Lampung Selatan, sinarlampung.co – Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang mengamanatkan penyelesaian penataan tenaga non-ASN paling lambat Desember 2024 menimbulkan polemik di Kabupaten Lampung Selatan.
Ribuan tenaga non-ASN di daerah ini kini menghadapi ketidakpastian masa depan, seiring terbatasnya kuota formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diajukan pemerintah daerah.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), tercatat 5.275 tenaga non-ASN di Kabupaten Lampung Selatan. Namun, jumlah formasi PPPK yang diajukan Pemkab Lampung Selatan dalam seleksi tahap I hanya sebanyak 160 orang, terdiri dari 130 tenaga guru, 20 tenaga kesehatan, dan 10 tenaga teknis.
Kondisi ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pengamat kebijakan publik. Mereka menilai penataan tenaga non-ASN tidak dilakukan secara optimal dan terkesan minim perencanaan.
Kinerja Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Lampung Selatan menjadi sorotan, terutama dalam pengelolaan formasi PPPK. Kritik juga diarahkan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan Kepala BKD, yang dinilai kurang profesional dalam menyikapi persoalan ini.
Ketika dikonfirmasi, Kepala BKD Lampung Selatan, Tirta Saputra, tidak dapat dihubungi. Kabid Pengembangan BKD, Leo Agnus Nurdiyanto, menyatakan bahwa isu ini bukan ranah tugasnya dan mengarahkan kepada Kabid Pengadaan, Mutasi, dan Pemberhentian Pegawai, Agus Dwi Jono. Namun, Agus Dwi Jono juga tidak dapat memberikan keterangan karena tengah dirawat di rumah sakit.
Minimnya kuota formasi PPPK ini memicu kegelisahan mendalam di kalangan tenaga non-ASN. Seorang tenaga honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun mengungkapkan kekhawatirannya.
“Kami merasa tidak diakomodasi. Jumlah formasi yang hanya 160 orang itu terlalu kecil dibandingkan ribuan tenaga non-ASN yang terdaftar. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan jika tidak lolos seleksi,” katanya dengan nada kecewa.
Tenaga non-ASN lainnya menyoroti beban kerja yang tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima.
“Kami tetap bekerja karena pengabdian, meski gaji tidak layak. Kami hanya berharap pemerintah memberi solusi atas masalah ini,” ungkapnya penuh harap.
Pengamat kebijakan publik menilai Pemkab Lampung Selatan perlu segera melakukan evaluasi mendalam. Penataan tenaga non-ASN seharusnya mempertimbangkan kebutuhan riil di lapangan, bukan sekadar mengacu pada angka.
“Jika formasi yang diajukan tidak mencukupi kebutuhan, ribuan tenaga non-ASN akan terabaikan. Ini menunjukkan lemahnya perencanaan dan manajemen dari pihak terkait,” tegas seorang pengamat.
Masyarakat Lampung Selatan berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret untuk memastikan nasib tenaga non-ASN yang tidak terakomodasi. Transparansi dari BKD terkait formasi kosong dan jadwal seleksi tahap II juga dinantikan.
“Jangan hanya melihat angka, tapi lihat pengabdian kami selama ini. Kami berharap pemerintah mendengar suara kami dan memberikan solusi,” tutup seorang tenaga non-ASN.
Polemik ini menjadi ujian bagi Pemkab Lampung Selatan untuk membuktikan komitmennya dalam melindungi tenaga kerja lokal dan memperbaiki tata kelola ASN. Transparansi, perencanaan matang, dan kebijakan yang berpihak pada tenaga kerja adalah kunci dalam menyelesaikan persoalan ini. (Wisnu/*)
Tinggalkan Balasan