Bandar Lampung, sinarlampung.co – Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) terus dijalankan di Lampung. Pemerintah pusat dan daerah mengklaim keberhasilan melalui jutaan bibit, ribuan hektare lahan, dan anggaran miliaran rupiah.
Namun, efektivitas program ini masih diragukan. Banyak kawasan tetap rusak meski program digelar rutin tiap tahun.
Tanam Dulu, Tumbuh Belakangan
Dinas Kehutanan Lampung mencatat 158.061 pohon ditanam di luar kawasan hutan sepanjang 2019-2023. Pada 2023, pemerintah mengklaim merehabilitasi 84.000 hektare dan menargetkan 60.000 hektare lagi pada 2024.
Sebanyak 434,73 hektare juga direboisasi lewat program berbasis DAS dengan dana APBN. Namun, kondisi lapangan menunjukkan banyak bibit mati, terutama di Register 21, Kedondong, Pesawaran.
Bibit alpukat dan durian mati karena ditanam saat kemarau, tanpa penyiraman dan perawatan. Setelah difoto untuk dokumentasi, pohon dibiarkan tumbuh sendiri.
Mayoritas layu sebelum sempat berakar. Padahal, Permen LHK No. P.105/2018 mewajibkan 80% tanaman hidup dan dirawat minimal 1-2 tahun.
Seorang sumber mempertanyakan efektivitas program. “Kalau berhasil, kenapa masih banyak lahan kosong? Bibit mati karena enggak dirawat. Terus anggarannya betulan direaliasikan gak?” tanyanya.
Miliaran Rupiah Digelontorkan, Transparansi Nol
Pada 2023, Rp2,1 miliar dari APBD provinsi digelontorkan untuk RHL. Tahun 2025, anggaran dari BPDLH naik menjadi Rp7,6 miliar.
Namun, tak ada transparansi penggunaan dana. Rincian biaya bibit, perawatan, dan lokasi tanam tak dibuka ke publik.
Data keberhasilan atau tingkat kelulushidupan (survival rate) juga tak tersedia. Saat ditanya soal kelompok tani penerima atau titik koordinat tanam, dinas tak mampu menjawab.
Kondisi ini pernah dilaporkan ke Ombudsman RI. BPK RI juga menyoroti lemahnya akuntabilitas program.
Tutupan Hutan Tak Kunjung Pulih
Klaim keberhasilan tak sejalan dengan kondisi tutupan hutan Lampung. Data Global Forest Watch mencatat, Lampung masih memiliki 254 ribu hektare hutan alam pada 2020.
Namun, hingga 2024, hutan alam terus menyusut. Lampung kehilangan 199 hektare pada tahun ini saja.
Selama 2021-2024, penurunan mencapai 20%. Artinya, rehabilitasi belum mampu menghentikan laju kerusakan.
Gubernur Lampung bahkan menyebut 37,42% kawasan hutan sudah rusak. Itu setara 1.004.735 hektare dari total daratan provinsi.
Hingga 2025, tutupan hutan hanya tersisa sekitar 28%. Angka ini masih di bawah batas minimal nasional, yakni 30%.
WALHI Lampung menyebut 86% kawasan hutan dikuasai masyarakat dan korporasi. Banyak di antaranya tanpa skema perhutanan sosial.
Akibatnya, reboisasi sering dilakukan di lahan bermasalah. Lokasinya rentan alih fungsi dan konflik.
Sumber mengatakan perhatian dinas sangat minim. Menurutnya yang diukur hanya jumlah bibit, padahal indikator utamanya tutupan hutan.
“Polhut dan penyuluh terlihat lebih sering berfoto selfie ketimbang bekerja nyata di lapangan, sementara pejabat Dinas Kehutanan seolah tak peduli dengan hutan yang sudah rusak parah,” katanya.
“Jadi jangan salahkan masyarakat merambah hutan, karena para pejabat sendiri membiarkan. Hutan gundul, sementara masyarakat yang ikut program perhutanan sosial nggak pernah disuruh nanam pohon-pohon kayu buat tutupan hutan,” tegasnya.
Keberhasilan Lokal Masih Terbatas
Beberapa titik memang menunjukkan hasil positif. Salah satunya model agroforestri di Register 38 Gunung Balak.
Namun, proyek seperti ini masih terbatas. Mayoritas wilayah rehabilitasi belum menunjukkan dampak nyata.
Data BPS mencatat, luas reboisasi berbasis APBN anjlok drastis. Dari 16.525 hektare pada 2019, turun menjadi 434,73 hektare pada 2023.
Ironisnya, penyusutan justru terjadi saat krisis ekologis meningkat.
Reboisasi Gagal Menyentuh Akar Masalah
Masalah utama terletak pada pendekatan yang seremonial dan jangka pendek. Penanaman dikejar selesai dalam satu tahun anggaran.
Tak ada insentif ekologis bagi warga. Tak ada pembinaan dan tak ada perlindungan hukum atas lahan yang direhabilitasi.
Fungsi ekosistem tidak akan pulih tanpa perubahan menyeluruh. Tanpa transparansi dan pelibatan masyarakat, program ini hanya formalitas tahunan.
Butuh Audit dan Reformasi Kebijakan
Situasi ini seharusnya menjadi alarm bagi Pemprov Lampung dan KLHK. Program RHL perlu dievaluasi dan diaudit secara independen.
Dinas Kehutanan wajib membuka data lokasi tanam, jenis bibit, anggaran, dan hasilnya di tiap wilayah. Perawatan selama dua tahun harus menjadi standar.
Pemerintah juga harus menjamin status hukum lahan yang ditanami. Jika tidak, rehabilitasi akan terus berulang tanpa hasil.
Sayangnya, hingga kini belum ada tanggapan resmi dari Dinas Kehutanan Lampung. Permintaan keterbukaan data belum direspons.
Saat ini, reboisasi di Lampung lebih sering menumbuhkan pohon mati ketimbang hutan hidup. Tanpa pengawasan dan reformasi, program ini hanya menanam kebohongan dan mengubur uang rakyat bersama bibit yang tak pernah tumbuh. (Red)
Tinggalkan Balasan