Bandar Lampung (SL)-Buron Satono yang belum juga tertangkap meninggalkan persoalan baru terkait aset aset yang dapat digunakan untuk mengembalikan Rp117 miliar APBD Lampung Timur. Pasalnya aset aset itu kini banyak berpindah tangan dan diperjual belikan. Salah satunya termasuk lahan dan gedung yang kini menjadi kantor OJK Lampung. Bahkan data lain menyebutkan ada lebih dari 500 unit mobil Alay yang kini entah dimana rimbanya.
Data yang diperoleh sinarlampung.co menyebutkan kronologis bermula saat Satono selaku Bupati Lamtim dituduh melakukan Tindak Pidana Korupsi karena telah menyimpan Dana APBD Lampung Timur di Bank Swasta (PT. BPR Tripanca Setiadana) milik Sugiarto Wiharjo selaku Komisaris Utama sekaligus Pemilik PT. BPR Tripanca Setiadana. Kemudian PT. BPR Tripanca Setiadana dinyatakan Bank Gagal Bayar (Likuidasi) yang mengakibatkan tidak dapat ditariknya Dana APBD Lamtim sebesar Rp106 miliar.
Hal itu menjadi kekhawatiran Satono yang kemudian mengajukan Gugatan Perdata terhadap PT. BPR. Tripanca Setiadana ke Pengadilan Negeri (PN) Kelas I A Tanjung Karang. Tujuannya mengembalikan dana APBD Lamtim yang disimpan PT.BPR Tripanca Setiadana milik Sugiarto Wiharjo.
Gugatan Satono diajukan Kuasa Hukumnya saat itu, Sopian Sitepu dan Sumarsih dari LBH Nasional Bandar Lampung, yang terdaftar di Register Perkara Nomor: 10/PDT.G/2009/PN. TK. Perkara gugatan berakhir dengan Perdamaian yang dituangkan di Akat Perdamaian Nomor : 10/PDT.G/2009/PN. TK 19 Maret 2009.
Dalam akta perdamaian itu, Sugiharto Wiharjo akan menyerahkan 100 (Seratus) Bidang Tanah senilai Rp106 miliar ke Satono selaku Pribadi maupun selaku Bupati Lamtim. Tapi pada kenyataan, Sugiarto Wiharjo tidak menyerahkan seratus bidang obyek tanah itu.
Akhirnya PN Kelas 1A Tanjung Karang pada Tanggal 26 Mei 2009 menerbitkan Penetapan Nomor : 09/EKS/2009/PN. TK Tanggal 26 Mei 2009 guna melaksanakan Sita Eksekusi terhadap 100 Bidang Tanah Milik Sugiarto Wiharjo sebagaimana yang tercantum di Akta Perdamaian di maksud.
Pada tanggal 28 Mei 2009 sampai dengan 1 Juni 2009, M. Marwan Djaja Putra S.H. selaku Juru Sita pada PN Kelas 1A Tanjung Karang, yang berdasarkan Surat Perintah Tugas Nomor : 12/PAN/2009/PN.TK Tanggal 26 Mei 2009 telah melaksanakan Sita Eksekusi terhadap 66 (Enam Puluh Enam) Bidang Tanah/Obyek Sita yang terletak di Bandar Lampung sebagaimana tertuang dalam berita acara penyitaan eksekusi (Executorial Beslag) Nomor : 09/EKS/2009/PN.TK.
Berdasarkan berita acara itu seharusnya kuasa hukum Satono Sopian Sitepu dan Sumarsih mengajukan Lelang Sita Eksekusi. Uang hasil lelang lalu diserahkan ke Satono selaku Bupati atau ke Pemkab Lampung timur. Tapi, kedua kuasa hukum ini tidak menyerahkan uang hasil eksekusi tersebut. Yang berdasarkan hitungan Surat Keterangan Nilai Obyek Pajak (SK-NJOP) oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung mencapai Rp245, 177 Milyar lebih.
Dengan tidak diserahkan uang hasil Lelang Sita Eksekusi, telah menyebabkan Satono menjadi terpidana korupsi dan kini DPO. Padahal jelas ditemukan adanya indikasi ada 66 obyek Sita Eksekusi yang telah berpindah-tangan ke-Pihak ketiga.
“Ada sedikitnya 66 (enam puluh enam) Obyek Sita Eksekusi yang telah berpindah tangan kepihak ketiga dengan cara jual-beli dibawah tangan, dan hal ini dapat terjadi dikarenakan Sopian Sitepu dan Sumarsih telah melakukan Pengangkatan Sita Eksekusi,” kata Kuasa Hukum istri Satono, Amrullah.
Dalam Berita Acara Pengangkatan Sita Eksekusi NOMOR: 09/Eks/2009/PN.Tk tanggal 01 Maret 2011, yang ditandatangani Sumarsih, S.H. dan Sugiarto Wiharjo. Lalu berita acara pengangkatan Sita Eksekusi Nomor: 09/Eks/2009/PN.Tk tanggal 10 Maret 2011, yang ditandatangani Sopian Sitepu, S.H., M.H. dan Sugiarto Wiharjo. Kemudian Berita Acara Pengangkatan Sita Eksekusi Nomor: 09/Eks/2009/PN.Tk tanggal 12 Februari 2013, Yang ditandatangani Sopian Sitepu, S.H, M.H. dan Sugiarto Wiharjo (tidak ditandatangani DPO).
Kini Isteri mantan bupati Lampung Timur Satono sudah melaporkan tujuh terduga penjualan puluhan asetnya ke Mabes Polri. Aset-aset itu rencana buat pengembalian Rp117 miliar APBD Lampung Timur itu ke Mabes Polri. Ketujuh orang yang dilaporkan Rice Megawati, isteri Satono, adalah Sopian Sitepu, Sumarsih, Sugiarto Wiharjo, Puncak Indera, Hengky Wijaya alias Engsit, Honggo Wijaya, dan Ricky Yunaraga.
Aset yang diduga telah diperjualbelikan oleh bekas advokat Santono, Sopian Sitepu dan Sumarsih, tak termasuk aset yang disita penyidik atas kasus Bank Tripanca. “Sekitar dua minggu lalu, kami sudah melaporkannya ke Mabes Polri,” ujar Amrullah dari Kantor Law SAC, Senin 24 Agustus 2020.
Menurut Amrullah, membenarkan bahwa mengadukan penjualan aset-aset tersebut pihaknya sudah terlebih dahulu konsultasi dengan Tim II SPKT Bareskrim Mabes Polri. “Masalah ini berawal dari tuduhan korupsi terhadap Satono atas penyimpanan dana APBD Lampung Timur ke BPR Tripanca Setiadana. BPR Tripanca Setiadana gagal bayar (likuidasi) sehingga dana APBD Lampung Timur sebesar Rp106 miliar tidak dapat ditarik kembali oleh Satono,” katanya.
Satono menggugat BPR Tripanca Setiadana ke PN Kelas I A Tanjungkarang. Ternyata, aset-aset tersebut telah diperjualbelikan Sopian Sitepu, Sumarsih, dan Sugiarto Wiharjo alias Alay. Pengadilan akhirnya menetapkan sita eksekusi atas 100 bidang tanah Alay dalam akte perdamaian pada tanggal 26 Mei 2009.
“Berdasarkan berita acara eksekusi itu, kuasa hukum Satono saat itu, Sopian Sitepu dan Sumarsih seharusnga mengajukan lelang sita eksekusi agar dananya bisa diserahkan kepada Satono. Tapi, ternyata, kedua kuasa hukum ini tidak menyerahkan uang hasil sita eksekusi kepada Satono. Terhitung 23 November 2009, surat kuasa kedua lawyer dicabut Satono,” kata Amrullah.
“Patut diduga terjadi malpraktek, pengacara penggugat sekaligus tergugat. Termasuk, mereka yang diduga telah membeli sejumlah aset-aset tersebut, yakni Puncak Indera, Hengky Wijaya alias Engsit, Honggo Wijaya, dan Ricky Yunaraga. Berdasarkan bukti-bukti ini, pihaknya berharap Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri turun tangan memeriksa pihak terkait tersebut,” katanya.
Penjelasan Sopian Sitepu Masih Jadi Pengacara Satono
Terkait pengaduan itu, Sopian Sitepu, S.H, M.H, Penasehat Hukum dari Yayasan LBH Nasional mengatakan akta Damai tahun 2009 itu dibuat sebagai upaya terakhir dari berbagai upaya/juga upaya orang terdekat Hi. Satono, S.H., SP., untuk mencari aset Sugiarto Wiharjo.
“Akhirnya diketahui semua aset Sugiarto Wiharjo sudah menjadi Agunan di beberapa Bank. Akta Damai ini adalah Akta yang dibuat secara sukarela antar Kedua Belah Pihak, dimana Sugiarto Wiharjo telah rela dan setuju, maka beliau mau tanda tangan dalam Akta Damai,” kata Sopian Sitepu, yang bersama Sumasih sempat mendatangi Pengadilan Negeri Tanjung Karang Untuk meminta Inzage (pemeriksaan berkas perkara,Red) yang ditolak karena tidak memenuhi legal standing.
Menurut Sopian Sitepu, salahsatu syarat yang diajukan tidak mempersulit penyelesaian di Bank. “Jadi tujuan utamanya adalah kalau ada kelebihan aset dari nilai seluruh Pinjaman Kredit Bank dari Pemegang Hak tanggungan akan diserahkan kepada Pemkab Lamtim. Syarat itu juga disetujui Hi. Satono, dan pada akhirnya keduanya bertanda tangan,” katanya.
Sopian menjelaskan jika pelapor atau pengadu yang mengatasnamakan pihak ahli waris Hi. Satono, S.H., SP., yang mewakili Pemkab Lamtim agar aset yang tertuang dalam Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009, dapat diserahkan atau dilelang sebagai pengembalian Kasda Lamtim, tidak memiliki legal standing untuk mewakili Pemkab Lamtim. “Sebab perkara ini adalah antara Pemkab Lamtim dan PT. BPR Tripanca Setiadana, Podiyono dan Raden Sudarman selaku Termohon Eksekusi,” katanya.
Terkait dengan Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 yang dilanjutkan dengan Permohonan Eksekusi dan terbitnya Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009, adalah didasari saat itu PT. BPR Tripanca Setiadana dalam kondisi kesulitan likuiditas dan tidak terbayarnya tabungan Pemkab Lamtim di PT. BPR Tripanca Setiadana. Sedangkan LPS hanya menjamin sebesar Rp2 miliar,
Dalam kondisi itu aset PT. BPR Tripanca Setiadana juga tidak memiliki aset yang cukup untuk menutupi seluruh Nasabah Penabung pada PT. BPR Tripanca Setiadana termasuk tabungan Pemkab Lamtim. Sehingga saat itu Hi. Satono, S.H., S.P., meminta Kantor LBH-Nasional untuk mencari dan mengajukan gugatan kepada PT. BPR Tripanca Setiadana dan Direktur serta Komisarisnya untuk bertanggungjawab.
“LBH-Nasional kemudian diberi data aset atas nama Sugiarto Wiharjo dan atas nama pihak lain yang diduga milik Sugiarto Wiharjo, untuk dilakukan Sita Jaminan, yang saat itu aset itu telah menjadi Jaminan di beberapa Bank antara lain: Bank Mandiri dan BRI Cabang Tanjungkarang dan beberapa Bank lagi untuk agunan atau jaminan PT. Tripanca Group, dimana Sugiarto Wiharjo selaku Pemegang Saham Mayoritas,” urainya.
Berdasarkan hal ini, Lanjut Sopian Sitepu, maka diajukan gugatan dan mencantumkan aset yang menjadi angunan dibeberapa Bank di Pengadilan. Lalu saat proses persidangan di Pengadilan berlangsung, PT. BPR Tipanca Setiadana dan Sugiarto Wiharjo menyetujui dibuat Akta Damai dengan aset yang diagunkan tersebut.
“Intinya bertujuan jika seluruh kewajiban atau utang Sugiarto Wiharjo telah terpenuhi atau terbayarkan kepada Pihak Bank (Kreditor Pemegang Hak Tanggungan) dan kalau masih ada aset yang tersisa atau nilai uang yang lebih atas pelelangan aset tersebut, setelah pembayaran hutang Pihak Bank, maka asset/hasil lebih pelelangan aset akan diserahkan seluruhnya ke Pemkab Lamtim,” katanya.
Belakangan, lanjutnya, PT. Tripanca Group yang bergerak dibidang Komoditas Pertanian terjadi krisis ekonomi dan harga Komoditas Pertanian anjlok. Akibatnya seluruh kreditur PT. Tripanca Group mengajukan gugatan kepada PT. Tripanca Group dan Sugiarto Wiharjo, termasuk menuntut atas aset Sugiarto Wiharjo yang ada di beberapa Bank tersebut.
“Bahwa gugatan terhadap PT. Tripanca Group dan Sugiarto Wiharjo juga bukan hanya kreditur (supplier) Komoditas Pertanian saja, tetapi ada juga sebagian dari Pemilik Agunan sebenarnya, karena merekalah yang memiliki agunan yang diagunkan Sugiarto Wiharjo pada beberapa Bank dan termasuk dalam Akta Damai Nomor: 10/Pdt/G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009,” katanya.
“Yang mana saat itu agunan-agunan itu dipinjam/disewa oleh Sugiarto Wiharjo dan dibuat Perjanjian Jual Beli ‘pura-pura’, sehingga Sugiarto Wiharjo telah dilaporkan dan dijatuhi Pidana Penipuan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang seperti Perkara Nomor: 1270/Pid.B/2009/PN.Tk jo. Nomor: 1505/Pid.B/2009/PN.Tk dan beberapa putusan pidana,” urai Sopian Sitepu dalam pres rilisnya.
Lalu, Soal Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 yang selanjutnya dilakukan Permohonan Sita Eksekusi dan terbit Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk. tanggal 26 Mei 2009, dengan adanya Putusan PT. Tripanca Group sebagai Debitur Pailit sesuai Putusan Pengadilan Niaga, maka Kurator PT. Tripanca Group mengirim Surat kepada PN Tanjungkarang dan juga kepada LBH-Nasional.
Intinya, lanjut Sopian Sitepu, untuk menghentikan proses eksekusi Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009 dan Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 dikategorikan sebagai Akta Damai yang melawan hukum oleh Kurator melalui Suratnya tersebut. Dimana Kurator mendasarkan Suratnya kepada PN Tanjungkarang adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan UU Nomor 37 Tahun 2004, yang menentukan:
“Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan pengurus. Semua sita yang telah diletakkan gugur dan dalam hal Debitor disandera. Debitor harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta Debitor.” katanya
Bahwa sebagaimana isi ketentuan Surat yang diuraikan di atas, maka aset dalam Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009 adalah Hak Tanggungan yang ada dibeberapa Bank. Antara lain BRI dan PT. Bank Mandiri serta PT. Tripanca Group adalah Debitur Pailit.
Sehingga Kurator yang telah mengirim Surat kepada PN Tanjungkarang dan juga kepada Kantor LBH-Nasional menyatakan Akta Damai yang didalamnya aset atas nama Sugiarto Wiharjo yang dijadikan agunan pada PT BRI, Bank Mandiri atas fasilitas kredit PT. Tripanca Group dinilai oleh Kurator sebagai Boedel Pailit, sehingga Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009 adalah cacat hukum.
Untuk itu, Kurator menegaskan harus dilakukan Pengangkatan Sita. Bahwa selain permintaan Kurator itu, Pengangkatan Sita ini juga sudah dikonsultasikan ke Satono dan atas persetujuannya sebelum menjadi buronon Kejati Lampung. “Atas kecurigaan Rekan/Pelapor kepada Kami telah melakukan penjualan aset di bawah tangan, sehingga tidak ada yang masuk ke Kas Lamtim,” katanya.
Artinya, perlu dicermati bahwa objek yang tercantum dalam Akta Damai, semua sudah terpasang Hak Tanggungan (dalam jaminan hutang Bank), baik Surat-surat (Sertifikat), Objek tanah, tidak ada satupun aset yang Kami kuasai. “Penjualan objek oleh Bank tidak melibatkan Kami. Kami tidak pernah menerima pembayaran apapun dari tanah/objek tersebut. Jadi kalau Rekan menyatakan Kami telah menggelapkan uang hasil penjualan aset Sugiarto Wiharjo atau Perusahaannya, sebagaimana Pasal 374 KUHP, maka Kami tegaskan bahwa hal itu adalah Fitnah. Kalau tidak menerima, maka uang mana yang dicuci. Uang apa?,” tulis Sopian Sitepu.
Ditambahkannya, pada saat itu dan sampai saat ini, pihaknya masih bersama dengan Satono, sebagai Penasihat Hukum Perkara Pidana dan Kuasa Hukum Perkara Perdata. Yaitu pada Akta Damai Aquo, sebelum beliau menjadi buron sekitar tahun 2012 dimana pihaknya masih mengurus perkara-perkara beliau.
“Sampai saat ini, beliau tidak pernah memberitahukan kepada Kami tentang adanya Pencabutan Surat Kuasa. Tidak ada Surat Tembusan atau Pemberitahuan secara lisan, sehingga kalaupun dikatakan ada Surat Pencabutan Kuasa dari Hi. Satono, S.H., S.P. kepada Kami,” katanya.
Maka Surat Pencabutan Kuasa itu perlu dipertanyakan keasliannya. “Bahkan awal-awal Pengangkatan Sita, Kami tetap jelaskan dan konsultasikan kepada beliau. Beliau sering mengatakan jangan mempersulit, kalau tidak ada manfaatnya bagi kita. Karena harapan awal dari Akta Perdamaian itu adalah kalau ada aset lebih atas pembayaran hutang Sugiarto Wiharjo dan Perusahaannya,” papar Sopian Sitepu.
Untuk itu, Sopian Sitepu menghimbau pengadu agar mengkaji dan menguji kebenaran pelaporannya. Sehingga tak merugikan pihak yang tidak melakukannya. “Sebab kami tidak pernah melakukan lelang eksekusi terhadap aset Sugiarto Wiharjo. Kejadian ini sudah lebih dari 10 tahun, maka Kami sudah banyak lupa. Apakah fotokopi Surat-surat itu benar atau tidak, masih harus dilihat dahulu Surat-surat aslinya,” katanya. (red)
Tinggalkan Balasan