Kavling Laut hingga Pembatas Laut Marriot Hotel Libatkan Mafia BPN Lintas Kabupaten, Ada Kasus Pemotongan Honor Hingga Hampir Rp1 Miliar

Bandar Lampung, sinarlampung.co-Ditemukan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di lautan di Provinsi Lampung. Diduga melibatkan oknum pejabat Badan Pertanahan Negara (BPN) lintas Kabupaten di Provinsi Lampung. Terdata setidaknya ada 20 titik dari 5 kabupaten/kota di Lampung yang tercatat memiliki SHM yang terbit di area lautan.

Baca: Menteri Pastikan Sertifikat HGB Kavling Laut Ilegal di Lampung Penegak Hukum di Lampung Belum Bertindak

Baca: Hotel Marriot dan Spa Lampung Pagari Laut Dengan Jaring dan Tak Berizin, ini Kata HNSI

Data itu terdata dalam Peta BHUMI, platform resmi milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Termasuk kavling laut dengan HGB, dibeberapa lokasi, diantaranya di wilayah Teluk Bandar Lampung, dan Teluk Pesawaran.

Beberapa lokasi laut yang ditemukan ber-HGB itu yakni pada titik koordinatnya di 5.538105 derajat S, 105.358531 derajat E (Bandar Lampung). Kemudian 5.518094 derajat S, 105.249045 derajat E (Pesawaran), dan koordinat 5.458569 derajat S, 105311244 derajat E (Bandar Lampung).

Kemudian di perairan Teluk Semangka Tanggamus juga ditemukan wilayah laut berupa titik-titik berwarna orange dengan status Hak Milik pada koordinat 5.645807°S, 104.807493°E dan sekitarnya.

Padahal jika dibandingkan dengan peta dari Google Maps, titik-titik tersebut merupakan laut, bukan daratan. Belum diketahui, berapa luasan laut yang bersertifikat HGB itu dan siapa saja pemiliknya.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono telah menegaskan Surat Hak Milik (SHM) dan Hak Guna Bagunan (HGB) di atas area laut adalah ilegal. Dalam peta ATR Bhumi itu, ada beberapa warna yang membedakan tiap zona tanah. Seperti, hijau, orange, kuning, coklat dan ungu. Semua wilayah laut yang ber-HGB itu ditandai dengan warna orange.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Garinca Reza Fahlevi menegaskan bahwa penerbitan SHM dan SHGB di laut sangat menyalahi aturan yang berlaku di Indonesia. “Informasi mengenai keberadaan SHM dan SHGB di laut tentunya sangat menyalahi aturan yang berlaku di negara kita,” katanya, Selasa 18 Februari 2025.

Karena itu, Pemerintah, dalam hal ini Pemprov Lampung, harus menindaklanjuti temuan ini dan meneruskannya kepada pihak-pihak berwenang, seperti Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kelautan.

“Kami di DPRD Provinsi Lampung akan segera menindaklanjuti informasi ini dengan berkoordinasi dengan ATR/BPN Kanwil Lampung untuk meminta penjelasan terkait hal ini,” ujarnya,

Temuan ini juga memicu kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan sertifikat tanah yang bisa merugikan negara maupun masyarakat. Dan BPN Lampung diminta untuk segera melakukan audit dan klarifikasi terhadap penerbitan SHM di area yang tidak sesuai dengan ketentuan, serta memastikan bahwa tidak ada lagi kasus serupa di masa depan.

BPN Lampung Salahkan Teknologi?

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung menyebutkan, bahwa, terkait temuan laut Lampung yang sudah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di Teluk Bandar Lampung dan satu Teluk Pesawaran, hanya kesalahan titik HGB.

Ada juga perairan Teluk Semangka Tanggamus yang yang berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM). Padahal jika dibandingkan dengan peta Google Maps, titik-titik tersebut merupakan laut, bukan daratan.

“Titik HGB di laut itu karena adanya kesalahan data yang belum sesuai di aplikasi Bhumi ATR/BPN. Sehingga ada lahan yang titik koordinatnya harusnya berada di daratan, jadi bergeser ke wilayah laut,” kata Budiono, Kepala Bidang Pengukuran BPN Lampung.

Budianto mengatakan ada perbedaan sistem pemetaan dari era 60-an yang masih manual dengan sistem GPS yang digunakan saat ini. Maka sering ditemukan data yang belum sinkron antara hasil pemetaan yang lama dengan yang baru. “Terkait temuan yang ada di Bhumi ATR itu kalau dari sisi teknis memang terdapat perbedaan sumber informasi data yang karena perbedaan sistem pemetaan antara yang lama dengan baru,” ujar dia.

Budiono beralasan salah satunya karena perbedaan sistem referensi dari pemetaaannya, sehingga memang ada potensi terjadinya bidang tanah yang terletak tidak pada posisi sebenarnya. “BPN Lampung masih terus melakukan pembenahan peta wilayah agar benar-benar sesuai dengan data kepemilikan lahan,” katanya.

Namun Budiono, enggan merinci siapa pemilik 3 HGB yang titiknya ada di laut Lampung itu. “Ini proses yang sedang kita lakukan terkait dengan bidang-bidang yang belum terletak pada posisi sebenarnya dari (aplikasi) Bhumi ini. Jadi bagian dari proses kami membangun data dan kondisinya yang belum ideal. Jadi publik juga dapat memberikan informasi agar bisa berjalan lebih maksimal,” dalihnya.

Terkait tindakan BPN Lampung jika itu Kavling Laut, Budiono menyatakan hal itu merupakan kewenangan Kementerian ATR/BPN di pusat. “Kami menunggu arahan pimpinan, karena terkait kebijakan itu ada di Kementerian di pusat. Kami hanya melaporkan kondisi-kondisi yang jadi perhatian untuk pimpinan kami,” katanya.

Kabid Sengketa BPN Lampung, Heru Setiono menyatakan pembuatan peta setiap era selalu berganti. Hal itu juga menjadi kendala untuk menetapkan lokasi lahan karena datanya juga berbeda-beda. “Dulu menggunakan garis, kemudian meteran, lalu kompas, sekarang teknologi terbaru itu RTK. Data yang lama tidak bisa langsung ditransfer ke sini. Jadi bidang tanah itu akan landing ada dua yang menentukan, yaitu data ukur dan penunjukan,” kata Heru.

Namun, ujar Heru untuk penunjukan juga sering terkendala. Karena pemilik serfitikat tanah sering tidak ada di lokasi. Terkait adanya sertifikat HGB di laut, menurutnya hal itu adalah bagian dari proses melengkapi data peta yang belum rampung. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *