses pemeriksaan dan berwenang memeriksa identitas dari orang, benda, atau dokumen yang dibawanya.
  8. Berwenang untuk melakukan pemotretan terhadap seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
  9. Berwenang untuk melakukan pemanggilan orang sebagai tersangka atau saksi untuk dimintakan keterangannya.
  10. Berwenang untuk menghentikan proses penyidikan.
  11. Berwenang untuk melakukan tindakan lainnya demi kelancaran penyidikan.

Selain itu, petugas penyidik juga diwajibkan untuk memberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atas dimulainya proses penyidikan dan menyampaikan hasil dari penyidikannya sesuai dengan aturan yang berlaku dalam UU Hukum Acara Pidana.

Penyidik juga berwenang melakukan kolaborasi dengan Polri, Kejaksaan, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan tujuan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum yang menjunjung tinggi nilai integritas.

Tak hanya itu, dukungan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan lembaga perbankan juga diperlukan agar penegakan dari hukum pidana ini berjalan efektif.

Proses Penghentian Penyidikan

Dengan mengacu pada UU KUP Pasal 44A, menyatakan bahwa penyidikan dapat dihentikan prosesnya apabila tidak ditemukan cukup bukti atau peristiwa yang menjamin hal tersebut termasuk kedalam tindak pidana dibidang perpajakan.

Selain itu, apabila peristiwa tersebut sudah kadaluwarsa atau tersangkanya dinyatakan meninggal dunia, maka proses penyidikan dapat diberhentikan.

Berdasarkan dengan Pasal 44B ayat (1) UU KUP, menyatakan bahwa Jaksa Agung dapat mengehentikan proses penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan atas permintaan Menteri Keuangan paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal surat permintaan atas penghentian penyidikan.

Dan berdasarkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016, Pasal 6, 7, dan 8 menyatakan bahwa Menteri Keuangan dapat menyusun surat permintaan penghentian penyidikan apabila Menteri Keuangan menyetujui permohonan penghentian atas proses penyidikan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Namun, untuk penghentian proses penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan tidak dapat dilakukan oleh Jaksa Agung apabila perkara pidana tersebut telah dilimpahkan kepada pengadilan.

Dan penghentian atas tindak pidana hanya dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Selain itu, penghentian proses penyidikan juga dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah membayar sanksi administrasi berupa denda 4 kali lipat dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayarkan, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Untuk ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai penghentian penyidikan atas tindak pidana dibidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016

(Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *