Tulangbawang Barat (SL)-Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba) tidak tahu menahu soal buruknya pendataan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) di Tulangbawang Udik. BPS beralasan pihaknya sudah menyerahkan data warga kurang mampu hasil dari Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) Tahun 2015.
Giovani, Seksi Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Tubaba mengatakan, pendataan kemiskinan yang dilakukan BPS Tubaba bedasarkan Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) Tahun 2015. “Kalau di BPS 2015 dilakukan PBDT di wilayah Tubaba. Dalam pendataan melibatkan Aparatur Tiyuh, hingga tokoh masyarakat. Ada juga fasilitator yang menentukan siapa yang berhak menerima bantuan sesuai katagori warga miskin,” ungkapnya.
Ia menambahkan, BPS Tubaba hanya menyerahkan basis data ke Dinas Sosial untuk dilakukan verifikasi ulang. “Kita hanya melakukan pencarian basis data dan basis data tersebut langsung diserahkan ke Dinas Sosial untuk dilakukan verifikasi ulang melihat mana yang berhak menerima atau tidaknya,” paparnya.
Untuk itu, lanjutnya, BPS Tubaba saat ini sedang menunggu verifikasi data ulang dari pemerintah pusat. “Tunggu perintah aja dari pemerintah pusat untuk melakukan pendataan ulang,” singkatnya.
Tidak Pernah Validasi
Di tempat terpisah Rasidi, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tubaba mengakui pihak belum pernah melakukan VeriVali (Verifikasi dan Validasi) data yang baru, karena itu dilakukan oleh BPS, dan terakhir dilakukan tahun 2015.
“Dan pada saat itu ternyata memang data yang diberikan ke kementerian sosial itu tidak sesuai, dan kami semua kepala dinas protes, karena data itu penting sebagai acuan penerima PKH, Rastra, Raskin. Akhirnya keluarlah surat dari Kementerian tahun 2017 kepada kabupaten kota untuk melakukan VeriVali dari data BPS tahun 2015 itu, namun karena kami tidak ada anggaran akhirnya tidak berjalan,” jelasnya.
Berita Terkait: Pendataan PKH ‘Sehago-hago di Tuba Barat, dan Testimomi Menyedihkan dari Dua Nenek Renta
Ia menambahkan, pemerintah daerah dalam pendataan tersebut tidak ada SDM-nya juga, akhirmya dilimpahkanlah ke desa untuk mendata karena mereka pasti lebih tahu. Adapun pendamping PKH itu direkrut Kementrian, bukan dari Dinsos.
“Jadi yang berhak untuk memberhentikan penerima PKH itu adalah Kepala Desa nya, melalui surat Rekom nya. Apalagi saat ini sudah ada penekanan karena di dalam Permendes No 11 Tahun 2019, bahwa Desa itu harus mengadakan pendataan keluarga miskin, kemudian memberdayakan masyarakat yang tidak mampu dengan DD seperti Padat Karya, lalu ada juga bantuan dari DD untuk orang yang terkena penyakit yang akut. Itu kemungkinan akan berlaku ditagih 2021,” ungkapnya.
Jadi lanjutnya, Dinsos tidak berhak untuk memberhentikan penerima PKH, karena penerima PKH itu ada tiga prosedur berhentinya, yaitu ia mengundurkan diri, lalu Komponen nya sudah tidak ada lagi seperti anak-anaknya sudah tidak ada lagi, dan ketiga dipaksa dengan Rekom dari Desa bahwa sudah tidak layak menerima PKH.
“Kalau ada yang masih tidak tepat sasaran Viralkan saja, dalam UU No 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin, bahwa jika ada keluarga kaya mengaku miskin kena sanksi hukuman 2 tahun atau denda Rp 50 juta.Untuk itu, diperlukan musyawarah Desa untuk menentukan siapa yang perlu mendapat bantuan atau tidak, sehingga tidak ada kesimpangsiuran dan tuntutan dari masyarakat karena sudah musyawarah kesepakatan bersama,”pungkasnya.(A.p)
Tinggalkan Balasan