Lampung Utara, sinarlampung.co-Ribuan anak di Kabupaten Lampung Utara tidak mengenyam pendidikan sekolah. Tahun 2022 Dinas Pendidikan Lampung Utara mencatat ada 2.625 anak tidak sekolah. Mereka tersebar di 124 Desa, 23 Kecamatan yang di ada di Lampung Utara. Sedangkan di tahun 2023, jumlah anak tidak sekolah meningkat mencapai 5.599 anak tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan dari SD ke SMP dan dari SMP hingga SMA.
Kepala Disdik Lampura Sukatno mengatakan, faktor anak tidak sekolah ini dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, dan keluarga. “Penyebab utamanya itu faktor ekonomi, kemudian permasalahan status sosial dan kurangnya kesadaran dari orang tua, serta anak yang berkebutuhan khusus,” kata Sukatno, kepada wartawan, Jum’at 12 Januari 2024.
Sukatno menjelaskan, jumlah anak yang tidak sekolah pada jenjangnya masing masing, yaitu kelompok usia 5-6 tahun (PAUD), usia 7-12 tahun (SD), usia 13-15 tahun (SMP), usia 16-18 tahun (SMA/SMK). Untuk tahun 2022 usia 7-12 tahun terbanyak berada di Desa Candimas, Kecamatan Abung Selatan, Desa Lubuk Rukam Kecamatan Hulu Sungkai dengan masing masing 50 anak tidak sekolah.
Sedangkan usia 13-15 tahun di Desa Semuli Raya, Kecamatan Abung Semuli sebanyak 127 anak, dan usia 16-18 terdapat di Desa Negara Ratu, Kecamatan Sungkai Utara dengan 131 anak.
Kabid Pembinaan PAUD dan PNF Disdik Lampura Yeni Sulistina menambahkan, akhir tahun 2023 pihaknya telah mendapatkan rekomendasi rancangan kegiatan statistik dengan judul Survei Anak Tidak Bersekolah menurut Jenjang Usia Sekolah, yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampura.
Yeni mengharapkan dukungan dan kerjasama semua pihak terkait, untuk membantu upaya penanganan anak tidak sekolah. “Dengan dikeluarkannya rekomendasi tersebut, sesuai arahan Kadis dan hasil rapat dengan FPKBM kemarin, kami akan mulai melakukan komunikasi lanjutan dengan Camat, Kepala Desa, K3S SD, MKKS SMP untuk mengumpulkan data tersebut. Agar kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Lampura dapat meningkat,” kata Yeni.
Disdik Lampung Berbeda Data
Sebelumnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdik) Lampung melalui Data Pokok Pendidikan (Dapodik) mencatat terdapat 15.965 pelajar di Lampung yang putus sekolah sekolah sepanjang Januari hingga Juni 2023. Angka itu melingkupi semua jenjang pendidikan formal mulai dari SD, SMP, hingga SMA/SMK se Lampung. Jenjang SMA/SMK menjadi penyumbang terbesar angka putus studi, yaitu 6.334 orang. Kemudian SD 5.682 orang dan SMP 3.679 orang.
Data Disdik Lampung, Lampung Tengah menjadi daerah paling banyak pelajar putus sekolah yang mencapai 2.172 siswa. Lalu Lampung Selatan 1.974 orang, Bandar Lampung 1.601 orang, Lampung Timur 1.544 orang, dan Lampung Utara 1.198 orang.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Sekdisbud) Lampung, Tommy Efra Hendarta, mengatakan faktor terbesar penyebab putus sekolah karena memilih untuk bekerja membantu perekonomian keluarga. “Ada banyak penyebab terjadinya putus sekolah ini, tapi sebagian besar karena keterbatasan ekonomi. Mereka membantu pekerjaan orang tua atau orang tua mengajak merantau,” kata Tommy, dilangsir wartawan, Jumat, 9 Juni 2023.
Kemudian faktor lainnya karena masih banyak pelajar yang memutuskan untuk menikah muda dan melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren. “Tapi ini tidak dominan,” ujar dia.
Menurutnya, pendidikan harus bisa terasa di semua warga negara. Untuk itu, dia sangat menyayangkan jika banyak pelajar yang justru lebih memilih bekerja dari mengenyam pendidikan. Padahal, pemerintah sampai saat ini menganggarkan 20 persen dananya demi tercapainya wajib belajar sembilan tahun. “Seharusnya dengan mereka ikut di dalam pendidikan itu semakin besar peluang untuk mengejar cita-cita yang tinggi,” ujarnya.
Peran Dinas Pendidikan?
Pengamat pendidikan Universitas Lampung, M Thoha B Sampurna Jaya, menilai dinas pendidikan bersama pihak-pihak terkait perlu melakukan gerakan bersama untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai pentingnya pendidikan. “Perlu ada semacam gerakan dari pemerintah maupun organisasi masyarakat untuk terus mensosialisasikan dan konsolidasi dalam memberikan penyadaran mengenai pentingnya pendidikan,” kata dia.
Upaya penyadaran, terutama bagi para orang tua sangat penting. Hal itu untuk memberikan motivasi dan kepercayaan diri pada anak untuk melanjutkan pendidikan. “Pendidikan itu salah satu faktor yang dominan dalam mengubah ekonomi keluarga. Jadi kalau mereka putus sekolah maka akan sulit bagi dia untuk memperbaiki ekonominya dikemudian hari,” ungkapnya.
Thoha menilai, adanya program wajib belajar sembilan tahun dan alokasi dana yang besar untuk pendidikan, seharusnya bisa membuka jalan bagi masyarakat untuk merasakan pendidikan yang layak.
Namun, memang selain faktor ekonomi ada juga faktor lain yang menjadi penyebab tingginya angka putus sekolah seperti pernikahan dini, terlibat kasus kriminal atau hubungan di luar nikah. Faktor-faktor itu harus selesai melalui gerakan bersama.
“Kalau ingin bersaing di era global ini kan paling tidak wajib belajar 12 tahun itu tercapai. Tapi ini nyatanya wajib belajar 9 tahun saja masih banyak juga yang putus. Sehingga perlu adanya gerakan bersama untuk menanggulangi masalah ini,” katanya. (Red)
Tinggalkan Balasan