Bandar Lampung (SL)-Sikap profesionalisme penjadi pegangan utama dari berbagai profesi, baik bekerja di ruang lingkup instansi pemerintahan, TNI/Polri, akademisi, pengusaha dan lainnya, termasuk wartawan. Profesional menjadi pegangan seseorang wartawan termasuk media pers, yang tidak bisa lepas dari etika khusus dalam penerapan prinsip-prinsip profesi jurnalistik.

“Dalam melaksanakan tugas, sikap profesionalitas dan beretika baik wartawan adalah menjadi pedoman. Karena seorang jurnalis itu berhubungan langsung dengan masyarakat luas, berbagai kalangan berkaitan dengan pemberitaan yang dimuat dalam media massa, baik media cetak, elektronik, dan online,” kata Wakil Ketua Bidang Pembelaan wartawan PWI Lampung, Juniardi, Rabu 13 Mei 2020.
Hal itu di ungkapkan Juniardi saat menjawab banyaknya pertanyaan pejabat di Lingkungan Kanwil Kemenhumham Lampung, dalam Kegiatan Penguatan Fungsi Kehumasan kepada seluruh Humas Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dan Keimigrasian se-wilayah Lampung yang digelar secara virtual di Ruang Rapat Divisi Administrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Lampung, Rabu 13 Mei 2020.
Menurut Mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung ini, profesi wartawan merupakan suatu pekerjaan demi kepentingan masyarakat luas. Jika pekerjaan tersebut dimanfaatkan dengan baik dan tanpa melanggar kaidah-kaidah jurnalistik, maka seorang jurnalis itu akan mendapatkan kepercayaan penuh dari masyarakat atau pembaca, pemirsa.
Tugas wartawan diatur dalam Undang-Undangn Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Artinya, dari liputan atau hasil karya jurnalis tersebut meliputi kode etik jurnalistik yang harus diikuti saat bertugas, maka standar kompetensi itu menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.
“Profesionalisme dalam pemberitaan merupakan keharusan bagi seorang jurnalis, contoh tidak menyebutkan nama dan identitas korban kejahatan asusila, tidak memberitakan informasi yang menyesatkan untuk masyarakat, wartawan dilarang beropini dalam suatu berita serta hal serupa lainnya.” kata alumni Magister Hukum Unila ini.
“Wartawan berbeda dengan para pengelola media sosial termasuk bloger yang juga merupakan orang yang memanfaatkan informasi teknologi, untuk menyampaikan sesuatu yang mungkin saja terkait dengan berbagai kejadian di tengah masyarakat,” katanya.
Mereka (para bloger), kata Juniardi, juga bisa menulis opini dengan menggunakan referensi yang mungkin saja akurat, tetapi tidak menutup kemungkinan akan terdapat kekeliruan, bahkan beberapa di antaranya (para bloger) cenderung memanfaatkan demi kepentingan tertentunya saja. “Oleh sebab itu, mereka tidak berpedoman menyangkut kode etik jurnalistik tersebut, karena tidak ada keterkaitan langsung dengan khalayak atau masyarakat publik sebagaimana yang dilakukan para wartawan,” katanya.
Wartawan profesional, lanjut Juniardi, adalah mampu menjaga keseimbangan berita, menjunjung tinggi ketidakberpihakan dan menjaga etika profesi. Karena, untuk menjadi wartawan yang sesungguhnya yaitu tidak cukup hanya mengandalkan mampu dalam menulis berita, akan tetapi bagaimana mampu menguasai dari berbagai hal atas ketentuan yang diberlakukan dalam ilmu jurnalistik tersebut.
“Kecepatan dan ketelitian menjadi kompetensi yang diharapkan media dari profesi seorang jurnalis, dikarenakan pekerjaan itu mengemban tanggung jawab yang sangat besar terhadap masyarakat atau publik. Konsekuensi jurnalis profefional adalah berperan membantu masyarakat dalam berbagai macam fenomena yang terjadi,” ujarnya.
Apalgi, di tengah perkembangan teknologi begitu pesat seperti saat ini tentunya banjir informasi yang diperoleh masyarakat. “Maka jurnalis bagaimana memberikan mana berita yang dapat dipercaya, dan dapat diyakini kebenarannya serta akurasi suatu berita. Setiap berita yang disajikan harus ada keseimbangan dan jangan sampai terjadinya kerugian dari salah satu pihak,” katanya.
Seorang jurnalis bisa menyandang gelar profesional apabila mampu memahami apa tugas dan tanggung jawabnya, serta bagaimana jurnalis harus menjalankan profesinya dengan baik, benar dan berkesinambungan. “Jurnalis profesional harus memahami kode etik jurnalistik secara menyeluruh, namun dalam kegiatan jurnalistik dan se-profesional seorang wartawan tentu tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang pada kenyataannya tidak disengaja,” katanya.
Karena itu, Juniardi juga mengajak Hubungan Masyarakat (Humas) Kemenhumham yang merupakan bagian dari implementasi fungsi manejemen kebijakan Departemen Hukum dan HAM untuk lebih proaktif dan rensponsif dalam menanggapi dan meluruskan berbagai permasalahan dan isu aktual yang tengah berkembang di masyarakat, sehingga tidak terjadi distorsi informasi dan komunikasi di masyarakat.
“Jika ada pemberitaan media, yang sepertinya memang tidak sesuai fakta, dan menyangkut nama baik lembaga, maka akan lebih baik cepat direspon sesuai kaidah UU Pers, misal segera gunakan haka jawab, lakukan sanggahan berita, minta lakukan koreksi berita, karena wartawan dan medianya, wajib memenuhi hak jawab, segera cepat meralat, dan melakukan koreksi atas berita yang di muat,” katanya.
Juniardi, yang juga pengurus Bidang Advokasi Serikat Medis Siber Indonesia (SMSI) Republik Indonesia, didampingi Kepala Bagian Program dan Humas, Basnamara, JFT Penyuluh Hukum Madya, Muhammad Zuhri dan JFT Penyuluh Hukum Muda, Erwin Setiawan Yunianto.
“Medis pers berbeda dengan media sosial. Meski media sosial juga dapat bersumber dari berita jurnalistik. Jika berita itu telah terbit, yang menjadi penanggung jawabnya itu tidak lagi wartawan, melainkan sudah menjadi tanggung jawab medianya,” katanya.
Menjelang akhir teleconference, Juniardi membagikan tips dan trik tentang bagaimana membangun citra positif melalui kehumasan, diantaranya mengemas kegiatan dalam bentuk berita dengan baik, melakukan edukasi terhadap rekan-rekan media agar bersikap profesional dengan mengambil berita dari sumber yang valid. Membangun komunikasi dengan wartawan, dan jika terjadi kesalahan terkait pemberitaan dianjurkan menggunakan hak sebagai narasumber. (Red)
Tinggalkan Balasan