Jakarta, sinarlampung.co – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perekonomian Indonesia berdasarkan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2025 mencapai 5,12% secara tahunan (year on year/YoY). Pertumbuhan ini meningkat dari kuartal sebelumnya sebesar 4,87% YoY.
Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 oleh BPS tidak mencerminkan kondisi riil ekonomi.
“Ada beberapa data yang janggal, salah satunya soal pertumbuhan industri pengolahan. Selisih datanya terlalu berbeda antara BPS dan Purchasing Managers’ Index Manufaktur,” tutur Bhima, Selasa (5 Agustus 2025).
S&P Global mencatat, PMI Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi atau di bawah level 50, sepanjang kuartal II 2025 atau April di level 46,7, Mei 47,4, dan turun menjadi Juni 46,9.
Sementara itu, BPS mencatat pada kuartal II 2025 industri pengolahan menjadi kontribusi pertumbuhan ekonomi tertinggi yakni sebesar 18,67% dengan pertumbuhan sebesar 5,68% YoY.
“Akhir Juni 2025, PMI Manufaktur turun dari 47,4 menjadi 46,9. Jadi penjelasannya apa? bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi,” kata Bhima.
Selain itu, ia juga menilai data konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran terlihat janggal dan tidak mencerminkan kondisi konsumsi rumah tangga periode tersebut.
BPS mencatat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% YoY, naik tipis naik dari kuartal sebelumnya sebesar 4,89% YoY, dengan kontribusi tertinggi yakni sebesar 54,25%.
Menurut data BPS konsumsi rumah tangga periode tersebut didorong kebutuhan bahan makanan dan minuman jadi meningkat karena aktivitas pariwisata selama periode libur Idulfitri, Waisak, Kenaikan Isa Almasih, dan Idul Adha serta libur sekolah. Mobilitas masyarakat meningkat mendorong peningkatan konsumsi untuk transportasi dan restoran.
Akan tetapi, data pendorong tersebut menurut Bhima tidak masuk di akal. Menurutnya, tanpa adanya momentum penting seperti Lebaran, akan cukup sulit mendorong konsumsi rumah tangga.
“Kuartal II 2025 cuma kebagian sedikit di April Lebaran, enggak make senses,” sambungnya.
Sejalan dengan itu, tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat pada periode tersebut. Misalnya terindikasi dari Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 pada Juni 2025.
“Ini tidak mencerminkan pertumbuhan konsumsi karena pada kuartal II 2025 tidak ada momentum seasonal seperti Lebaran yang dorong konsumsi rumah tangga. Menjadi pertanyaan pertumbuhan 4,97% itu pendorongnya apa?,” tegasnya.
Ia khawatir, dari sejumlah data yang janggal tersebut akan ada intervensi politik di BPS. Selain itu juga juga khawatir data BPS ke depan akan mengganggu kepercayaan publik, atau bahkan BPS tidak bisa jadi referensi pengambilan strategi bisnis, sehingga diperlukan data pembanding lainnya yang lebih kredibel. (Red/Tan)
Tinggalkan Balasan