Bandar Lampung (SL)-Pantai Quin Arta Pesawaran perbatasan Lempasing yang akan dibanguan dermaga swasta itu kini mandek. Bahkan tidak bisa dilanjutkan karena lokasi tersebut masuk salah satu aset dalam status sita jaminan perkara inkracht Alay vs Satono atau Pemkab Lampung Timur. Tanah itu dijual oleh Puntjak Indra dan Budi Winarto yang juga masih dipenjara dalam kasus APBD Lampung Tengah, kepada Donny menantunya Fredrik Yunadi (yang juga masih dibui).
Penyusuran sinarlampung, Pantai dengan lahan hampir 9 hektar itu, di jual dengan harga Rp25 miliar dan baru dibayarkan Rp12,5 miliar. Dan yang Rp10 miliar sempat disebutkan diserahkan ke Kejati Lampung, sebagai ganti rugi negara. Sisanya Rp2,5 miliar tidak jelas, termasuk kekurangan pembayaran Rp12,5 miliar sisanya.
Dalam hal transaksi penjualan melibat beberapa orang pengacara, termasuk ada oknum Jaksa Kejati Lampung yang ikut dalam memuluskan proses penjualan pantai Quin Arta. Bahkan saat proses eksekusi Pengadilan Pesawaran juga sempat di halangi oknum aparat yang berjaga dilokasi. Meski di sita namun pengadilan tidak boleh memasang plang apapun dilokasi tersebut.
Kuasa hukum Amrullah, S.H. dari kantor Law Firm SAC & Partners membenarkan pihaknya telah mengajukan sita eksekusi itu. “Kami sudah mengajukan sita eksekusi terhadap objek sita jaminan perkara dimaksud, yaitu salah satunya berupa tanah pantai seluas hampir 9 hektar di Lempasing Pesawaran, yang dikenal dengan sebutan queen artha,” kata Amrullah.
“Objek sita yang kami mohonkan sita eksekusi dan sudah dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Pesawaran tersebut, berdasarkan hasil investigasi kami dan saat dilakukan eksekusi setempat oleh PN Pesawaran itu objek sita jaminan jugapun sudah di dalam tahap pengalihan kepemilikan,” katanya.
“Dan kamipun faham bahwa objek sita jaminan tersebut dijual oleh Puntjak Indra dan Budi Winarto kepada Donny warga Surabaya, yang juga kami ketahui bahwa uang transaksi atas objek sita tersebut diserahkan ke Kejati Lampung yang beberapa waktu lalu menjadi berita di media-media yang ada di Lampung dan berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat itu uang penjualan lebih besar jumlahnya dari yang sudah diserahkan ke Kejati Lampung yang hanya Rp 10 Milyar,” lanjut Amrullah
Amrullah menjelaskan terhadap objek sita eksekusi yang sudah rampung dilaksanakan oleh PN Pesawaran tentang tanah pantai Queen Artha tersebut pihaknya sudah mengajukan pemblokiran di BPN Pesawaran berdasarkan semua dokumen hukum yang berkenaan dan bersifat mengikat tersebut.
“Dan BPN Pesawaran karena bukti sita eksekusi tersebut langsung ikut menetapkan sita sehingga status tanah pantai Queen Artha itu menjadi dalam sita PN Pesawaran dan BPN Pesawaran, yang tentunya itu bukan lagi hanya sekedar dalam status blokir, untuk itu dalam kesempatan ini kami menghimbau agar pihak-pihak terkait dapat mematuhi ketentuan hukum dan kepada para notaris maupun PPAT agar mencermati hal tersebut sebelum tersangkut fenomena hukum dimaksud,” katanya.
Sementara Irfan Balga, S.H menambahkan bahwa sebuah pesan moral dari pihaknya janganlah bermain-main dan menukangi hukum, “Ini pesan moral kami. Jangan mencari kesempatan ketika keadaan gawat darurat, Satono melarikan diri, segalanya yang sudah masak dan tersembunyi malah dengan sembunyi-sembunyi kemudian dipanen bak panen raya telah tiba,” katanya.
Aset Pantai Quin Arta
Sebelumnya soal aset yang sama berupa Pantai Queen Artha yang ada di wilayah perbatasan Lempasing Pesawaran. Tanah itu juga sempat dijadikan objek perjanjian antara Puntjak Indra dan Budi Wibarto dengan Alay, saat alay masih dipenjara di lapas Rajabasa.
Tanah tersebut juga dalam status sita jaminan perkara inkracht Alay vs Satono atau Pemkab Lampung Timur. Tanah itu dijual oleh Puntjak Indra dan Budi Winarto yang juga masih dipenjara dalam kasus APBD Lampung Tengah, kepada Donny menantunya Fredrik Yunadi (yang juga masih dibui).
Duit penjualan tanah tersebut diserahkan ke Kejati Lampngg Rp10 miliar beberapat waktu yang lalu. Kemudian tanah objek sita jaminan itu dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Pesawaran. Persoalannya sisa pembayaran jual aset kasus tersebut akhirnya tertahan. Bahkan ada indikasi sisa yang lain sepertinya sudah dibayar juga tidak sampai juga ke Kejati Lampung.
Sumber sinarlampung menyebutkan bahwa kelaziman hukum dari Penetapan Perdamaian dengang konsekuensi Sita Jaminan adalah bahwa pihak yang menang perkara wajib memohon Sita Eksekusi atas Penetapan dan atau Putusan yang sudah inkracht. Permohonan Eksekusi sudah diajukan oleh pihak Pemkab Lampung Timur melalui PH, kemudian Eksekusi atas objek-objek sita jaminan tersebut sudah dilaksanakan oleh PN Tanjung Karang dan dibuktikan dengan Berita Acara Eksekusi.
Masalah hukumnya timbul lagi karena eks PH Pemkab Lamtim tanpa kewenangan hukum (Kuasa sdh dicabut) dan tanpa alasan logika secara diam-diam malah mengangkat Sita Eksekusi (meminta pembatalan eksekusi yang sah). Pengajuan pengangkatan sita eksekusi tersebut oleh Sopian Sitemu dan Sumarsih, itu saat Satono sudah berstatus buron.
Jika Sopian Sitepu mengatakan bahwa pengangkatan sita eksekusi atas perintah dan keinginan Satono, sementara Satono dengan status buron. Pertanyaan di mana dan bagaimana eks Penasehat Hukum Pemkab Lamtim bertemu dan berkomunikasi dengan Satono yang buron? Catatan penting saat angkat Sita Jaminan dan BA Eksekusi terhadap Sita Jaminan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang saat Satono sudah mencabut Kuasa hukum kemudian Satono juga ngilang. (Red)
Tinggalkan Balasan