Bandar Lampung, sinarlampung.co – Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela mengakui forum koordinasi penanggulangan konflik manusia–satwa liar di provinsi ini belum berjalan optimal. Ia mendorong perombakan keanggotaan tim, penyusunan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas, serta langkah mitigasi jangka panjang.
“Forum koordinasi ini belum maksimal. SK Tim Koordinasi Penanganan Konflik Manusia–Satwa Liar yang dibentuk sejak 2021 perlu diverifikasi ulang. Anggotanya harus diperluas, termasuk melibatkan bupati/wali kota, media, dan akademisi,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Tim Penanggulangan Konflik Manusia–Satwa Liar di Ruang Rapat Sakai Sambaian, Kantor Gubernur Lampung, Rabu (13/8/2025).
Rakor tersebut membahas strategi penanganan interaksi negatif antara manusia dan satwa liar, khususnya gajah dan harimau sumatera, yang dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi signifikan.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Lampung, pada 2024–2025 di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan tercatat delapan insiden konflik harimau sumatera yang mengakibatkan tujuh korban jiwa.
Sementara di Kabupaten Lampung Timur, pada Juni 2025 sekelompok gajah memasuki perkebunan warga di perbatasan Desa Braja Asri dan Braja Sakti, menimbulkan kerugian materi besar.
Dalam catatan sepuluh tahun terakhir, konflik manusia–gajah di Way Kambas rata-rata terjadi 185 kali per tahun di 13 desa terdampak, sedangkan di Bukit Barisan Selatan rata-rata 53 kejadian per tahun di 12 desa. Konflik manusia–harimau rata-rata terjadi 22 kali per tahun di 14 desa, mengakibatkan kehilangan 192 ekor ternak dan korban jiwa manusia.
Menurut Jihan, kurang optimalnya forum koordinasi membuat penanganan konflik sering terhambat. Ia menekankan perlunya penelitian rutin oleh akademisi untuk memantau dinamika populasi satwa liar dan kondisi habitatnya sebagai dasar kebijakan.
Selain itu, penyusunan SOP penanganan konflik dinilai mendesak untuk menghindari saling lempar tanggung jawab antarinstansi.
“Siapa yang bertanggung jawab dan apa yang dikerjakan harus jelas, sehingga mitigasi penanganan konflik bisa berjalan efektif,” tegasnya.
Langkah mitigasi jangka panjang yang diusulkan antara lain pemetaan wilayah rawan, pemasangan tanda peringatan, pengawasan titik-titik hotspot, dan pembagian wilayah kerja antara provinsi dan kabupaten/kota.
“Dukungan anggaran serta keterlibatan mitra terkait menjadi kunci keberhasilan penanganan ini,” tambahnya.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Hifzon Zawahiri, menambahkan berkurangnya pakan alami mendorong satwa keluar kawasan.
“Kemungkinan besar pakan satwa yang ada semakin berkurang. Untuk menyelesaikan permasalahan pakan, kita ada masukan solusi kalau babi, terutama babi hutan, akan kita masukkan ke dalam kawasan karena itu pakan yang paling efektif dan berkembang biak cepat,” jelasnya. (*)
Tinggalkan Balasan