Dr Yusdianto: Penjual Aset Penetapan Sita Eksekusi Lahan Pantai Quint Artha Alias Sahara Bisa di Pidana

Bandar Lampung (SL)-Pakar hukum Dr Yusdianto SH, MH, yang juga Staf pengajar Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila) melihat terjadi kejanggalan atas penjualan aset milik terpidana Tindak Pidana Korupsi (TPK), Sugiarto Wihardjo Alias Alay Tripanca, pada objek Pantai Queen Artha di Kabupaten Pesawaran seluas lebih dari 8,8 hektare, yang ternyata telah diletakkan Sita Eksekusi berdasarkan Penetapan Sita Eksekusi Nomor: 09/Eks/2009/PN.TK, 26 Mei 2009.

“Pertanyaannya mengapa jaksa eksekutor tidak melakukan penyitaan, jika memang itu harta terpidana Alay sehingga dapat dijual melalui lelang. Tapi ini terkesan dijual “diam-diam” dan tak melalui lelang. Heran juga saya, mengapa bisa seperti ini,” kata Yusdianto, menanggapi lambatnya pengembalian uang negara atas kasus tersebut.

Alumni Starta Tiga Universitas Padjajaran menyebutkan dalam putusan pidana korupsi biasanya ditegaskan tiap terpidana diharuskan membayar uang pengganti sesuai kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya. Dan biasanya terpidana diberi tempo waktu satu bulan melunasi.

Jika “membangkang”, jaksa eksekutor diberi kewenangan menyita semua asetnya dengan seizin pihak pengadilan. Setelah itu, baru dilakukan lelang yang hasilnya disetor kenegara guna menutupi kerugian negara sesuai isi amar putusan majelis hakim.

“Tapi untuk kasus Alay unik. Harta terpidana tak disita dan dilelang. Tapi jaksa justru memberi kesempatan pihak Alay menjual secara pribadi. Jujur ini aneh dan wajar saja masyarakat curiga, karena bisa saja harga jual “dipermainkan” dan memberi celah oknum bermain hingga bisa menimbulkan kerugian negara,” katanya.

Karenanya, kata dia, sudah benar masalah ini diangkat dan dilaporkan ke pihak berwenang, seperti Mabes Polri, Kejagung, dan KPK agar diusut. Selain itu lembaga terkait, seperti Dirjen Pajak, BPK, BPKP, PPATK, OJK juga dapat menelusuri kejanggalan proses penjualan aset terpidana koruptor ini, yang diluar kelaziman.

“Kita harusnya berterimakasih ke pihak-pihak yang berani mengungkap dan melaporkan praktek ini. Sebab, jika benar itu masuk penetapan sita negara, maka penjual dan pembeli aset Alay Pantai Queen Artha bisa dipidana,” ujar Yusdianto.

Apalagi, lanjutnya, jika memang benar pembelian aset jauh diharga pasaran. Pembeli sudah seharusnya memiliki kehati-hatian menelaah dan meneliti keabsahan kepemilikan barang yang akan dibeli, apakah sedang bermasalah, bersengketa, atau justru barang milik negara.

“Tiap pembeli patut curiga terhadap semua barang atau properti yang ditawarkan bila jauh dibawah harga pasaran. Sebab jika tetap nekat membeli, di pidana umum kasus seperti ini lazim disebut “penadahan”. Namun karena ini aset negara, maka yang berlaku tindak pidana korupsi,” katanya.

Seperti diketahui aset Pantai Quint Artha masuk penetapan sita. Artinya tidak bisa dijual begitu saja, meski ada pengakuan itikat baik tapi tidak boleh dalam hal yang salah. Hal itu menunjukan idikasi dan unsur pidananya yang mulai terungkap. Apalagi dijual dengan harga murah.

Puntjak Indra sempat menggugat Rice, Alay dkk melalui notaris Asvi sebagai Notaris/PPAT  dengan status Queen Artha atau Sahara di Lempasing milik Puntjak Indra. Tetapi publik disuguhi berita bahwa hasil Penjualan aset objek sita itu diserahkan oleh pengacara Alay untuk dan atas nama Alay Kepada Kejati Lampung. Sementara publik melihatnya bahwa ada Penetapan dan Delegasi dari PNTK ke PN Kalianda atau Pesawaran yang telah menjadi Pengadilan Negeri sendiri. (Red)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *