Bandar Lampung, sinarlampung.co-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) mencatat dugaan penyimpangan dan indikasi kerugian negara pada Program pengadaan perlengkapan peserta didik oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandar Lampung pada tahun anggaran 2024 Rp13,89 miliar lebih.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Lampung dengan Nomor: 28A/LHP/XVIII.BLP/05/2025 tertanggal 23 Mei 2025. BPK menemukan berbagai pelanggaran prinsip transparansi dan akuntabilitas, yang berujung pada indikasi pemborosan dan kerugian keuangan negara.
Pengelolaan anggaran Rp13,89 Miliar diperuntukan Program pengelolaan pendidikan mencakup dua kegiatan utama, jenjang SD dan SMP. Untuk SD, total belanja tercatat Rp8.579.015.000,00, sementara untuk SMP mencapai Rp5.311.000.000,00. Anggaran tersebut tersebar di pos pengadaan paket perlengkapan siswa, tas, alat tulis kantor (ATK), dan bahan cetak.
Namun, alokasi yang seharusnya menjadi bentuk dukungan pendidikan justru berubah menjadi potensi ladang permainan anggaran. BPK menemukan bahwa dalam DPA 2024, pencantuman subkegiatan pengadaan dilakukan tanpa rincian volume, harga satuan, dan jenis barang, hanya dicatat sebagai paket secara global. Praktik ini dinilai mengaburkan akuntabilitas dan membuka ruang rawan penyimpangan.
Kualitas Diragukan, Harga Tidak Wajar
Pengadaan paket perlengkapan siswa (seragam, sepatu, dasi, topi, dan lainnya) dilakukan oleh CV AJ untuk SD (11.351 paket), dan CV PJ untuk SMP (6.850 paket), masing-masing dengan harga Rp499.000,00/paket. Sementara tas disuplai oleh CV Dvn dengan harga Rp150.000/buah untuk masing-masing jenjang.
Namun, hasil penelusuran BPK dan konfirmasi dengan pedagang perlengkapan sekolah di pasar lokal menunjukkan adanya ketidakwajaran harga. Tas sekolah yang sejenis dan berbahan lebih tebal dengan fitur ergonomis hanya dijual seharga Rp75.000/buah di pasaran selisih 100% dari harga pengadaan.
Sementara seragam yang diadakan dinilai berkualitas rendah, hanya berbahan Oxford campuran katun-polyester, dan dijahit dengan mutu seadanya.Lebih buruknya lagi, dokumen teknis pengadaan tidak memuat detail bahan atau spesifikasi mutu. PPK hanya mencantumkan ukuran, tanpa menyebut struktur harga atau standar bahan. Ini bukan hanya soal kelalaian administratif, tapi mengindikasikan minimnya kontrol kualitas atas uang negara yang digunakan.
Penyedia Fiktif dan Bayangan Pengendali
Di balik pengadaan ini, BPK menemukan kejanggalan serius. CV AJ, CV PJ, dan CV Dvn tidak memproduksi seluruh barang sendiri. Mereka mengalihkan sebagian pekerjaan ke pihak lain, termasuk distributor sepatu dan tas yang sama. Bahkan, CV Dvn mengaku tidak memproduksi tas sama sekali dan hanya menerima imbalan 2% dari nilai kontrak sebesar Rp47.777.625,00 setelah pajak.
Artinya, CV tersebut hanya dipinjam namanya, sementara pekerjaan dikendalikan oleh pihak ketiga tak dikenal di Bandar Lampung.Kejanggalan tak berhenti di sana. Ketiga penyedia tidak mengelola sendiri rekening giro di Bank Lampung, dan hanya datang menandatangani pencairan dana saat diminta. BPK tak bisa memperoleh rekening koran mereka karena berdomisili di luar daerah (Bandung), sementara untuk pencetakan diperlukan kehadiran fisik pemilik rekening.
Lebih mencurigakan lagi, riwayat produk pada e-katalog dari tiga penyedia tersebut diperbarui serentak dalam waktu berdekatan: 15 Agustus, 27 Agustus, dan 5 September 2024. Ini menimbulkan dugaan kuat adanya koordinasi sistematis untuk memanipulasi data produk dan harga, sehingga tetap berada dalam pagu namun tetap menguntungkan pihak tertentu.
Negosiasi Harga Hanya FormalitasPPK Disdikbud juga dinilai gagal dalam menjalankan tugasnya sesuai prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah. Alih-alih mencari harga terbaik, PPK hanya melakukan perbandingan etalase e-katalog tanpa analisis harga satuan per item. Negosiasi harga pun tak lebih dari formalitas, paket hanya diturunkan Rp1.000 dan tas Rp5.000 dari harga awal.
Referensi harga tidak dicari di luar sistem, padahal tersedia alternatif lebih ekonomis di pasar terbuka. Padahal, sesuai Keputusan Kepala LKPP No. 177 Tahun 2024, harga terbaik adalah harga total terendah dari produk katalog elektronik yang mencakup biaya pengiriman dan layanan tambahan. Tapi dalam praktiknya, prinsip ini tak dijalankan.
Beban Keuangan Daerah dan Dugaan Rekayasa Sistematis
BPK menyatakan, proses pengadaan ini mengakibatkan beban keuangan daerah minimal sebesar Rp47.777.625,00. Jumlah itu hanya berasal dari imbalan untuk pihak penyedia boneka, belum termasuk potensi kerugian lebih besar akibat pemborosan anggaran, markup harga, dan pengalihan pekerjaan ke pihak tak sah. Permasalahan ini muncul akibat Lemahnya pengawasan Kepala Disdikbud sebagai pengguna anggaran, PPK yang abai terhadap regulasi pengadaan,
BPK menyebut Kepala Bidang Gedung dan Perlengkapan yang sembrono dalam merancang paket pengadaan. Penyedia barang yang tidak independen dan tidak transparan dalam pelaksanaan kontrak.
Sementara Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung, Eka Afriana, justru memilih bungkam atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) tahun 2024 itu. Ketika dimintai konfirmasi langsung, Kepala Dinas Pendidikan Kota, tak berada di kantor. “Bu Kadis sudah keluar,” ujar staf penerima tamu di Kantor Disdikbud Kota Bandar Lampung, tanpa menjelaskan lebih lanjut keperluannya. (Red)
Tinggalkan Balasan