Bandar Lampung, sinarlampung.co-Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandar Lampung mengklaim telah meminta maaf terhadap tokoh adat Lampung terkain Maskot Monyet memakai baju adat Lampung. Namun seremoni di Ballroom Sheraton, Kota Bandar Lampung, Sabtu 25 Mei 2024 lalu, ternyata tidak melibatkan tokoh-tokoh adat yang melontarkan protes.
Langkah KPU Bandar Lampung itu justru semakin menuai kecaman masyarakat adat. Pasalnya dengan mengakui kesalahan, minta maaf, serta tanda tangan berita acara No. 960/HM.03-BA/1871/2/224, masyarakat adat menilai masalahnya belum selesai.
Bahkan KPU Balam dianggap telah memecah masyarakat adat dan menyederhanakan persoalan. “Mereka itu mestinya hadir di tengah-tengah masyarakat adat, bukan seperti itu,” kata M. Arif Sanjaya Sakti dari adat Mergo Unyi Lampung Tengah.
Ketum DPP Laskar Lampung Nerozelli Agung Putra berjuluk Panglima Nero, menyebutkan KPU Bandar Lampung seharusnya meminta maaf secara terbuka kepada ratusan tokoh dan masyarakat adat misalnya di tempat lounching- nya maskot, Tugu Gajah.
Nero, juga mempertanyakan kelanjutan laporan penghinaan KPU Balam terhadap masyarakat adat Lampung ke Polda Lampung. “Bukan segelintir orang di ruang tertutup,” ujar Panglima Nero gelar Suttanku Raja Ngarang Dunia, Sabtu 25 Mei 2024.
Raja Sekala Brak Kepaksian Belunguh Sultan Kunjungan Sakti Yang Dipertuan Sekala Brak Kepaksian Belunguh mengatakan dirinya bersama para tokoh adat lainnya menyatakan belum ada perdamaian terkait penghinaan ini. “Hukum harus ditegakkan,” katanya.
Majelis Punyimbang Adat Lampung (MPAL) Syahbirin Koenang, Raja Asal dari Narga Telukbetung juga mengaku tidak tahu menahu dengan undangan KPU Bandar Lampung tersebut.
Hal sama disampaikan Penyimbang Adat Kebandaran Marga Gedung Pakuon-Bumi Waras Setiadi gelar Pangeran Santun Ratu 7 dari Telukberung, yang ikut mendukung penyelesaian secara hukum dan adat. Setiadi mengaku khawatir masalah itu akan berkepanjangan. Apalagi mereka yang hadir di acara KPU itu masih dipertanyakan keterwakilannya.
Sekjen DPP Laskar Lampung Panji Padangratu menyatakan masyarakat adat Lampung semakin banyak yang menilai para komisioner KPU Bandar Lampung gagal paham terhadap adat daerahnya sendiri. “Mereka yang seharusnya datang ke masyarakat adat,” kata Panji Padangratu.
Sebelumnya,pada pertemuan di Hotel Sheraton, KPU kota Bandar Lampung (Balam) mengaku bersalah telah menggunakan hewan kera sebagai maskot dengan memakaikan sarung tapis dan tumpal untuk pilkada serentak 2024.
Para komisioner menyatakan hal itu kepada para tokoh adat Saibatin dan Pepadun di Ballroom Sheraton Lampung, Kota Bandar Lampung, Sabtu 25 Mei 2024. “Saya secara pribadi dan kelembagaan memohon maaf sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya atas kelalaian kami dalam menetapkan maskot Pilkada Bandarlampung,” kata Ketua KPU Kota Bandar Lampung Dedy Triyadi.
Dedi mengaku kelalaian tersebut bukan unsur kesengajaan, tetapi disebabkan ketidaktahuan, tanpa ada niat merendahkan adat istiadat masyarakat Lampung. “Maskot ini hasil sayembara dari masyarakat Bandar Lampung sebagai salah satu sarana sosialisasi Pilkada Bandar Lampung 2024 untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,” katanya.
Menyikapi polemik maskot Pilkada Bandar Lampung 2024, KPU Kota Bandar Lampung memutuskan Pilkada Bandar Lampung 2024 tidak menggunakan maskot. “Tidak sama sekali ada lagi maskot. KPU hanya akan menggunakan jingle Pilkada Bandar Lampung saja. Maskot tidak akan digunakan selama tahapan pilkada,” katanya.
Dedy Triyadi meminta bantuan dan dukungan dari Tokoh Adat Saibatin dan Pepadun se-Provinsi Lampung agar tahapan Pilkada Serentak Nasional 27 November 2024 berjalan lancar sesuai tahapan yang telah ditentukan KPU RI.
Ketua MPAL Pesawaran Farifki Zulkarnayen Arif Gelar Suntan Junjungan Makhga juga menilai, perdamaian yang dilakukan oleh KPU Bandar Lampung tidak mewakili tokoh-tokoh adat yang ada di Lampung.
Apalagi tokoh-tokoh adat yang hadir di Hotel Sheraton tersebut, bukanlah tokoh-tokoh yang menentang adanya maskot monyet berpakaian adat Lampung. “KPU berdamai tanpa Kami dan MPAL Provinsi yang ada di Lamban Kuning, yang memang mempersoalkan maskot tersebut,” kata dia.
Farifki menyebut yang hadir dalam acara itu, sebagian bukanlah tokoh adat, melainkan mengaku-ngaku sebagai punyimbang. “Persoalan ini bukan hanya menyangkut tokoh adat di Bandar Lampung, tetapi juga seluruh Lampung, yang ada di 15 kabupaten kota,” katanya.
Farifki menamahkan pihaknya sangat menyayangkan sikap KPU yang dinilai bisa memecah belah para tokoh adat di Lampung. “Para tokoh adat yang ada di Lamban Kuning ini dianggap apa? Memang sikap KPU Bandar Lampung ini sesuai dengan maskotnya, kayak Kera,” ujarnya.
Advokad senior Hadri Abunawar SH MH menilai langkah KPU dalam menyelesaikan persoalan dengan masyarakat adat Lampung itu yang justru tidak melibatkan pihak-pihak adat yang bersengketa justru keliru. “Seharusnya saudara Triyadi Ketua dan seluruh Komisioner KPU Bandar Lampung setelah adanya kegaduhan tentang Maskod Pilkada yakni binatang Kera Berkopiah Mas dengan Kain Tumpal itu berkonsultasi dengan praktisi adat Lampung untuk Penyelesaiannya,” katanya.
Karena, kata Hadry, penyelesaiannya apabila terjadi pelanggaran adat hanya dapat dilakukan dengan cara pertama, melalui Proses Hukum Adat Lampung atau sidang adat. Kedua, melalui prises Hukum-Hukum Umum, yaitu pidana atau aerdata. “Proses tabayun yang dilakukan oleh KPU dengan mengadakan Pertemuan dengan sebagian masyarakat adat Lampung di Hotel Novotel itu saya nilai kurang tepat karena belum terpenuhi syarat dan keterwakilan,” katanya.
Handry mengurai bahwa yang pertama kali mempermasalahkan hal ini adalah Laskar Lampung dan MPAL Pesawaran. “Nah apakah mereka sudah ada keterwakilan. Masyarakat Hukum Adat Lampung. Ada Saibatin dan Pepapdun. Apakah dari kedua clant ini sudah sah terwakili,” katanya.
“Contoh dari Kepaksian Pak Sekala Bekhak tidak hanya cukup diwakili oleh Buay Pernong, mana perwakilan Buay Nyerupa, Buay Bujalan Diway, Buay Belunguh dan Marga Liwa. Seharusnya Ketua dan Komisioner kalau kurang paham tentang Adat Lampung ya gak usah malulah nanya kepada yang ahlinya gak usah sok kepintaran sehingga terjadi pelanggaran demi pelanggaran akibatnya menjadi blunder,” katanya. (Red)
Tinggalkan Balasan