Eks KPU Wahyu Setiawan Siap Bongkar Kecurangan Pemilu Hingga Pilpres, Pengacara Yang Ngomong Dicabut Kuasa Hukumnya

Jakarta (SL)-Terdakwa kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, Wahyu Setiawan mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC). Eks Komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum) itu ingin menjadi JC untuk membongkar dugaan praktik kecurangan dan suap dalam Pemilu, dari Pilpres, Pileg, hingga Pilkada.

“Sudah diajukan kemarin setelah sidang,” kata salah satu tim penasihat hukum Wahyu, Saiful Anam saat dikonfirmasi, Selasa 21 Juli 2020 kepada wartawan di Jakarta.

Menurut Saiful, Wahyu juga siap membongkar pihak-pihak yang terlibat dalam perkara yang menjeratnya saat ini. Selain itu, Wahyu juga bakal ‘bernyanyi’ terkait kecurangan pemilu. “Semuanya, tidak hanya yang terlibat PAW, tetapi terkait kecurangan Pemilu, Pilpres dan Pilkada, akan diungkap semua,” kata Saiful.

Kuasa hukum Wahyu, lainnya Tony Akbar Hasibuan mengatakan, Wahyu akan membongkar sejumlah pihak yang belum tersentuh dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat Wahyu. “Justice collaborator diajukan hanya berkaitan dengan dakwaan jaksa penuntut umum KPK yaitu dugaan suap pergantian antarwaktu Harun Masiku dan seleksi anggota KPU Papua Barat,” kata Tony, Rabu 22 Juli 2020, dilangsir kompas.com.

Terkait penernyataan Saiful yang sempat menyebut Wahyu akan membongkar kecurangan pada Pemilu 2019 lalu. Pernyataan itu diluruskan oleh Tony. “Menurut pemberitaan media yang ada, menyatakan bahwa Wahyu Setiawan mengajukan justice collaborator (JC) akan membongkar kecurangan pilpres dan pilkada merupakan pernyataan pribadi saudara Saiful Anam,”Bukan pernyataan resmi Bapak Wahyu Setiawan, maka dengan ini kami sampaikan klarifikasi,” kata Tony.

Tony mengatakan, Wahyu telah mencabut kausa yang diberikan kepada Saiful. Namun, Tony menyebut pencabutan kuasa tak berkaitan dengan pernyataan Saiful. “Tidak soal itu, Pak Saiful-nya sedang fokus pada penanganan perkara yang ada di luar kota, jadi tidak bisa fokus membantu perkara Pak Wahyu,” ujar Tony.

Tony berpendapat, kliennya berhak memperoleh JC karena Wahyu telah menyampaikan seluruh keterangan dengan benar dan bertindak kooperatif selama penyidikan hingga persidangan. Kemudian, barang bukti uang dugaan suap perkara tersebut juga telah dikembalikan secara sukarela oleh Wahyu di tingkat penyidikan.

“Bahwa berdasarkan uraian poin 1 sampai dengan poin 3 di atas, menjadikan alasan diajukannya permohonan justice collaborator (JC) pada persidangan agar dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dan Pimpinan KPK,” kata Tony.

Sementara Saiful membenarkan soal pencabutan kuasa terhadap dirinya, “Saya ada perkara di luar kota,” kata saiful yang mengatakan, KPK semestinya harus mempertimbangkan pengajuan JC tersebut untuk membuktikan bahwa KPK serius membongkar dugaan-dugaan korupsi yang diketahui Wahyu.

“KPK serius enggak nih, gong sudah diberikan, ini kan mau nyanyi, istilahnya mic sudah diserahkan, tinggal mau enggak KPK memperbesar volume mic-nya,” kata Saiful dialngsir Kompas.com

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan, pihaknya tak mempersoalkan langkah Wahyu yang mengajukan diri sebagai JC. “KPK akan mempertimbangkan serta menganalisanya sesuai fakta-fakta di persidangan dan tentu jika dikabulkan akan menjadi faktor yang meringankan hukuman yang dijatuhkan jika ia dinyatakan bersalah menurut hukum,” kata Ali.

Namun, Ali menyebut Wahyu mestinya bersikap terbuka sejak awal penyidikan hingga persidangan terhadap perkara yang menjeratnya saat ini maupun kasus-kasus lain yang hendak ia bongkar. “Dan tentu didukung bukti yang konkret bukan menyatakan sebaliknya misalnya jika diberikan JC baru akan membuka semuanya,” ujar Ali.

Ali menambahkan, bila JC tidak dikabulkan, Wahyu masih dapat menjadi whistleblower dengan menyampaikan kasus-kasus lain yang ia ketahui dengan disertai data dan bukti yang jelas kepada KPK. Ali memastikan KPK akan melakukan verifikasi dan menindaklanjutinya apabila kasus tersebut menjadi kewenangan KPK.

Wahyu kini berstatus sebagai terdakwa kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR RI periode 2019-2024. Dalam kasus ini, Wahyu bersama mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridellina didakwa menerima suap sebesar Rp600 juta dari eks staf Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto bernama Saeful Bahri dan eks caleg PDI-P Harun Masiku.

Dalam dakwaan dijelaskan bahwa Agustiani menjadi perantara suap antara Harun Masiku dan pihak swasta yang juga kader PDI-P Saeful Bahri. Uang tersebut diberikan agar Wahyu bisa membujuk Komisioner KPU lainnya dan menerbitkan keputusan hasil pemilu hingga Harun bisa segera menggeser caleg Riezky Aprilia yang memiliki jumlah suara lebih banyak daripada Harun.

Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani didakwa melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Selain itu, Wahyu juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp500 juta terkait proses seleksi calon anggota KPU daerah (KPUD) Provinsi Papua Barat periode tahun 2020- 2025. (kmps/red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *