Setujui Revisi UU KPK, Presiden Jokowi Dianggap Ikut Melemahkan Lembaga Anti Rasuah

Jakarta (SL)-Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menempati janji dalam pemberantasan korupsi dengan menyetujui revisi UU KPK. Jowoki telah menytujui revisi UU KPK dengan mengeluarkan surat Presiden ke DPR tentang persetujuan revisi.

“Jokowi nenyetujui revisi UU KPK dan sudah memberikan surprise ke DPR. Ini artinya Jokowi mengingkari janji saat kampanye dalam pemberantasan korupsi,” kata pengamat politik Muslim Arbi kepada suaranasional, Senin (16/9/2019).

Menurut Muslim, Jokowi tersandera partai politik pendukung yang kadernya terlibat korupsi. “Partai pendukung Jokowi kadernya banyak terlibat korupsi dan konsekuensi dukungan, minta Jokowi menyetujui revisi UU KPK dan presiden menyetujuinya,” paparnya.

Kata Muslim, Jokowi sebagai petugas partai harus mengikuti keputusan PDIP yang menyetujui revisi UU KPK. “Walaupun Presiden Jokowi dalam pidatonya menyatakan mendukung penguatan KPK tapi draf revisi yang diajukan ke DPR justru melemahkan,” jelas Muslim, yang juga menyoroti Jokowi yang tidak mengindahkan capim KPK bermasalah sehingga Irjen Firli bisa terpilih jadi Ketua KPK. “Masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap Jokowi dalam pemberantasan korupsi,” katanya.

Hal yang sama diungkapkan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Dia mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK) menyesatkan.

Meski Jokowi bilang ingin menguatkan KPK namun kenyataan menunjukkan yang sebaliknya. “Menyesatkan kalau dia bilang ke publik masih mendukung KPK,” kata Bivitri saat dihubungi Tempo, Sabtu, 14 September 2019.

Bivitri menjelaskan langkah Jokowi sudah keliru saat ia memutuskan mengirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat yang membuat revisi ini bisa dibahas. Alasannya, kemunculan revisi UU KPK ditengarai menyalahi prosedur.

Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kata Bivitri, peraturan yang bisa dibahas oleh dewan harus masuk dalam program legislasi nasional priotas. Sementara revisi UU KPK tidak ada di dalamnya.

“Jadi dia nyelonong masuk. Ini melanggar undang-undang tadi. Kalau mau bertindak secara hukum dengan benar seharusnya dia (Jokowi) bilang ‘saya menolak karena tidak sesuai dengan undang-undang’. Lah, ini masih dikirim saja surat presiden,” tuturnya.

Surat presiden kepada DPR itu juga menimbulkan polemik. Bivitri menjelaskan DPR seharusnya tidak lagi melahirkan keputusan politik yang memiliki dampak besar sementara masa jabatan mereka di periode 2014-2019 tinggal menghitung hari.

“Ini menyesatkan karena dengan dia mengirim surpres artinya RUU-nya mulai bisa dibahas, secara proses kan, mustahil membuat satu UU yang bagus, yang diperdebatkan dengan baik dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Itu kan mustahil,” katanya.

Dari sisi substansi, Jokowi dinilai ikut melemahkan KPK kala menyetujui adanya dewan pengawas untuk lembaga antirasuah itu. Pandangan Jokowi yang menganggap keberadaan dewan pengawas hal yang wajar dalam mekanisme check and balances disebut tidak tepat.

“Dalam hukum tata negara pengawasan tidak selalu dalam bentuk lembaga tersendiri. Bisa juga dengan mekanisme. Siapa bilang setiap lembaga harus ada lembaga pengawasnya, itu pandangan keliru,” kata dia.

Sikap Jokowi ini, kata Bivitri, mengingkari janjinya menguatkan KPK dalam kampanye pemilihan presiden 2014. “Nah Nawacita itu saya ingat betul di poin ke-4, di rincian program, salah satunya menguatkan KPK. Ini benar-benar bertolak belakang dari janji 2014,” tuturnya.

Presiden Joko Widodo sebetulnya memegang kekuasan besar untuk mencegah “tamatnya” riwayat KPK sebagai lembaga superbodi. Tapi sikap Presiden justru segendang sepenarian dengan manuver DPR. Padahal, Krisis KPK, Presiden Jokowi Sudah Berkali-kali Diingatkan. (net/red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *