Oleh: Handoko (Ketua PC IMM Pringsewu bidang riset dan keilmuan)
Tulisan ini sebenarnya bermula pada diskusi kecil yang sempat terdengar di nuansa pilkada serentak pada tahun 2017. Menjadi sedikit menarik untuk di tulis dalam bentuk naskah terutama menjelang Pemilu 2019. Tahun 2019 ini akan menjadi sejarah penting bagi demokrasi di negara kesatuan republik indonesia. Pasalnya ini adalah pemilu serentak pertama kali untuk memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD serta Presiden dan wakil presiden. Nuansa politik jelang pemilu 2019 yang di bingkai sebagai pertarungan antara Jokowi versus Prabowo, sekaligus Megawati versus SBY dan secara luas juga pertarungan calon legislative yang memperebutkan kursi di dapilnya masing-masing.
Untuk memberikan waktu kepada kontesti pemilu mengenalkan diri pada masyarakat, KPU memberikan masa kampanye yang cukup panjang berdasarkan Peraturan KPU Nomor 32 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 dimulai tanggal 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Tentu akan banyak strategi yang dilaksanakan oleh tim pemenangan para calon untuk memikat hati sang pemilih dalam waktu kurang lebih 6 Bulan itu.
Namun nampaknya kontestan pemilu 2019 bukan hanya pertarungan para calon pemangku kursi Supra-Struktur saja, tapi juga pertarungan dimensi ghaib Keagamaan dan pertarungan ghaib dalam frame (Mistisme). dimensi ghaib keagamaan para kontesti pemilu 2019 sangat menarik diperbincangkan. Tentunya para kontesti akan mencari tempat strategis untuk mendapatkan suara mayoritas yang bersinggungan dengan dimensi keagamaan. Mulai dari rutinnya para kontestan pemilu untuk hadir di acara-acara keagamaan. sampai kebiasaan baru yaitu sedekah sosial yang dikeluarkan oleh para kontestan pada calon pemilih. Dengan demikian Bawaslu akan kesulitan untuk mencari delik yang berkaitan dengan prilaku yang dilakukan oleh para kontesti pemilu 2019.
Peran ghaib dalam dimensi keagamaan juga kerap kali menjadi sasaran empuk. Memanfaatkan tempat ibadah yang esensinya dipergunakan untuk sarana komunikasi manusia kepada yang ghaib (Tuhan nya) menjadi sarana perkenalan diri oleh para kontestan. Seperti yang marak disiarkan berbagai media. Sepanjang tahapan kampanye, banyak ditemukan dugaan pelanggaran kampanye ditempat ibadah. Tentunya sangat disayangkan citra demokrasi yang seharusnya kaya akan gagasan visi misi sehat dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih baik, harus bersinggungan dengan dimensi ini dan kaya akan berbagai isu sara yang berpengaruh pada wajah demokrasi kita.
Disisi lain, Pertarungan dimensi mistisme ditandai dengan maraknya ramalan tentang masa depan, menerawang dimensi “tidak kasatmata” percakapan segelintir elite, memanipulasi kesadaran massa lewat mitos-mitos, mendatangi makam-makam kramat untuk menarik perhatian pemilih dan ma. Inilah fenomena mistik politik itu. Menurut buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950, Mr. G.B.J. Hiltermann dan Prof.Dr.P. Van De Woestijne halaman 971 dibawah kata mystiek) kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis).
“Paham mistik atau mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya”. (Wikipedia contributors. “Mistisisme.” Wikipedia, The Free Encyclopedia. Wikipedia, The Free Encyclopedia, 14 Maret. 2019. Web. 14 Maret. 2019)
Budaya Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara rasional yang lebih maju seperti Jerman dan Jepang. banyak perilaku para calon pemimpin kita yang tidak masuk akal (irasional). Animism dan dinamisme telah lama tumbuh mengakar dan mewarnai bumi nusantara sehingga memang sangat sulit untuk dipisahkan dari “akal sehat” masyarakat.
Gie pernah berkata, bahwa suatu dasar kebudayaan yang kuat tak pernah dapat dikalahkan oleh pengaruh kebudayaan lain. Apa mungkin cara berpikir tentang makhluk ghaib (Mistisme) bangsa Indonesia sudah mengakar kuat dan membudaya, sehingga sulit luntur? Tidak lain, karena terus menerus terdoktrin oleh generasi terdahulu yang mewarisi perbudakan kolonialisme dan feodalisme tradisional. Bahkan hingga saat ini doktrin tersebut masih tumbuh subur berkembang di kancah politik elektoral
Generasi terus berubah menuju kemajuan, tapi tidak semua umat manusi mengalami kemajuan akal sehat. Hampir 74 tahun Negara ini merdeka, tapi nyatanya tidak menjadi dalil bahwa cara berfikir sehat bangsa ini benar-benar bebas. Inilah gambaran realitas bangsa Indonesia. Perbudakan atas mistisme bangsa Indonesia belum bertitik. Mistisme malah menjadi senjata ampuh bagi para kontestan pemilu yang memainkan peran dalam posisi yang setrategis seiring dengan jiwa kebudayaan Indonesia.
Peran ghaib dalam dunia politik yang dimanfaatkan politisi tercermin bukan hanya mengundi nasip pada peramal, tapi juga prilaku mereka yang sering membangun citra kaya akan manipulasi. Kemudian dibangunlah dongeng yang di sebarkan di tenga calon pemilih seperti yang bersangkutan keturunan dari para raja yang memiliki historis mendalam pada masyarakat. Sempat terfikir dalam benak penulis, “Mungkinkah para mahluk ghaib memiliki kubu koalisi yang saling serang kekuatan mistisnya?”
Kancah politik elektoral memerlukan perhitungan yang logis dan rasional. Dapat kita lihat bahwa peran mahluk ghaib dalam kekuasaan merupakan paham yang seharusnya sudah lama ditinggalkan. Pada zaman tradisional, dukun mengandalkan rapalan mantra, jimat, pasang susuk. Di era millennial dukun tradisional seharusnya sudah gulung tikar dan digantikan dengan dukun politik modern dengan mengandalkan lembaga survey, pengamat, dan para broker. Dari analisis inilah para elit politik yang menjadi kontestan pemilu 2019 mengatur strategi yang santun dalam perburuan kursi supra-struktur serta optimis dalam kemampuannya sendiri.
Berbagai data yang dihasilkan dari para analisator harus nya mampu menjadi acuan langkah gerilya para kontestan untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas. Pertarungan yang di nampakkan ke publik merupakan pertarungan akal (Ghazwul Fikri), bukan pertarungan antar hal ghaib dan pertarungan dengan memainkan isu sara yang melibatkan suku, ras, dan agama. Sehingga para kontestan yang lolos menduduki kursi Supra-Struktur merupakan wakil rakyat yang berkualitas yang steril dari pertarungan ghaib.
Ini merupakan citra elektoral yang rasional kaya akan exspresi dalam momentum demokrasi untuk meyakinkan para pemilih. Berbagai tahapan diberikan oleh KPU kepada kontestan pemilu 2019. Dimulai dengan reformasi regulasi sampai longgarnya tahapan kampanye dengan harapan wajah demokrasi Indonesia mengalami kemajuan dan menghasilkan pemilu yang benar-benar sehat. (***)
Tinggalkan Balasan