OTT Inhutani V, WALHI: Momentum Wujudkan Keadilan Ekologis

Bandar Lampung, sinarlampung.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menindaklanjuti dugaan suap dalam pengurusan izin pemanfaatan kawasan hutan melalui OTT terhadap Petinggi PT Inhutani V dan Perusahaan rekanan di beberapa Lokasi berbeda.

KPK dilaporkan menangkap enam orang yakni Direktur Utama Inhutani V Dicky Yuana Rady, Komisaris Inhutani V Raffles, Direktur PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) Djunaidi, Joko dari SB Group serta Staf PT PML Arvin dan Sudirman di Jakarta.

Kemudian Staf Perizinan SB Group Aditya di Bekasi serta mantan Direktur PT Inhutani Bakhrizal Bakri dan Sekretaris Djunaidi yang bernama Yuliana di Depok dan Bogor.

Dalam OTT tersebut KPK berhasil menyita barang bukti berupa uang tunai dalam bentuk Dolar Singapore sebesar $189.000 atau sekitar Rp2,4 miliar (kurs saat ini) dan uang rupiah sejumlah Rp8,5 juta, serta satu unit mobil Rubicon dan mobil Pajero milik Dicky Yuana Rady. 

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Lampung Irfan Tri Musri menyambut baik langkah KPK ini sebagai praktek terbaik dalam penegakan hukum dan reformasi tata kelola kehutanan.

Kasus ini bukan sekadar soal individu, tetapi era baru bagi transparansi perizinan hutan. Kasus ini juga menurut Irfan Gambaran dari praktik dan kerja Satgas Penataan Kawasan Hutan (PKH) yang seharusnya dilakukan.

“Karena sejauh ini seperti di Provinsi Lampung satgas PKH justru banyak melakukan Upaya penertiban Kawasan hutan terhadap wilayah Kelola Masyarakat, bukan focus menyasar pada Kawasan-kawasan hutan yang dikuasai oleh korporasi.” Kata Irfan melalui keterangan tertulis pada sinarlampung.co, sabtu (16 Agustus 2025).

Irfan menambahkan hal yang harus dilakukan KPK dan instansi pemerintah saat ini adalah untuk Audit menyeluruh terhadap semua izin konsesi hutan yang dikuasai oleh korporasi, baik BUMN maupun swasta.

“Karena di Provinsi Lampung bukan hanya PT Inhutani V yang menguasai Kawasan hutan, tetapi termasuk juga seperti di Kawasan Hutan Produksi Register 45 Sungai Buaya yang dikuasai oleh PT Silva Inhutani Lampung seluas +/- 43.000 hektare dan PT Budi Lampung Sejahtera di Kawasan Hutan Produksi Register 46 Way Hanakau seluas +/- 9.000 hektare.” Imbuh Irfan. 

Reformasi sistem perizinan hutan perlu dijalankan dengan prinsip transparansi dan partisipasi, melibatkan masyarakat sipil sebagai pengawas dan penerima manfaat.

“Penegakan hukum harus tegas dan tanpa pandang bulu bagi semua aktor yang terlibat, baik pejabat pemerintah maupun pelaku usaha yang memfasilitasi suap.” Kata Irfan.

WALHI berharap Kasus ini menjadi momentum kebangkitan reformasi tata kelola hutan di Indonesia, demi terwujudnya pengelolaan hutan yang bersih, adil, berpihak kepada rakyat, dan menjamin keberlanjutan lingkungan.

“Selain itu, momentum OTT ini juga harus menjadi awal tonggak bagi KPK untuk melakukan penindakan terhadap potensi korupsi dan kerugian negara terhadap korporasi yang menguasai sumber daya alam bukan hanya di Kawasan hutan, tetapi juga termasuk diluar Kawasan hutan (HGU).” Tutup Irfan. (Red)

 

 

 

 

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *