Pajak Air Lampung Bocor, Potensi PAD Rp639 Juta Raib karena Dugaan Maladministrasi

Bandar Lampung, sinarlampung.co –  Realisasi pendapatan dari Pajak Air Permukaan (PAP) Provinsi Lampung tahun 2024 mencapai 115,13 persen dari target yang ditetapkan. Namun di balik capaian itu, tersembunyi potensi kelalaian birokrasi dan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga Rp639.829.834,86.

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya indikasi maladministrasi dalam penetapan pajak, lemahnya pengawasan, serta kegagalan pemerintah mendata secara menyeluruh perusahaan pengguna air permukaan. Situasi ini berpotensi merugikan daerah secara sistematis dan berulang.

Pemerintah Provinsi Lampung pada tahun anggaran 2024 menargetkan pendapatan dari PAP sebesar Rp7.750.000.000. Hingga 31 Desember 2024, realisasi penerimaan tercatat sebesar Rp8.922.700.267 atau 115,13 persen dari target.

Namun hasil audit menunjukkan bahwa di balik angka tersebut terdapat potensi penerimaan yang tak tertagih senilai Rp639.829.834,86. Kebocoran ini berasal dari dua sumber utama, yakni perusahaan yang tidak dikenai pajak dan perhitungan pajak yang tidak sesuai ketentuan.

Salah satu temuan paling mencolok adalah tidak terdatanya PT SGN KSO TBM sebagai Wajib Pajak Air Permukaan. Perusahaan perkebunan tebu ini memanfaatkan air dari embung sebagai sumber irigasi untuk operasionalnya.

Menurut hasil pemeriksaan lapangan oleh BPK, air embung dikategorikan sebagai air permukaan yang menjadi objek pajak sesuai ketentuan perundang-undangan. Karena PT SGN KSO TBM tidak terdaftar sebagai wajib pajak, daerah kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp149.834.724,86 untuk tahun 2024.

Dalam dokumen pemeriksaan, BPK menulis, “Ini contoh nyata lemahnya pendataan di lapangan. Padahal air embung termasuk dalam kategori air permukaan yang diatur dalam perundang-undangan sebagai objek pajak.”

Selain itu, BPK juga menemukan bahwa penetapan Nilai Perolehan Air Permukaan (NPAP) belum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam regulasi tersebut, NPAP dihitung dari hasil perkalian antara Harga Dasar Air Permukaan (HDAP) dan Bobot Air Permukaan.

Bobot Air Permukaan sendiri seharusnya memperhitungkan faktor lokasi, volume, dan kewenangan pengelolaan sumber daya air. Namun dalam praktiknya, penetapan NPAP belum mengacu pada formula ini secara utuh dan konsisten.

BPK mencatat bahwa akibat penetapan NPAP yang tidak sesuai tersebut, potensi penerimaan daerah yang tidak tertagih mencapai Rp489.995.110. Jumlah ini berasal dari pengenaan pajak yang lebih rendah dari semestinya terhadap beberapa objek pajak.

Padahal sejak awal 2024, Pemerintah Provinsi Lampung telah membentuk Tim Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Daerah Sektor PAP. Pembentukan tim ini berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Nomor 133 Tahun 2024.

Tim ini terdiri dari unsur Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA), serta diberi mandat untuk merencanakan, mengawasi, dan mengendalikan potensi pajak air permukaan. Namun audit BPK menunjukkan bahwa tim ini belum menjalankan fungsinya secara optimal.

Kepala Dinas PSDA dinilai belum maksimal dalam melakukan pengawasan terhadap perhitungan NPAP. Sementara Kepala Bapenda belum menetapkan NPAP untuk setiap objek pajak dalam bentuk Peraturan Gubernur.

Kepala Bapenda selaku Ketua Tim Intensifikasi dan Ekstensifikasi juga belum optimal dalam melakukan pendataan wajib pajak secara berkala. Akibatnya, potensi objek pajak yang baru maupun yang aktif belum seluruhnya tercatat.

Menanggapi hal ini, Gubernur Lampung melalui Kepala Bapenda menyatakan sepakat dengan temuan BPK dan siap menindaklanjuti sesuai rekomendasi. Pemerintah berkomitmen membenahi pengawasan, penetapan nilai pajak, dan pendataan wajib pajak.

BPK dalam rekomendasinya meminta agar Kepala Dinas PSDA meningkatkan pengawasan terhadap perhitungan NPAP. Kepala Bapenda diminta segera mengusulkan dan menetapkan NPAP tiap objek PAP melalui Peraturan Gubernur.

BPK juga meminta Kepala Bapenda sebagai Ketua Tim Intensifikasi untuk melakukan pendataan wajib pajak secara rutin dan mengusulkan penetapan NPAP secara berkala. Langkah-langkah ini diperlukan agar kebocoran penerimaan tidak kembali terulang.

Meski realisasi pendapatan terlihat surplus, fakta di lapangan menunjukkan banyak potensi penerimaan yang lolos dari pantauan. Jika tata kelola tidak segera dibenahi, Lampung bisa terus mengalami kehilangan PAD dari sektor yang seharusnya dapat diandalkan untuk pembangunan.

Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Dinas PSDA Lampung belum merespon konfirmasi wartawan. (Red/Tim)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *