Fitri Setiani Dwiarti: Antisipasi Bullying Bekali Anak Dengan Empati

Bandar Lampung, sinarlampung.co-Pelaku bullying diancaman dengan hukuman hingga tujuh tahun penjara. Pasal 80 undang-undang peradilan pidana anak dengan ancaman hukuman 3,5 tahun dan pasal 170 KUHP dengan ancaman 7 tahun penjara. Karena itu anak perlu dibekali dengan empati sehingga bisa menahan diri untuk tidak melakukan Bullying kepada temannya.

“Ancaman hukuman bagi pelaku bullying pasal 80 undang-undang peradilan pidana anak dengan ancaman hukuman 3,5 tahun dan pasal 170 KUHP dengan ancaman 7 tahun penjara. Data Kemenristek menyebutkan 36,31 persen peserta didik atau 1/3 peserta didik dari berbagai jenjang sekolah berpotensi mengalami perundungan,” kata Komisioner Bidang Advokasi dan Reformasi Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) DR (Can) Fitri Setiani Dwiarti, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Publik Kantor Berita RMOLLampung dengan tema “Peran Media dan Stakeholder Mencegah Perilaku Bullying di Sekolah” yang digelar di Hotel Horison, Selasa 26 Maret 2024.

Menurut Fitri, situasi nasional pada anak remaja saat ini, Bullying atau perundungan di sekolah terjadi 43,1 persen, hukuman fisik di rumah 22,4 persen dan hukuman fisik di lingkungan 34,5 persen. “Ada upaya untuk mereduksi meningkatnya perilaku bullying, salah satunya dengan adanya pendampingan dari orang tua, guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah,” kata Fitri

Fitri menyampaikan beberapa tanda seseorang menjadi korban bullying. Di antaranya mengalami luka memar, goresan hingga berdarah. Kemudian, seragam kotor, koyak dan sobek. Sering kehilangan barang, enggan pergi ke sekolah dan merasa malu sehingga menarik diri dari pergaulan. “Dia juga sering gelisah dan prestasi akademiknya menurun. Sebisa mungkin perilaku bullying harus dicegah. Misalnya dengan mencintai dan meningkatkan nilai diri,” kata Fitri.

Selain itu, korban bullying juga perlu bantuan baik dari sesama teman maupun guru dan pihak sekolah untuk bisa bertahan. Termasuk saat melakukan pelaku bullying. Selain itu, dibutuhkan pembenahan kesenjangan antara regulasi dengan penerapannya di lapangan yang menjadi kunci untuk menekan kasus kekerasan terhadap anak yang masih marak terjadi di Indonesia.

“Perlu pembenahan sehingga regulasi yang sudah komprehensif serta penerapan penanganan di lapangan dapat terintegrasi. Karena sejumlah regulasi yang berkaitan dengan perlindungan anak sebetulnya sudah cukup komprehensif. Regulasi tersebut bisa untuk menciptakan ekosistem yang kondusif sehingga menekan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak,” katan Dosen Universitas Tulang Bawang ini.

Fitri menambahkan setidaknya dalam lima tahun terakhir, pemerintah menerbitkan sejumlah aturan, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak. “Namun, KPAI melihat ada gap, mulai upaya dalam regulasi dan aksesibilitas-nya ini. Seperti lebih menguatkan sentra-sentra rehabilitasi. Mau tidak mau, negara harus hadir,” kata dia.

Data KPAI menunjukkan bahwa pengaduan kasus perlindungan anak sepanjang Januari hingga September 2023 mencapai 1.800 kasus, terkait pemenuhan hak anak (PHA) dan perlindungan khusus anak (PKA). Sementara sepanjang 2022, pihaknya mencatat sebanyak 2.133 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kategori tertinggi berkaitan dengan kejahatan seksual, termasuk kekerasan fisik, juga psikologis, kasus pornografi, dan kejahatan siber.

“Bentuknya eskalatif, artinya tingkatannya dari yang ringan, sedang, hingga pada situasi yang kita tidak pernah terpikir. Angka tertinggi kekerasan seksual. Lalu fisik juga luar biasa tingginya. Era digital juga menjai pemicu kenaikan prilaku bulying,” katanya.

Dinas Pendidikan

Sementara Koordinator Pengawas Disdikbud Lampung Harminto menyampaikan bahwa untuk mencegah bullying, terdapat beberapa regulasi yang membuat aturan, salah satunya UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Pada pasal 54 ayat (1) berbunyi anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Pada ayat (2) berbunyi perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah dan/atau masyarakat.

Selanjutnya, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No.46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di satuan pendidikan (Perubahan dari Permendikbud No. 82 tahun 2015).

Harminto menjelaskan bahwa semua pihak punya andil besar untuk mencegah bullying di lingkungan sekolah. Mulai dari siswa, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, pimpinan sekolah, orang tua, masyarakat, dinas pendidikan dan kebudayaan hingga media massa. “Peran media setidaknya memberikan informasi, edukasi, dan memfasilitasi informasi dari orang-orang yang bisa mencegah bullying,” pungkasnya.. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *