Bandar Lampung, sinarlampung.co-Rekomendasi ukur ulang lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Sugar Group Companies (SGC) yang dikeluarkan Komisi II DPR-RI, sepertinya mendapat perlawanan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang menyatakan bahwa tidak ditemukan Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT Sugar Group Companies (SGC) dalam data resmi BPN.
“Dalam data kami, tidak tercatat HGU atas nama SGC. Yang ada adalah atas nama Gula Putih Mataram, ILCM, dan Garuda Panca. Jadi secara legal formal, entitas bernama SGC tidak memiliki HGU,” kata Nusron yang sejak lama di kabarkan memiliki kedekatan dengan petinggi PT SGC itu, usai rapat koordinasi bersama Gubernur Lampung dan kepala daerah di Balai Keratun, Selasa 28 Juli 2025.
Pernyataan ini disampaikan menyusul polemik rencana pengukuran ulang lahan yang dikaitkan dengan PT SGC. Menurut Nusron, proses pengukuran ulang tidak bisa dilakukan sepihak, melainkan harus berdasarkan permohonan resmi dari pihak terkait. Hingga kini, baru DPR RI yang mengajukan permohonan tersebut. “Kalau mau ukur tanah, harus ada pemohon. Memang DPR RI sudah mengajukan, tapi karena menggunakan dana APBN, masih kami evaluasi apakah anggarannya memungkinkan,” katanya.
Nusron menyebut, sesuai aturan, biaya pengukuran menjadi tanggung jawab pemohon, kecuali dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dibiayai oleh negara. “Kalau semua diambil dari APBN, bisa jadi preseden buruk. Perusahaan bisa enggan membayar PNBP, lalu anggaran negara habis bukan untuk pembangunan, tapi pengukuran lahan korporasi,” ujarnya.
Nusron mengaku pihaknya saat ini masih menunggu apakah ada permohonan dari pihak swasta yang merasa memiliki hak atas lahan tersebut. Padahal DPR RI telah menyetujui rencana pengukuran ulang lahan yang disebut-sebut milik PT SGC dengan luas sekitar 84 ribu hektare. Namun, estimasi anggaran untuk kegiatan tersebut mencapai Rp10 miliar.
DPRD Lampung Ikut Desak Pengukuran Ulang HGU Lahan PT SGC
Selain rekomendasi Komisi DPR RI, DPRD Provinsi Lampung menyoroti tentang pentingnya legalitas lahan, kepatuhan pajak, dan kemitraan dengan masyarakat serta kewajiban pajak sebagai kunci menjaga kepercayaan publik dan iklim investasi yang sehat. Karena itu Komisi I dan III DPRD Lampung juga mendesak pengukuran ulang HGU PT SGC. DPRD menilai SGC tak memberi manfaat ekonomi bagi warga sekitar. SGC diduga belum bayar pajak alat berat dan kendaraan.
Komisi I dan Komisi III DPRD menilai langkah ini penting untuk memastikan legalitas lahan dan menyelesaikan polemik yang selama ini mencuat ke publik. “SGC belum memberikan dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat sekitar. Perusahaan itu juga tidak membangun kemitraan yang adil dengan warga. SGC tidak bermitra, masyarakat hanya menerima debunya saja,” ujar Anggota Komisi I DPRD Lampung, Fraksi Partai Golkar Putra Jaya Umar, Selasa, 22 Juli 2025.
Putra menekankan investasi di Lampung harus menjadi solusi bersama. Ia mencontohkan praktik perusahaan di Filipina yang hanya membangun pabrik tanpa perlu menguasai lahan luas, namun tetap bermitra dengan petani lokal.
Anggota Komisi III DPRD Lampung, Yozi Rizal, menyatakan hal yang sama, menurutnya pengukuran ulang dapat menggunakan teknologi seperti drone dan satelit untuk mengukur lahan tanpa biaya besar. “Cukup ukur ulang. Jangan mengaitkan dengan isu iklim investasi atau tenaga kerja. Legalitas itu penting,” ujar Yozi dari Fraksi Demokrat.
Yozi menyatakan pengusaha yang benar akan mematuhi aturan, termasuk soal legalitas lahan dan pembayaran pajak. Menurutnya, saat ini banyak muncul dugaan, termasuk pengemplangan pajak karena luasan lahan yang diduga tidak sesuai data resmi.
Sorotan ke Pajak dan Dugaan Suap
Komisi III DPRD Lampung juga mencatat SGC belum memenuhi kewajiban membayar pajak atas alat berat dan kendaraan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi SGC, tetapi juga pelaku usaha lain yang ada di Lampung. “Semua pelaku usaha harus taat pajak. Itu kewajiban,” kata Yozi.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung disebut telah mencekal dua pimpinan SGC, yakni Purwanti Lee Cauhoul dan Gunawan Yusuf. Pencekalan tertuang dalam Surat Keputusan Nomor:KEP-76/D/Dip.4/04/2025 dan KEP-77/D/Dip.4/04/2025. Langkah tersebut berkaitan dengan kasus suap kepada mantan pejabat Zarof Ricar, yang kini sedang menjalani sidang di Jakarta. Dalam persidangan, nama SGC muncul dalam pusaran perkara tersebut.
Praktisi hukum sekaligus mantan aktivis YLBHI LBH Bandar Lampung Muhammad Ilyas juga menyoroti polemik pengukuran ulang HGU PT SGC yang tengah bergulir di publik dan DPR RI. Ilyas mengatakan bahwa isu ini bukan barang baru dan sudah menjadi perhatian lama masyarakat sipil di Lampung. “Ini momentum yang baik, dan harus dimanfaatkan untuk mengungkap penguasaan lahan yang secara faktual tidak sesuai dengan HGU,” tegas Ilyas, yang juga founder lembaga Menembus Batas.
Menurutnya, dorongan dari masyarakat sipil hingga ke Komisi II DPR RI sudah cukup kuat. Kini, giliran pemerintah daerah Lampung harus menindaklanjuti rekomendasi resmi yang telah dihasilkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tersebut. “Kalau pemerintah daerah tidak mengakomodir rekomendasi DPR RI, itu namanya naif! Malah ada tokoh-tokoh politik di Lampung yang justru menggiring opini seolah penertiban SGC akan berdampak buruk terhadap masyarakat. Ini narasi menyesatkan,” katanya.
Ilyas menilai, pendekatan para tokoh yang berlindung di balik ‘hak ekosof’ masyarakat, khususnya pekerja, adalah upaya pragmatis yang justru mengaburkan persoalan pokok kewajiban perusahaan membayar pajak dan menjalankan aturan sesuai HGU. “Kalau perusahaan itu sudah diizinkan beroperasi, ya wajib dong akomodir hak masyarakat. Pekerja itu tanggung jawab mereka. Tapi publik juga harus tahu, perusahaan punya kewajiban bayar pajak yang besar! Pajak itu bisa hidupin hak-hak masyarakat lainnya,” tegasnya.I
lyas bahkan menyentil logika takut perusahaan kabur jika diukur ulang: “Lucu. Ini bukan soal perusahaan lari. Ini soal negara hadir. Gak bisa disamakan dengan kasus lain. Kalau mereka berhentikan pekerja hanya karena diukur ulang, justru itu pelanggaran. Ada undang-undang kepailitan dan CSR yang bisa dibedah. Gak semudah itu,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan, beberapa waktu lalu Gubernur Lampung sempat mengeluhkan kekosongan anggaran pembangunan jalan. Padahal, menurutnya, pajak dari SGC yang “triliunan rupiah” seharusnya bisa menutup kekurangan itu. “Jangan bilang gak ada uang buat bangun jalan. Kalau perusahaan seperti SGC ditertibkan dan patuh bayar pajak, itu cukup kok biayai kesehatan, pendidikan, jalan, dan hak-hak dasar rakyat lainnya,” ujarnya.
Ilyas mengecam keras narasi usang yang selalu dipakai untuk menghambat pengukuran ulang HGU, seperti keharusan izin dari pemegang HGU.“Itu alasan klasik yang sudah kita lawan sejak dulu. Jangan lagi dijadikan tameng. Ini momentum untuk menertibkan semua pengusaha nakal di Lampung. Apresiasi besar untuk teman-teman sipil sosieti yang sudah kerja keras sampai ke DPR,” katanya.
Pengamat Hukum Agraria UBL Okta Ainita mengatakan, bahwa persoalan ini bukan semata administratif, melainkan menyangkut prinsip keadilan dan keberpihakan negara terhadap rakyat. Menurut Okta, legalitas HGU diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, khususnya Pasal 28 dan Pasal 29, yang secara tegas menyatakan bahwa HGU hanya diberikan untuk jangka waktu tertentu dan dapat dicabut jika melanggar ketentuan.
Bahkan, Apabila ditemukan indikasi bahwa PT SGC menguasai tanah melebihi luas HGU yang sah, maka negara wajib turun tangan untuk melakukan pengukuran ulang dan audit terbuka. “Negara tak boleh tunduk pada kepentingan korporasi besar, apalagi jika sampai mengorbankan hak masyarakat adat atau lokal. Ini soal keadilan,” ujar Okta Senin 21 Juli 2025.
Ia juga mengingatkan, bahwa amanat Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bumi dan kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, proses verifikasi harus dilakukan secara transparan, melibatkan publik, dan didukung oleh fungsi pengawasan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945.Tak hanya itu, keterbukaan informasi terkait status HGU merupakan kewajiban hukum berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mewajibkan lembaga negara membuka data kepada masyarakat.
Okta mengingatkan bahwa konflik agraria tidak boleh dianggap remeh. Ketika tidak ditangani secara adil dan terbuka, ia berpotensi memicu ketegangan sosial yang berkepanjangan dan memperparah ketimpangan struktural. “Negara harus hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai penjamin keadilan agraria,” ujarnya. (Red)
Tinggalkan Balasan