Tubaba Dalam Bayang Hiburan Malam: Urgensi Zonasi, Legalitas dan Etika Sosial

Tulang Bawang Barat, sinarlampung.co – Berdiri di ambang pertarungan antara geliat ekonomi malam, kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), provinsi Lampung kini berdiri di persimpangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab ketenangan sosial.

Dentuman musik dari tempat hiburan malam yang terus menggema bukan sekadar pertanda geliat ekonomi lokal, melainkan juga alarm yang menandai kebutuhan mendesak untuk menata ulang arah dan etika ruang publik yang dapat dinikmati secara pluralisme lingkungan sosial sekitar.

Kehadiran tempat hiburan malam (karaoke) Tubaba, Lampung, memunculkan friksi sosial ketika tidak ditopang dengan regulasi yang ketat dan penataan ruang yang berbasis nilai sosial-kultural masyarakat lokal yang bila tak diatur dengan bijak, ia bisa menjadi sumber konflik, ketegangan, bahkan kehancuran nilai-nilai yang telah lama dijaga adat.

Penulis mengajak pembaca untuk, menelaah urgensi perizinan berusaha berbasis spatial justice, menelusuri konflik antara ekspansi ruang komersial dan ketenangan ruang religius, serta menyajikan proyeksi kebijakan tata hiburan malam berbasis etika sosial dan regulasi berkelanjutan.

Prolog dari Suara Malam: Ketika Gema Musik Bertabrakan dengan Doa

Tubaba sedang menghadapi tantangan klasik dalam era modernisasi kabupaten-kabupaten yang beranjak tumbuh secara akulturasi kebutuhan hiburan masyarakat pertumbuhan ruang hiburan yang tidak diimbangi dengan tata kelola berbasis nilai lokal.  

Hiruk-pikuk suara musik dari tempat hiburan malam yang kian menjamur terutama di wilayah seperti Kelurahan Dayamurni, Kecamatan Tumijajar bukan sekadar persoalan kebisingan, tetapi simbol dari ketidakteraturan tata ruang dan pengabaian terhadap norma-norma sosial dan spiritual masyarakat.

Di satu sisi, hiburan adalah bagian dari denyut peradaban modern. Ia menjadi ruang ekspresi, relaksasi, bahkan sirkulasi ekonomi. 

Namun disisi lain, ketika tempat-tempat hiburan berdiri berdampingan dengan masjid, pondok pesantren, atau sekolah, konflik nilai tak terelakkan. 

Kita dipaksa mempertanyakan ulang 

Apakah semua ini telah sesuai aturan? 

Apakah Tubaba sudah memiliki peta jalan yang tegas tentang zonasi hiburan malam yang beretika dan legal?

Ketika Legalitas Tak Selalu Berarti Legitimasi

Merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha, ditegaskan bahwa setiap tempat hiburan malam/karaoke wajib memenuhi beberapa ketentuan administratif dan etis, termasuk:

1. Memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG),

2. Tidak berlokasi dekat dengan tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan pondok pesantren,

3. Menjamin kondusifitas lingkungan serta memiliki rekomendasi dari instansi teknis.

Namun realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Banyak tempat hiburan malam di Tubaba yang beroperasi di zona sensitif sosial, tanpa izin lengkap, bahkan tanpa analisis dampak lingkungan dan sosial. Kondisi ini menciptakan keresahan, menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar, serta membuka celah konflik terbuka antara warga dan pelaku usaha.

Pemerintah Harus Bergerak: Dari Reaktif ke Sistemik

Langkah membentuk tim gabungan untuk membahas dan menindak tempat karaoke ilegal tentu patut diapresiasi. Tetapi gerak sporadis dan responsif tidak cukup. Tubaba membutuhkan penataan sistemik, komprehensif, dan berbasis data.

Pemerintah perlu menyusun kebijakan sebagai berikut:

Pemetaan zonasi hiburan malam berbasis data spasial (GIS) dan pertimbangan sosial-keagamaan;

Audit regule terhadap tempat hiburan malam untuk memastikan kepatuhan izin dan etika lokasi;

Swipping berkala yang tidak hanya melibatkan aparat keamanan, tetapi juga tokoh masyarakat dan organisasi sosial;

Penetapan Zona Merah, Kuning, dan Hijau, untuk kegiatan hiburan malam, disertai aturan jam operasional dan kontrol terhadap penyalahgunaan fungsi usaha (seperti karaoke keluarga yang beralih fungsi).

Gambaran Tubaba di tahun 2035: Visi Kota Kecil dengan Kejelasan Nilai

Bayangkan sebuah wilayah dengan gaung kabupaten bukan atas geografis tidak adanya gunung dan laut serta kekayaan fauna dan flora. Namun secara mandiri dari tahun-ketahun tumbuh menggapai tagline landmark komplek dunia dan akhirat sebagai ciri khas menonjol Tubaba di tahun 2035:

Di mana setiap tempat hiburan menjalani sertifikasi etika sosial dan regulasi ketat;

Zona hiburan malam berdiri di tempat strategis, jauh dari pusat religius dan lembaga pendidikan, tetapi tetap terhubung dengan infrastruktur publik yang baik;

Pemerintah memiliki dashboard digital pengawasan yang dapat diakses publik secara transparan untuk memantau izin dan status operasional setiap unit hiburan.

Apakah Ini hanya sebuah angan-angan? tentu tidak! Ini adalah gambaran Tubaba menggapai visi kota yang hidup berdasarkan keharmonisan antara ekonomi, sosial, dan spiritualitas.

Persimpangan Suara Siapa yang Kita Dengar secara konklusi Tubaba tidak anti hiburan. Justru, masyarakat membutuhkan hiburan yang sehat, tertib, dan beradab. 

Namun itu semua hanya bisa diwujudkan bila pemerintah berani bertindak bukan hanya mendengar dentuman musik dari speaker karaoke, tetapi juga mendengar suara lirih masyarakat yang menginginkan ketenangan.

Karena suara yang paling pantas diperjuangkan bukan hanya suara dari panggung hiburan, tetapi suara dari ruang keluarga, ruang ibadah, dan ruang pendidikan tempat di mana peradaban kita sebenarnya dibentuk. (Yoga Pratama)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *