Jakarta, sinarlampung.co-Badan Pemeriksa Keuangan RI kembali tercoreng.Pegawai BPK ketahuan lagi melakukan pemerasan dalam sejumlah proyek. Pegawai BPK ketahuan memeras Rp 10 miliar kepada proyek pembangunan jalan. Hal itu terungkap dalam sidang dugaan korupsi proyek pembangunan Jalan Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat, Selasa 14 Mei 2024.
Baca: Sidang SYL Juga Menguap Jual Beli Opini WTP di BPK
Direktur Operasional Waskita Beton Precast Sugiharto mengakui, pernah menyiapkan uang sebesar Rp10 miliar untuk memenuhi permintaan dari BPK RI. “Di BAP saudara ada ditanya terkait proyek fiktif. Ditanya oleh penyidik apakah ada proyek fiktif terkait pelaksanaan Tol Japek ini? Bisa dijelaskan?” kata Jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa 14 Mei 202.
Di hadapan Majelis Hakim, Sugiharto menjelaskan, permintaan BPK terjadi setelah menemukan banyak masalah dalam proyek pembangunan Jalan Tol MBZ. Untuk memenuhi permintaan itu, ia pun membuat sejumlah proyek fiktif saat menjabat sebagai Super Vice President (SPV) Infrastruktur 2 Waskita.
“Apa pekerjaan fiktifnya?” tanya Jaksa mendalami.
“Pekerjaan fiktifnya itu untuk pekerjaan, karena pekerjaan sudah 100 persen, (pekerjaan fiktifnya) hanya pemeliharaan, hanya patching-patching (menambal) saja, pak. Itu kecil saja,” terang Sugiharto.
“Berapa nilainya?” cecar Jaksa.
“Rp 10,5 miliar,” kata Sugiharto.
Jaksa pun terus menggali proyek fiktif yang dibuat Sugiharto. Termasuk, siapa pihak yang menginisiasi proyek fiktif tersebut. Sugiharto mengaku pada saat itu ia diperintah oleh atasannya Bambang Rianto yang menjabat Direktur Operasional.
“Oke. Gimana instruksinya?” tanya Jaksa.
“Tolong disediain di (proyek tol) Japek ini ada keperluan untuk BPK Rp10,5 M’, Rp 10 M-an lah, pak,” terang Sugiharto.
Di muka persidangan, Sugiharto menjelaskan bahwa dirinya dipanggil bersama sejumlah Waskita Beton Precast dipanggil untuk dijelaskan adanya permintaan BPK. Dari pertemuan itu, disepakati pembuatan proyek fiktif untuk memenuhi permintaan BPK tersebut.
“Akhirnya dibuatkanlah dokumen seolah-olah ada pekerjaan Rp 10,5 miliar itu?” timpal Jaksa.
“Iya, betul Pak,” kata Sugiharto.
Jaksa turut mendalami detail temuan-temuan BPK dalam pelaksanaan proyek jalan tol MBZ. Hanya saja, Sugiharto mengaku tidak mengetahui persis. “Saya hanya diinstruksikan sama pak BR (Bambang Rianto), Direktur Operasional saya untuk keperluan pemenuhan BPK itu,” jawab Sugiharto.
Dalam perkara ini, Jaksa menduga telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 510 miliar dalam proyek pekerjaan pembangunan Jalan Tol MBZ. Kerugian ini ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukan eks Direktur Utama (Dirut) PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC) Djoko Dwijono, Ketua Panitia Lelang PT JJC Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional PT Bukaka Teknik Utama, Sofiah Balfas dan Staf Tenaga Ahli Jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting, Tony Budianto Sihite.
“Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 510.085.261.485,41 atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut,” kata Jaksa membacakan surat dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 14 Maret 2024.
BPK Minta Uang Pelicin di Kementan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga terseret dalam skandal korupsi Syahrul Yasin Limpo (SYL). Pada sidang korupsi SYL di Kementerian Pertanian terkuak bahwa BPK meminta uang pelicin agar lolos dari temuan dan mendapatkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kasus pemerasan BPK ke Kementan ini membuka fakta baru di persidangan yang menjerat eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Dalam sidang tersebut, Hermanto yang merupakan Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan mengungkapkan ada uang pelicin ke BPK sebesar Rp12 miliar. Uang ini terkati temuan dugaan korupsi program lumbung pangan nasional atau food estate.
Oknum auditor di BPK bernama Viktor meminta uang pelicin Rp 12 Miliar agar Kementan bisa mendapat opini WTP. Mulanya, Jaksa KPK menelisik pemeriksaan BPK terhadap Kementan yang diketahui oleh Hermanto. “Saksi tahu di Kementan tiap tahun ada pemeriksaan BPK?” tanya Jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu 8 Mei 2024.
Kepada Jaksa, Hermanto mengaku mengetahui adanya pemeriksaan BPK terhadap Kementan. Jaksa pun menggali hasil pemeriksaan BPK tersebut.
“Sepengetahuan saksi ya, apakah WTP atau WDP (Wajar Dengan Pengecualian)?” tanya Jaksa.
“Sepengetahuan saya WTP ya,” jawab Hermanto.
Jaksa terus menggali proses WTP Kementan tersebut. Hermanto pun dikonfirmasi sejumlah nama auditor yang melakukan pemeriksaan.
“Sebelum kejadian WTP, saksi ada kenal Haerul Saleh? Victor? Orang-orang itu siapa?” tanya Jaksa.
“Kenal, kalau Pak Victor itu auditor yang memeriksa kita,” kata Hermanto.
“Kalau Haerul Saleh ini?” tanya Jaksa lagi.
“Ketua Akuntan Keuangan Negara (AKN) 4,” jawab Hermanto.
Lantas, Jaksa pun mengulik kronologis pemeriksaan BPK oleh Haerul dan Viktor. Dalam momen ini, Hermanto mengungkap ada persoalan pada food estate. “Ada temuan dari BPK terkait food estate,” kata dia.
“Ada temuan-temuan ya, ada banyak?” tanya Jaksa lagi.
“Iya temuan-temuan, tidak banyak tapi besar,” ungkap Hermanto.
Kepada Jaksa, Hermanto menyebut BPK hanya fokus kepada temuan di program food estate. Namun, ia tidak mengetahui detail terkait temuan tersebut. “Tapi pada akhirnya kan jadi WTP ya, itu bagaimana ada temuan-temuan tapi bisa menjadi WTP. Bisa saksi jelaskan?” cecar Jaksa.
“Misal contoh satu, temuan food estate itu kan temuan istilahnya kurang kelengkapan dokumen ya, kelengkapan administrasinya. Istilah di BPK itu BDD (Biaya Dibayar Dimuka), bayar di muka. Jadi, itu yang harus kita lengkapi, dan itu belum menjadi TGR (Tuntutan Ganti Rugi),” kata Hermanto.
“Artinya ada kesempatan untuk kita melengkapi dan menyelesaikan pekerjaan itu,” ucapnya.
“Bagaimana proses pemeriksaannya BPK itu sehingga menjadi WTP?” timpal Jaksa. “Saya enggak terlalu (tahu) persis mekanismenya,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Jaksa Komisi Antirasuah itu pun mengulik dugaan adanya permintaan uang oleh BPK. Hal ini tidak dibantah oleh Hermanto.
“Apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar itu menjadi WTP?” tanya Jaksa
“Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan,” kata Hermanto.
“Diminta Rp 12 miliar oleh pemeriksa BPK itu?” tanya Jaksa lagi.
“Iya, (diminta) Rp 12 miliar oleh Pak Victor tadi,” ucapnya.
Dalam perkara ini, Jaksa KPK menduga SYL menerima uang sebesar Rp 44,5 miliar hasil memeras anak buah dan Direktorat di Kementan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. (Red)
Tinggalkan Balasan