Jakarta (SL) -Anggota Komisi III DPR Habiburokhman memuji kinerja Polda Metro yang menangani kasus dugaan polisi memeras polisi terkait sengketa tanah yang diungkapkan anggota Provos Polsek Jatinegara, Bripka Madih. Selain itu tidak tepat jika disebut kasus ‘polisi peras polisi’.
“Kami berharap publik menahan diri untuk tidak secara prematur melabelisasi kasus sengketa lahan Bripka Madih dengan sebutan kasus ‘polisi peras polisi’. Tuduhan tersebut belum menjadi fakta hukum karena baru disampaikan sepihak oleh Bripka Madih tanpa adanya bukti-bukti dan saksi pendukung lain yang memadai,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulis, Senin 6 Februari 2023.
Habiburokhman tak ingin nama baik Polri tercoreng kasus sengketa tanah ini. Selain itu, dia memuji sikap Polda Metro Jaya yang tidak langsung memihak Bripka Madih dalam kasus ini.
“Di sisi lain, kami justru mengapresiasi sikap profesional aparat Polda Metro Jaya dalam perkara sengketa tanah orang tua Bripka Madih. Meskipun Bripka Madih selaku pelapor adalah juga anggota Polri, hal tersebut tidak membuat penyidik sekonyong-konyong berpihak kepada Bripka Madih hanya dengan dalih membela rekan sejawat,” kata dia.
Habiburokhman menegaskan Polri adalah milik semua masyarakat dan karenanya harus adil dalam melindungi dan mengayomi seluruh anggota masyarakat, termasuk di kasus sengketa dengan Bripka Madih.
Waketum Gerindra ini meminta publik memberikan kesempatan kepada Polda Metro Jaya untuk bekerja. “Kita beri kesempatan kepada Polda Metro Jaya untuk mengusut dugaan pemerasan terhadap Bripka Madih dan dugaan terjadinya tindak pidana dalam sengketa lahan Bripka Madih,” ujar dia.
Awal mula kasus dugaan ‘polisi peras polisi’ viral di media sosial melalui postingan Bripka Madih yang mengaku diperas sesama polisi saat mengurus soal sengketa lahan milik orang tuanya di Bekasi ke Polda Metro Jaya pada 2011.
Lahan tersebut, menurut dia, kini dikuasai oleh sebuah perusahaan, padahal lahan itu pemukiman warga.
Menurut Madih, tanah milik orang tuanya itu dibeli dengan cara melawan hukum. Ia juga mengklaim ada beberapa akta jual beli (AJB) yang tidak sah karena tidak disertai cap jempol. Dugaan pemerasan itu terjadi pada 2011.
“2011 itu setelah pemeriksaan berkas-berkas, kita sangkal di situ ada surat pernyataan bahwa tempat yang ditempatin itu dibeli dari calo-calo. Terus ada akta-akta yang nggak (dicap) dijempol. Ini kan murni kekerasan, penyerobotan, kok bisa timbul akta?” kata Madih. (Red)
Tinggalkan Balasan